MLA, Antara Hukum dan Politik
A
A
A
PERJANJIAN bantuan hukum timbal balik (mutual legal assistance/MLA) antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Swiss akhirnya ditandatangani. Perjanjian ini dianggap penting karena bisa menjadi platform kerja sama hukum, khususnya dalam upaya pemerintah melakukan pemberantasan korupsi dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi (asset recovery).
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan perjanjian ini terdiri atas 39 pasal, yang antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan, perampasan aset hasil tindak kejahatan. Menariknya lagi perjanjian ini menggunakan prinsip retroaktif, yang artinya memungkinkan menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan.
Perjanjian ini sebagai upaya pemerintah untuk benar memberantas tindak pidana korupsi yang masih terus terjadi di Indonesia. Swiss selama ini merupakan negara financial centre terbesar di Eropa. Sebelumnya, pemerintah Swiss juga menandatangani perjanjian yang sama dengan ASEAN, Australia, Hong Kong, RRC, Korsel, India, Vietnam, UEA, dan Iran. Sementara bagi Swiss, perjanjian dengan Indonesia ini adalah perjanjian MLA yang ke-14 dengan negara non-Eropa.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga antirasuah Indonesia menyambut baik perjanjian ini. KPK menilai kerja sama itu bisa mempersempit ruang pelaku korupsi untuk menyembunyikan kejahatannya. Dengan semakin lengkapnya aturan internasional maka akan membuat ruang persembunyian pelaku kejahatan menyembunyikan aset hasil kejahatan dan alat bukti menjadi lebih sempit.
Namun, ini belum bisa diterapkan jika belum ada ratifikasi dari DPR. Perlu ada dukungan penuh dari DPR untuk meratifikasi agar perjanjian ini dapat langsung dimanfaatkan oleh para penegak hukum dan instansi terkait lainnya. Artinya masih ada proses lagi, dan proses yang dilalui adalah proses politik di DPR. Apalagi pada tahun politik saat ini tentu butuh lobi dari partai pendukung pemerintah untuk bisa mempermudah proses di DPR.
Tidak menutup kemungkinan akan ada ganjalan dari partai-partai oposisi untuk memperlambat atau mempersulit perjanjian ini menjadi aturan yang benar-benar bisa digunakan, sebab perjanjian ini bisa dianggap kampanye positif petahana. Nah, agar ini tidak menjadi keuntungan bagi petahana, tentu peran partai politik oposisi yang duduk di DPR agar memperlambat atau bahkan mempersulit.
Inilah sistem yang ada di Indonesia. Mau tidak mau, beberapa yang berkaitan dengan hukum harus melewati proses politik. Meski narasi yang diungkapkan para politikus bahwa politik tidak akan mencampuri persoalan hukum, pada praktiknya (baik terlihat maupun tidak terlihat) menggunakan pendekatan politik. Memang dari sisi idealis, hukum dijauhkan dari politik.
Namun sekali lagi itu tataran idealis, sedangkan yang terjadi di lapangan acap tataran pragmatis yang jauh dari idealis. Maka wajar jika konsep pemikiran bagi politikus dengan pemerhati politik, termasuk media massa, akan berbenturan. Pasalnya, politikus di Indonesia lebih banyak bermain pada tataran pragmatis, sedangkan pemerhati politik dan media massa pada sisi idealisme.
Kompromi ini yang harus dicarikan titik temu. Sebenarnya jika manfaatnya untuk bangsa ini, kepentingan pragmatis dari parpol, baik oposisi maupun yang tengah berkuasa, bisa dikesampingkan. Parpol penguasa juga tidak boleh antipati terhadap kritik atau bahkan membungkam kritik dengan kekuatannya, sedangkan parpol oposisi juga tidak asal melontarkan kritik tanpa data dan arah yang jelas. Tentu semua pihak harus mempunyai titik sepakat bersama ketika membicarakan persoalan bangsa.
Jika demikian, ada ruang kompromi agar hal-hal yang benar-benar untuk kebaikan bangsa ini bisa diselesaikan dengan baik. Sayang, definisi kebaikan bangsa juga bisa diterjemahkan berbeda oleh pihak-pihak yang sedangkan bersaing. Namun, tentang perjanjian dengan pemerintah Swiss ini, semestinya semua pihak sepakat bahwa inilah salah satu cara untuk mempersempit ruang gerak korupsi. Apalagi ini menyangkut kepentingan bangsa lain, yaitu Swiss.
Sungguh memalukan jika pemerintah Swiss mau membuka tangan, namun justru bangsa ini berseteru tentang perjanjian yang sudah disepakati. Sekali lagi harapannya, MLA yang sudah ada dan harus melalui proses politik ini bisa benar-benar diimplementasikan sehingga bisa mencegah atau mengatasi persoalan bangsa ini, yaitu korupsi.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan perjanjian ini terdiri atas 39 pasal, yang antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan, perampasan aset hasil tindak kejahatan. Menariknya lagi perjanjian ini menggunakan prinsip retroaktif, yang artinya memungkinkan menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan.
Perjanjian ini sebagai upaya pemerintah untuk benar memberantas tindak pidana korupsi yang masih terus terjadi di Indonesia. Swiss selama ini merupakan negara financial centre terbesar di Eropa. Sebelumnya, pemerintah Swiss juga menandatangani perjanjian yang sama dengan ASEAN, Australia, Hong Kong, RRC, Korsel, India, Vietnam, UEA, dan Iran. Sementara bagi Swiss, perjanjian dengan Indonesia ini adalah perjanjian MLA yang ke-14 dengan negara non-Eropa.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga antirasuah Indonesia menyambut baik perjanjian ini. KPK menilai kerja sama itu bisa mempersempit ruang pelaku korupsi untuk menyembunyikan kejahatannya. Dengan semakin lengkapnya aturan internasional maka akan membuat ruang persembunyian pelaku kejahatan menyembunyikan aset hasil kejahatan dan alat bukti menjadi lebih sempit.
Namun, ini belum bisa diterapkan jika belum ada ratifikasi dari DPR. Perlu ada dukungan penuh dari DPR untuk meratifikasi agar perjanjian ini dapat langsung dimanfaatkan oleh para penegak hukum dan instansi terkait lainnya. Artinya masih ada proses lagi, dan proses yang dilalui adalah proses politik di DPR. Apalagi pada tahun politik saat ini tentu butuh lobi dari partai pendukung pemerintah untuk bisa mempermudah proses di DPR.
Tidak menutup kemungkinan akan ada ganjalan dari partai-partai oposisi untuk memperlambat atau mempersulit perjanjian ini menjadi aturan yang benar-benar bisa digunakan, sebab perjanjian ini bisa dianggap kampanye positif petahana. Nah, agar ini tidak menjadi keuntungan bagi petahana, tentu peran partai politik oposisi yang duduk di DPR agar memperlambat atau bahkan mempersulit.
Inilah sistem yang ada di Indonesia. Mau tidak mau, beberapa yang berkaitan dengan hukum harus melewati proses politik. Meski narasi yang diungkapkan para politikus bahwa politik tidak akan mencampuri persoalan hukum, pada praktiknya (baik terlihat maupun tidak terlihat) menggunakan pendekatan politik. Memang dari sisi idealis, hukum dijauhkan dari politik.
Namun sekali lagi itu tataran idealis, sedangkan yang terjadi di lapangan acap tataran pragmatis yang jauh dari idealis. Maka wajar jika konsep pemikiran bagi politikus dengan pemerhati politik, termasuk media massa, akan berbenturan. Pasalnya, politikus di Indonesia lebih banyak bermain pada tataran pragmatis, sedangkan pemerhati politik dan media massa pada sisi idealisme.
Kompromi ini yang harus dicarikan titik temu. Sebenarnya jika manfaatnya untuk bangsa ini, kepentingan pragmatis dari parpol, baik oposisi maupun yang tengah berkuasa, bisa dikesampingkan. Parpol penguasa juga tidak boleh antipati terhadap kritik atau bahkan membungkam kritik dengan kekuatannya, sedangkan parpol oposisi juga tidak asal melontarkan kritik tanpa data dan arah yang jelas. Tentu semua pihak harus mempunyai titik sepakat bersama ketika membicarakan persoalan bangsa.
Jika demikian, ada ruang kompromi agar hal-hal yang benar-benar untuk kebaikan bangsa ini bisa diselesaikan dengan baik. Sayang, definisi kebaikan bangsa juga bisa diterjemahkan berbeda oleh pihak-pihak yang sedangkan bersaing. Namun, tentang perjanjian dengan pemerintah Swiss ini, semestinya semua pihak sepakat bahwa inilah salah satu cara untuk mempersempit ruang gerak korupsi. Apalagi ini menyangkut kepentingan bangsa lain, yaitu Swiss.
Sungguh memalukan jika pemerintah Swiss mau membuka tangan, namun justru bangsa ini berseteru tentang perjanjian yang sudah disepakati. Sekali lagi harapannya, MLA yang sudah ada dan harus melalui proses politik ini bisa benar-benar diimplementasikan sehingga bisa mencegah atau mengatasi persoalan bangsa ini, yaitu korupsi.
(thm)