Imlek 2570 dan Pesan Kekerabatan Bangsa
A
A
A
Tom Saptaatmaja
Teolog dan Kolumnis
TAHUN Baru Imlek kembali tiba, bertepatan dengan Selasa, 5 Februari 2019, kalender Masehi. Secara resmi kita memasuki 1 Cia Gwee 2570 Tahun Babi Tanah. Semula dan aslinya, Imlek merupakan hari untuk memperingati pergantian musim bagi para petani di China.
Sistem penanggalan Imlek konon sudah dibuat pada 2.700 tahun Sebelum Masehi. Jadi Imlek bukan hari keagamaan meskipun kemudian diberi warna keagamaan oleh penganut Buddha atau Konghucu. Semua orang boleh merayakan Imlek.
Kalau menengok sejarah perjalanan Imlek di negeri ini, pada era kolonialisme Belanda, Imlek dilarang dirayakan. Lalu pada zaman Jepang, Imlek boleh dirayakan, bahkan dinyatakan sebagai hari libur.
Sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, era Soekarno (hingga 1967) Imlek boleh dirayakan. Adapun di era Soeharto (1967-1998), Imlek dilarang dirayakan di ranah publik. Lalu sejak 2002, Imlek boleh dirayakan, bahkan dinyatakan sebagai hari libur nasional pada 2003.
Prasangka
Sayang, menjelang Imlek kali ini telah terjadi beberapa kasus bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Bahkan ada seruan, semisal seruan ke Pemerintah Kota dan Kabupaten Bogor, agar tidak memfasilitasi perayaan Imlek. Tampaknya hari-hari ini sebagian jendela hati sebagian warga bangsa memang dikunci rapat-rapat. Suhu politik kian tinggi.
Sejuk air hujan tak bisa mendinginkan panasnya ambisi. Amarah dan ujaran kebencian berseliweran tanpa henti. Rancangan harus menang dalam Pilpres 17 April 2019 dengan segala cara dicanangkan. Tak peduli lagi bangunan rumah Indonesia ambruk. Yang penting "capresku" menang.
Mari ingat lagi, dahulu para Bapak Ibu Bangsa serta para pahlawan bersusah payah berjuang mendirikan negeri ini dengan peluh, darah, dan nyawa. Mereka ingin kita yang beragam suku dan agama ini sungguh rukun, damai, hidup bahagia sebagai saudara di rumah NKRI.
Tidak ada dari semula, rencana para pendiri bangsa untuk menganaktirikan suatu kelompok atau etnik tertentu. Bahkan lewat pengesahan Undang-Undang No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, etnik Tionghoa secara resmi dinyatakan sebagai bagian integral dari bangsa ini.
Meski sudah dinyatakan secara resmi dalam hukum positif seperti itu, tidak bisa dimungkiri belakangan menguat kembali prasangka anti-China atau Tionghoa. Harus diakui, menjelang pemilu, menguat lagi politik identitas yang bernuansa SARA.
Apalagi jika kita menengok media sosial, ada perasaan cemas karena setiap saat muncul hujatan, ujaran kebencian, dan berbagai fitnah lewat berita bohong (hoaks). Bahkan ada yang 'berbisnis hoaks'. Akibatnya kohesivitas atau ikatan kekerabatan kita sebagai sesama warga bangsa memudar. Energi positif bangsa ini banyak terkuras untuk hal yang sia-sia.
Karena itu rasanya kita perlu melihat sejarah untuk belajar bahwa sikap saling menghargai dan menghormati serta kerja sama tetap lebih baik daripada 1.001 bahasa prasangka, konflik, dan benturan lainnya.
Sejarah sudah menunjukkan bahwa sesungguhnya sebelum kolonialis Belanda menjajah negeri ini mulai abad ke-16 dan ke-17, tidak pernah muncul konflik antara Tionghoa dan penduduk setempat. Yang ada hanya harmoni dan sinergi.
Bahkan etnik Tionghoa diakui perannya ikut menyebarkan Islam sebagaimana sebagian besar Walisongo adalah muslim. Kerajaan Islam pertama Nusantara di Demak memiliki raja pertama Raden Patah atau Jin Bun yang merupakan anak dari Brawijaya dari istrinya yang beretnik Tionghoa.
Bukan hanya dalam level agama saja, dalam hal pertanian, makanan, pakaian, dan aspek budaya lainnya ada hibriditas atau ketercampuran budaya yang saling mengisi dan memperkaya antara kultur Tionghoa dan kultur setempat di bumi Nusantara ini. Kalau mau bukti lebih banyak silakan membaca buku karya Dennis Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Tapi setelah Belanda menjajah negeri ini, mulai terjadilah adu domba. Belanda memang telah melakukan politik segregasi untuk memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk setempat (bumiputra). Aksi kejahatan anti-Tionghoa yang pertama di Nusantara adalah pembunuhan orang-orang Tionghoa pada 1740 di Batavia.
Lebih dari 10.000 orang Tionghoa dibantai dengan kejam oleh pasukan VOC dan ratusan rumah dijarah dan dibakar dengan semena-mena. Darah dan mayat korban pembunuhan tersebut memenuhi sebuah sungai yang sampai sekarang dinamakan Kali Angke. Setelah peristiwa 1740, berbagai konflik dan kerusuhan anti-Tionghoa meledak di berbagai kawasan di negeri ini. Puncaknya adalah Tragedi Mei 1998 yang merupakan noda paling hitam dalam sejarah bangsa ini.
Ernest Renan pernah memperingatkan bahwa bangsa bukanlah sesuatu yang kekal; bangsa akan muncul dan akan lenyap. Kita tentu tidak menginginkan lenyapnya bangsa Indonesia.
Karena itu mau tidak mau kita harus bisa belajar dari sejarah bahwa jika antarwarga bangsa bisa membangun sikap saling menghargai, hal ini akan memudahkan membangun sinergi atau kerja sama menuju kejayaan bangsa. Tapi jika bahasa prasangka diberi tempat dan tiap kali coba diberi "bensin", bangsa ini akan selalu terjebak dalam konflik kontraproduktif.
Kita sudah memilih demokrasi untuk kehidupan bersama kita di negeri ini, termasuk dalam relasi antaretnik dan agama. Dalam demokrasi, semua etnik, semua agama mendapat tempatnya yang terhormat. Karena dalam demokrasi diterapkan prinsip toleransi sebagai penghormatan pada perbedaan di antara warganya. Jika ada konflik coba diselesaikan dengan cara-cara beradab seperti dialog atau musyawarah. Semua perbedaan harus dihargai.
Namun ada juga paradoks demokrasi. Pasalnya dalam pilkada atau pilpres, yang merupakan ajang pesta demokrasi untuk menyaring pemimpin, justru kerap dipakai cara-cara yang tidak beretika seperti kampanye hitam dan politik identitas atau yang memanfaatkan sentimen SARA, termasuk dimanfaatkannya sentimen anti-Tionghoa untuk menyudutkan lawan politik.
Kekerabatan Bangsa
Lalu adakah pesan Imlek yang relevan di tengah kondisi demikian? Pertama-tama sebagai pesta rakyat sejak zaman Huang Ti (2698 SM), Imlek atau Chun Ciek mengandung nilai kekerabatan dengan keluarga, alam, dan negara. Nilai-nilai ini tampak pada ritual dan pernak-pernik Imlek. Jadi Imlek merupakan perayaan kemanusiaan dan kebersamaan.
Apalagi Imlek juga mengandung pesan keselamatan inklusif bagi setiap manusia yang mau hidup rukun dan harmonis dengan sesamanya. Maka setiap orang perlu bersih diri. Setiap kebencian hanya akan menggerogoti kebersamaan serta merusak harmoni yang berujung pada lemahnya negara atau rusaknya alam. Maka pesan terpenting Imlek bagi bangsa kita adalah mari perkuat lagi rasa kekerabatan atau kekeluargaan kita sebagai bangsa di tengah memudarnya kohesivitas akibat menguatnya politik identitas. Gong Xi Fat Choi 2570.
Teolog dan Kolumnis
TAHUN Baru Imlek kembali tiba, bertepatan dengan Selasa, 5 Februari 2019, kalender Masehi. Secara resmi kita memasuki 1 Cia Gwee 2570 Tahun Babi Tanah. Semula dan aslinya, Imlek merupakan hari untuk memperingati pergantian musim bagi para petani di China.
Sistem penanggalan Imlek konon sudah dibuat pada 2.700 tahun Sebelum Masehi. Jadi Imlek bukan hari keagamaan meskipun kemudian diberi warna keagamaan oleh penganut Buddha atau Konghucu. Semua orang boleh merayakan Imlek.
Kalau menengok sejarah perjalanan Imlek di negeri ini, pada era kolonialisme Belanda, Imlek dilarang dirayakan. Lalu pada zaman Jepang, Imlek boleh dirayakan, bahkan dinyatakan sebagai hari libur.
Sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, era Soekarno (hingga 1967) Imlek boleh dirayakan. Adapun di era Soeharto (1967-1998), Imlek dilarang dirayakan di ranah publik. Lalu sejak 2002, Imlek boleh dirayakan, bahkan dinyatakan sebagai hari libur nasional pada 2003.
Prasangka
Sayang, menjelang Imlek kali ini telah terjadi beberapa kasus bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Bahkan ada seruan, semisal seruan ke Pemerintah Kota dan Kabupaten Bogor, agar tidak memfasilitasi perayaan Imlek. Tampaknya hari-hari ini sebagian jendela hati sebagian warga bangsa memang dikunci rapat-rapat. Suhu politik kian tinggi.
Sejuk air hujan tak bisa mendinginkan panasnya ambisi. Amarah dan ujaran kebencian berseliweran tanpa henti. Rancangan harus menang dalam Pilpres 17 April 2019 dengan segala cara dicanangkan. Tak peduli lagi bangunan rumah Indonesia ambruk. Yang penting "capresku" menang.
Mari ingat lagi, dahulu para Bapak Ibu Bangsa serta para pahlawan bersusah payah berjuang mendirikan negeri ini dengan peluh, darah, dan nyawa. Mereka ingin kita yang beragam suku dan agama ini sungguh rukun, damai, hidup bahagia sebagai saudara di rumah NKRI.
Tidak ada dari semula, rencana para pendiri bangsa untuk menganaktirikan suatu kelompok atau etnik tertentu. Bahkan lewat pengesahan Undang-Undang No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, etnik Tionghoa secara resmi dinyatakan sebagai bagian integral dari bangsa ini.
Meski sudah dinyatakan secara resmi dalam hukum positif seperti itu, tidak bisa dimungkiri belakangan menguat kembali prasangka anti-China atau Tionghoa. Harus diakui, menjelang pemilu, menguat lagi politik identitas yang bernuansa SARA.
Apalagi jika kita menengok media sosial, ada perasaan cemas karena setiap saat muncul hujatan, ujaran kebencian, dan berbagai fitnah lewat berita bohong (hoaks). Bahkan ada yang 'berbisnis hoaks'. Akibatnya kohesivitas atau ikatan kekerabatan kita sebagai sesama warga bangsa memudar. Energi positif bangsa ini banyak terkuras untuk hal yang sia-sia.
Karena itu rasanya kita perlu melihat sejarah untuk belajar bahwa sikap saling menghargai dan menghormati serta kerja sama tetap lebih baik daripada 1.001 bahasa prasangka, konflik, dan benturan lainnya.
Sejarah sudah menunjukkan bahwa sesungguhnya sebelum kolonialis Belanda menjajah negeri ini mulai abad ke-16 dan ke-17, tidak pernah muncul konflik antara Tionghoa dan penduduk setempat. Yang ada hanya harmoni dan sinergi.
Bahkan etnik Tionghoa diakui perannya ikut menyebarkan Islam sebagaimana sebagian besar Walisongo adalah muslim. Kerajaan Islam pertama Nusantara di Demak memiliki raja pertama Raden Patah atau Jin Bun yang merupakan anak dari Brawijaya dari istrinya yang beretnik Tionghoa.
Bukan hanya dalam level agama saja, dalam hal pertanian, makanan, pakaian, dan aspek budaya lainnya ada hibriditas atau ketercampuran budaya yang saling mengisi dan memperkaya antara kultur Tionghoa dan kultur setempat di bumi Nusantara ini. Kalau mau bukti lebih banyak silakan membaca buku karya Dennis Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Tapi setelah Belanda menjajah negeri ini, mulai terjadilah adu domba. Belanda memang telah melakukan politik segregasi untuk memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk setempat (bumiputra). Aksi kejahatan anti-Tionghoa yang pertama di Nusantara adalah pembunuhan orang-orang Tionghoa pada 1740 di Batavia.
Lebih dari 10.000 orang Tionghoa dibantai dengan kejam oleh pasukan VOC dan ratusan rumah dijarah dan dibakar dengan semena-mena. Darah dan mayat korban pembunuhan tersebut memenuhi sebuah sungai yang sampai sekarang dinamakan Kali Angke. Setelah peristiwa 1740, berbagai konflik dan kerusuhan anti-Tionghoa meledak di berbagai kawasan di negeri ini. Puncaknya adalah Tragedi Mei 1998 yang merupakan noda paling hitam dalam sejarah bangsa ini.
Ernest Renan pernah memperingatkan bahwa bangsa bukanlah sesuatu yang kekal; bangsa akan muncul dan akan lenyap. Kita tentu tidak menginginkan lenyapnya bangsa Indonesia.
Karena itu mau tidak mau kita harus bisa belajar dari sejarah bahwa jika antarwarga bangsa bisa membangun sikap saling menghargai, hal ini akan memudahkan membangun sinergi atau kerja sama menuju kejayaan bangsa. Tapi jika bahasa prasangka diberi tempat dan tiap kali coba diberi "bensin", bangsa ini akan selalu terjebak dalam konflik kontraproduktif.
Kita sudah memilih demokrasi untuk kehidupan bersama kita di negeri ini, termasuk dalam relasi antaretnik dan agama. Dalam demokrasi, semua etnik, semua agama mendapat tempatnya yang terhormat. Karena dalam demokrasi diterapkan prinsip toleransi sebagai penghormatan pada perbedaan di antara warganya. Jika ada konflik coba diselesaikan dengan cara-cara beradab seperti dialog atau musyawarah. Semua perbedaan harus dihargai.
Namun ada juga paradoks demokrasi. Pasalnya dalam pilkada atau pilpres, yang merupakan ajang pesta demokrasi untuk menyaring pemimpin, justru kerap dipakai cara-cara yang tidak beretika seperti kampanye hitam dan politik identitas atau yang memanfaatkan sentimen SARA, termasuk dimanfaatkannya sentimen anti-Tionghoa untuk menyudutkan lawan politik.
Kekerabatan Bangsa
Lalu adakah pesan Imlek yang relevan di tengah kondisi demikian? Pertama-tama sebagai pesta rakyat sejak zaman Huang Ti (2698 SM), Imlek atau Chun Ciek mengandung nilai kekerabatan dengan keluarga, alam, dan negara. Nilai-nilai ini tampak pada ritual dan pernak-pernik Imlek. Jadi Imlek merupakan perayaan kemanusiaan dan kebersamaan.
Apalagi Imlek juga mengandung pesan keselamatan inklusif bagi setiap manusia yang mau hidup rukun dan harmonis dengan sesamanya. Maka setiap orang perlu bersih diri. Setiap kebencian hanya akan menggerogoti kebersamaan serta merusak harmoni yang berujung pada lemahnya negara atau rusaknya alam. Maka pesan terpenting Imlek bagi bangsa kita adalah mari perkuat lagi rasa kekerabatan atau kekeluargaan kita sebagai bangsa di tengah memudarnya kohesivitas akibat menguatnya politik identitas. Gong Xi Fat Choi 2570.
(maf)