Imbauan IMF Tak Berlaku
A
A
A
PEMERINTAH merasa tidak perlu mengikuti imbauan Dana Moneter Internasional (IMF) agar negara-negara memitigasi beban utang. Pasalnya, pemerintah menilai rasio utang Indonesia masih dalam posisi aman.
Dalam pandangan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, imbauan lembaga internasional tersebut tepatnya untuk negara yang memiliki rasio utang tinggi. Sejumlah negara Eropa yang masuk dalam kategori negara maju memiliki rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) telah bercokol di atas 60%.
Sementara itu, terdapat sebanyak 40 negara berpendapatan rendah mencatatkan rasio utang terhadap PDB sudah menembus di atas 100%. Bandingkan rasio utang Indonesia terhadap PDB masih dilevel 30%.
Dia membeberkan bahwa kondisi makroekonomi menunjukkan angka positif sepanjang tahun lalu. Lihat saja, pertumbuhan ekonomi tercatat di atas 5% dengan laju inflasi yang terjaga pada kisaran 3%. Dan, sedikit memberi nafas lega yakni defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 tercatat sekitar 1,76% atau lebih rendah dari target yang dipatok.
Sebelumnya, dalam publikasi outlook ekonomi dunia versi IMF telah mengoreksi terget pertumbuhan ekonomi global. Sehubungan itu, IMF menyarankan perlunya kerangka kerja makroprudensial yang kuat dalam meminimalisir beban utang.
Terlepas dari imbauan IMF, belum lama ini Bank Indonesia (BI) telah memublikasi utang luar negeri Indonesia berada di level sebesar USD 372,9 miliar hingga November 2018. Rinciannya meliputi utang pemerintah dan bank sentral sebesar USD 183,5 miliar dan utang swasta termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencapai sebesar USD 189,3 miliar.
Berdasarkan catatan BI ternyata utang luar negeri melambung sebesar USD 12,3 miliar dibandingkan Oktober 2018. Pemicu kenaikan utang tersebut disebabkan faktor neto transaksi penarikan utang luar negeri, dan pengaruh penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Utang luar negeri yang dicetak pemerintah sebesar USD 180,5 miliar per November 2018 mengalami pertumbuhan sekitar 4,4% dibandingkan pertumbuhan Oktober 2018 yang tercatat 3,3% atau meningkat sebesar USD 5,1 miliar. Peningkatan utang tersebut di antaranya dipengaruhi arus masuk dana investor asing di pasar surat berharga negara (SBN) domestik selama November 2018. Adapun utang luar negeri swasta tumbuh sekitar 10,1% per November 2018 mengalami kenaikan dibandingkan Oktober 2018 yang tumbuh sekitar 7,7% atau terjadi kenaikan sebesar USD 7,1 miliar.
Bicara soal utang memang sangat sensitif apalagi sebelumnya pemerintah telah berjanji untuk menekan angka utang yang sudah ada, namun faktanya malah terus bertambah. Kondisi tersebut menjadi sorotan tajam terutama terkait kampanye menjelang pemilihan presiden (Pilpres) untuk periode 2019 – 2024 oleh pihak oposisi. Hal yang wajar sebab persoalan utang yang terus bertambah adalah sasaran empuk menghajar Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bertarung lagi untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini dalam menggenapkan masa pemerintahannya selama dua periode.
Lalu, dialokasikan kemana saja utang yang terus menumpuk itu? Dalam empat tahun terakhir sebagaimana diungkapkan Menkeu Srimulyani, sebagian besar utang pemerintah dipakai mendorong sektor produktif guna memperkuat pembangunan di sektor infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Untuk membuktikan pemanfaatan utang tersebut tercermin pada kenaikan anggaran infrastruktur dari sebesar Rp157 triliun pada 2014 melejit mencapai sebesar Rp410,4 triliun pada 2018.
Begitupula anggaran di sektor pendidikan meningkat dari sebesar Rp353,4 triliun pada 2014 naik menjadi sebesar Rp 444,1 trliun pada 2018. Adapun sektor kesehatan tercatat sebesar Rp59,7 triliun pada 2014 meningkat menjadi sebesar Rp 111 triliun pada 2018.
Walau pemerintah sangat percaya diri bahwa utang meski terus bertambah namun dalam posisi aman. Hal itu tercermin dari rasio utang terhadap PDB masih 30% padahal Undang Undang (UU) Keuangan memberi ruang pemerintah untuk berutang dengan rasio maksimal 60% terhadap PDB.Namun, tak ada salahnya mengingatkan bahwa pengelolaan utang harus selalu mengedepankan prinsip kehati-hatian. Kita berharap, pengalokasian utang senantiasa tepat sasaran sehingga bisa berkontribusi maksimal dalam memajukan perekonomian menuju masyarakat sejahtera.
Dalam pandangan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, imbauan lembaga internasional tersebut tepatnya untuk negara yang memiliki rasio utang tinggi. Sejumlah negara Eropa yang masuk dalam kategori negara maju memiliki rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) telah bercokol di atas 60%.
Sementara itu, terdapat sebanyak 40 negara berpendapatan rendah mencatatkan rasio utang terhadap PDB sudah menembus di atas 100%. Bandingkan rasio utang Indonesia terhadap PDB masih dilevel 30%.
Dia membeberkan bahwa kondisi makroekonomi menunjukkan angka positif sepanjang tahun lalu. Lihat saja, pertumbuhan ekonomi tercatat di atas 5% dengan laju inflasi yang terjaga pada kisaran 3%. Dan, sedikit memberi nafas lega yakni defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 tercatat sekitar 1,76% atau lebih rendah dari target yang dipatok.
Sebelumnya, dalam publikasi outlook ekonomi dunia versi IMF telah mengoreksi terget pertumbuhan ekonomi global. Sehubungan itu, IMF menyarankan perlunya kerangka kerja makroprudensial yang kuat dalam meminimalisir beban utang.
Terlepas dari imbauan IMF, belum lama ini Bank Indonesia (BI) telah memublikasi utang luar negeri Indonesia berada di level sebesar USD 372,9 miliar hingga November 2018. Rinciannya meliputi utang pemerintah dan bank sentral sebesar USD 183,5 miliar dan utang swasta termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencapai sebesar USD 189,3 miliar.
Berdasarkan catatan BI ternyata utang luar negeri melambung sebesar USD 12,3 miliar dibandingkan Oktober 2018. Pemicu kenaikan utang tersebut disebabkan faktor neto transaksi penarikan utang luar negeri, dan pengaruh penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Utang luar negeri yang dicetak pemerintah sebesar USD 180,5 miliar per November 2018 mengalami pertumbuhan sekitar 4,4% dibandingkan pertumbuhan Oktober 2018 yang tercatat 3,3% atau meningkat sebesar USD 5,1 miliar. Peningkatan utang tersebut di antaranya dipengaruhi arus masuk dana investor asing di pasar surat berharga negara (SBN) domestik selama November 2018. Adapun utang luar negeri swasta tumbuh sekitar 10,1% per November 2018 mengalami kenaikan dibandingkan Oktober 2018 yang tumbuh sekitar 7,7% atau terjadi kenaikan sebesar USD 7,1 miliar.
Bicara soal utang memang sangat sensitif apalagi sebelumnya pemerintah telah berjanji untuk menekan angka utang yang sudah ada, namun faktanya malah terus bertambah. Kondisi tersebut menjadi sorotan tajam terutama terkait kampanye menjelang pemilihan presiden (Pilpres) untuk periode 2019 – 2024 oleh pihak oposisi. Hal yang wajar sebab persoalan utang yang terus bertambah adalah sasaran empuk menghajar Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bertarung lagi untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini dalam menggenapkan masa pemerintahannya selama dua periode.
Lalu, dialokasikan kemana saja utang yang terus menumpuk itu? Dalam empat tahun terakhir sebagaimana diungkapkan Menkeu Srimulyani, sebagian besar utang pemerintah dipakai mendorong sektor produktif guna memperkuat pembangunan di sektor infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Untuk membuktikan pemanfaatan utang tersebut tercermin pada kenaikan anggaran infrastruktur dari sebesar Rp157 triliun pada 2014 melejit mencapai sebesar Rp410,4 triliun pada 2018.
Begitupula anggaran di sektor pendidikan meningkat dari sebesar Rp353,4 triliun pada 2014 naik menjadi sebesar Rp 444,1 trliun pada 2018. Adapun sektor kesehatan tercatat sebesar Rp59,7 triliun pada 2014 meningkat menjadi sebesar Rp 111 triliun pada 2018.
Walau pemerintah sangat percaya diri bahwa utang meski terus bertambah namun dalam posisi aman. Hal itu tercermin dari rasio utang terhadap PDB masih 30% padahal Undang Undang (UU) Keuangan memberi ruang pemerintah untuk berutang dengan rasio maksimal 60% terhadap PDB.Namun, tak ada salahnya mengingatkan bahwa pengelolaan utang harus selalu mengedepankan prinsip kehati-hatian. Kita berharap, pengalokasian utang senantiasa tepat sasaran sehingga bisa berkontribusi maksimal dalam memajukan perekonomian menuju masyarakat sejahtera.
(whb)