Bersiap Hadapi Gejolak Ekonomi Dunia
A
A
A
PEREKONOMIAN dunia tahun ini masih diselimuti ketidakpastian. Masalah perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China serta kebijakan bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed), termasuk kebijakan pemerintah negara-negara Uni Eropa, menjadi hal yang patut menjadi perhatian.
Tak hanya itu, memanasnya situasi politik di Timur Tengah juga akan memberikan dampak terhadap kontraksi ekonomi dunia. Negara-negara yang tergabung dalam G-20 bahkan telah merevisi outlook ekonomi global pada tahun ini. Fenomena shutdown AS yang berlarut-larut, yang kini sudah memasuki bulan kedua, patut diwaspadai. Bisa jadi ini merupakan kebijakan Presiden Donald Trump untuk mengurangi pengeluaran belanja pemerintahannya. Kalau fenomena shutdown ini sampai berlangsung lama, diperkirakan hal itu bisa memicu resesi ekonomi yang akan merembet ke negara-negara lain. Khususnya negara yang tidak memiliki fundamental ekonomi yang kokoh.
Kontraksi yang terjadi di level global tersebut membuat mata uang di negara berkembang fluktuatif termasuk rupiah. Sinyal derasnya arus modal asing yang keluar (capital outflow ) di negara-negara berkembang juga wajib segera diantisipasi. Perang dagang AS vs China yang belum juga menunjukkan tanda-tanda ''gencatan senjata'' akan menghambat pertumbuhan ekonomi global. Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan menilai bahwa semua negara akan terimbas karena AS dan China merupakan dua kekuatan utama perekonomian dunia.
Dana Moneter Internasional (IMF) mematok proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia hanya akan mencapai 3,7%. AS dan China saling balas memberlakukan tarif lebih tinggi pada produk-produk ekspor kedua negara. Tidak juga jelas kapan perselisihan dan saling balas ini akan berakhir. Presiden Donald Trump memberlakukan tarif lebih tinggi untuk barang yang diekspor China ke AS sebagai respons atas ketidakseimbangan perdagangan antara kedua negara. Sementara China dengan cepat menanggapi dengan menerapkan pungutan yang lebih tinggi atas impor produk dari AS.
Perang dagang dua raksasa ekonomi dunia itu bisa memberikan dampak positif atau negatif bagi perekonomian Indonesia. Dampak negatifnya, ekspor yang menjadi salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan akan menurun. Sebab, AS dan China merupakan dua negara tujuan ekspor utama Indonesia. Dengan kebijakan saling balas tarif impor antara AS dan China terhadap beberapa produk ekspor masing-masing negara, ada peluang produk-produk yang sebelumnya diekspor ke kedua negara tersebut akan dipasarkan ke pasar negara lain.
Artinya distribusi barang akan dialihkan ke tempat lain. Ke pasar yang baru, termasuk Indonesia. Hal ini berpotensi memperbesar defisit neraca perdagangan. Namun dampak positifnya, meskipun kecil, adalah adanya pengalihan fasilitas produksi dari dua negara tersebut ke Indonesia sehingga membuka peluang masuknya investasi baru ke Tanah Air.
Posisi Indonesia sebagai negara yang masih bergantung pada dinamika global juga harus tetap waspada. Kebijakan suku bunga acuan hingga likuiditas perbankan yang mengetat perlu mendapat perhatian serius. Sebab sektor properti yang menjadi andalan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi sangat sensitif terhadap kebijakan sektor perbankan. Baik berupa pengetatan likuiditas maupun kebijakan suku bunga. Apalagi pemerintah sudah siap menaikkan harga rumah bersubsidi sebesar 3% hingga 7,5%. Yang perlu dilakukan dalam jangka pendek adalah menjaga pasar domestik agar tidak terlalu bergejolak.
Konsumsi dan investasi ditingkatkan, tidak hanya dari sektor rumah tangga dan swasta, tapi juga dari pemerintah. Dan, yang paling penting, tetap menjaga stabilitas sosial dan politik, sebab pemilihan umum legislatif (pileg) yang berbarengan dengan pemilu presiden (pilpres) yang diadakan pada 17 April nanti bisa menjadi pendorong konsumsi domestik. Konsumsi domestik yang tinggi dalam jangka pendek bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Peluang ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Tak hanya itu, memanasnya situasi politik di Timur Tengah juga akan memberikan dampak terhadap kontraksi ekonomi dunia. Negara-negara yang tergabung dalam G-20 bahkan telah merevisi outlook ekonomi global pada tahun ini. Fenomena shutdown AS yang berlarut-larut, yang kini sudah memasuki bulan kedua, patut diwaspadai. Bisa jadi ini merupakan kebijakan Presiden Donald Trump untuk mengurangi pengeluaran belanja pemerintahannya. Kalau fenomena shutdown ini sampai berlangsung lama, diperkirakan hal itu bisa memicu resesi ekonomi yang akan merembet ke negara-negara lain. Khususnya negara yang tidak memiliki fundamental ekonomi yang kokoh.
Kontraksi yang terjadi di level global tersebut membuat mata uang di negara berkembang fluktuatif termasuk rupiah. Sinyal derasnya arus modal asing yang keluar (capital outflow ) di negara-negara berkembang juga wajib segera diantisipasi. Perang dagang AS vs China yang belum juga menunjukkan tanda-tanda ''gencatan senjata'' akan menghambat pertumbuhan ekonomi global. Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan menilai bahwa semua negara akan terimbas karena AS dan China merupakan dua kekuatan utama perekonomian dunia.
Dana Moneter Internasional (IMF) mematok proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia hanya akan mencapai 3,7%. AS dan China saling balas memberlakukan tarif lebih tinggi pada produk-produk ekspor kedua negara. Tidak juga jelas kapan perselisihan dan saling balas ini akan berakhir. Presiden Donald Trump memberlakukan tarif lebih tinggi untuk barang yang diekspor China ke AS sebagai respons atas ketidakseimbangan perdagangan antara kedua negara. Sementara China dengan cepat menanggapi dengan menerapkan pungutan yang lebih tinggi atas impor produk dari AS.
Perang dagang dua raksasa ekonomi dunia itu bisa memberikan dampak positif atau negatif bagi perekonomian Indonesia. Dampak negatifnya, ekspor yang menjadi salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan akan menurun. Sebab, AS dan China merupakan dua negara tujuan ekspor utama Indonesia. Dengan kebijakan saling balas tarif impor antara AS dan China terhadap beberapa produk ekspor masing-masing negara, ada peluang produk-produk yang sebelumnya diekspor ke kedua negara tersebut akan dipasarkan ke pasar negara lain.
Artinya distribusi barang akan dialihkan ke tempat lain. Ke pasar yang baru, termasuk Indonesia. Hal ini berpotensi memperbesar defisit neraca perdagangan. Namun dampak positifnya, meskipun kecil, adalah adanya pengalihan fasilitas produksi dari dua negara tersebut ke Indonesia sehingga membuka peluang masuknya investasi baru ke Tanah Air.
Posisi Indonesia sebagai negara yang masih bergantung pada dinamika global juga harus tetap waspada. Kebijakan suku bunga acuan hingga likuiditas perbankan yang mengetat perlu mendapat perhatian serius. Sebab sektor properti yang menjadi andalan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi sangat sensitif terhadap kebijakan sektor perbankan. Baik berupa pengetatan likuiditas maupun kebijakan suku bunga. Apalagi pemerintah sudah siap menaikkan harga rumah bersubsidi sebesar 3% hingga 7,5%. Yang perlu dilakukan dalam jangka pendek adalah menjaga pasar domestik agar tidak terlalu bergejolak.
Konsumsi dan investasi ditingkatkan, tidak hanya dari sektor rumah tangga dan swasta, tapi juga dari pemerintah. Dan, yang paling penting, tetap menjaga stabilitas sosial dan politik, sebab pemilihan umum legislatif (pileg) yang berbarengan dengan pemilu presiden (pilpres) yang diadakan pada 17 April nanti bisa menjadi pendorong konsumsi domestik. Konsumsi domestik yang tinggi dalam jangka pendek bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Peluang ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
(wib)