Pro Kontra Pembebasan Baasyir
A
A
A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
SETELAH kabar pemerintah berencana membebaskan Abu Bakar Ba’asyir (ABB) dengan alasan kemanusiaan, langsung saja menuai pro dan kontra. Bahkan dunia internasional, termasuk Australia, menyoroti rencana pembebasan ABB tersebut, meski sikap dan pandangan negara lain tidak akan bisa memengaruhi proses hukum di Indonesia, mengingat setiap negara memiliki kedaulatan hukumnya sendiri.
Pembebasan ABB yang terkesan tiba-tiba, meskipun disampaikan dengan alasan kemanusiaan, tentu saja menimbulkan tafsir politik di baliknya. Bahkan terkesan pembebasan ABB adalah instruksi "top-down", mengingat hari-hari ini para personel Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) juga belum tahu mekanisme yang akan digunakan untuk membebaskan ABB dari masa penjaranya yang masih bersisa enam tahun lagi.
Presiden Joko Widodo, yang semula yakin dengan langkah pembebasan ABB, belakangan tampak galau setelah rencana tersebut menimbulkan polemik luas. Bahkan Presiden sempat meralat pernyataan tim pengacara pemerintah dan ABB yang menyatakan ABB akan bebas tanpa syarat. Pemerintah lantas mengoreksi menjadi bahwa mekanisme pembebasan ABB menjadi bebas bersyarat. Artinya, ada syarat yang harus dipenuhi.
Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012, narapidana terorisme untuk mendapat bebas bersyarat harus menandatangani pernyataan mengakui dirinya bersalah dan setia kepada NKRI. Surat tersebut yang sejak semula tidak ingin ditandatangani oleh ABB.
Polemik yang muncul belakangan ini terkait rencana pembebasan ABB adalah pemerintah terkesan secara tiba-tiba dan tanpa dasar yang kuat ingin melakukan pembebasan, terlepas bahwa secara hukum dan konstitusi, pemerintah dalam hal ini Presiden, dimungkinkan melakukan itu. Lantas, pertanyaan masyarakat luas, termasuk dunia internasional, mengapa alasan kemanusiaan itu "jatuh" pada ABB? Dan, seketika anasir-anasir politik muncul melengkapi belum adanya mekanisme yang tepat untuk pembebasan ABB.
Parsons (1976) menyebutkan bahwa hukum tidak akan terlepas dari anasir politik mengingat keputusan hukum tersebut diambil seorang pejabat yang terpilih karena proses politik. Maka, dapat dipahami, anasir politik terkait pembebasan ABB tersebut muncul mengingat saat ini adalah tahun politik dan petahana akan berkontes dalam Pemilihan Presiden 2019.
Pro
Terlepas dari anasir politik yang timbul dengan adanya rencana pembebasan ABB, tampak bahwa dalam menegakkan hukum pemerintah tidak kaku dan tetap berpegang pada sisi kemanusiaan. Pada rencana pembebasan ABB, pemerintah idealnya memiliki rencana yang konkret dan berguna bagi bangsa pascabebasnya ABB. Misalnya ABB dapat menjadi mitra pemerintah pada program kontraradikalisasi (deradikalisasi), bukan saja mengingat karena ABB masih memiliki banyak pengikut sehingga akan bermanfaat secara politik menjelang pilpres.
Tentu saja dengan pembebasan ABB ini pemerintah akan mengurangi ketegangan dengan kelompok radikal. Selain itu, pemerintah bisa menunjukkan citra humanis pada penegakan hukum karena dengan pembebasan ABB. Di situ pemerintah membuktikan bahwa hukum bukanlah alat balas dendam, tetapi merupakan alat pembinaan yang efektif. Karena itu, pemerintah harus mampu memanfaatkan sisi positif ABB pascadibebaskan.
Misalnya berpartisipasi dalam program kontraradikalisme sehingga dalam hal ini pemerintah berhasil menunjukkan bahwa pemidanaan berhasil mengubah ABB dari yang semula bertentangan dengan pemerintah menjadi bersama-sama pemerintah memerangi radikalisme dan terorisme. Sebab, jika digunakan alasan kemanusiaan saja tanpa ada rencana yang memadai setelah pembebasan, kebijakan itu akan terkesan sangat subjektif.
Bredemier (1980) menjelaskan, subjektivitas hukum akan membawa masyarakat pada anasir politik, sebab subjektivitas hukum dan kepentingan politik berada pada domain yang sama. Sebenarnya, bagi masyarakat, bukan persoalan ABB akan dibebaskan, tetapi pemerintah harus dapat memberi penjelasan objektif mengapa ABB dibebaskan dan dalam hal ini pemerintah harus menyampaikan kepada masyarakat luas bahwa keputusan ini diambil untuk kepentingan masyarakat luas.
Sebaliknya, jika gagal menjelaskan alasan di balik pembebasan ABB, pemerintah justru dianggap merusak kepastian hukum dan kesan yang tertanam bahwa petahana menggunakan kewenangannya di bidang hukum untuk kepentingan politik praktis, sehingga dalam hal ini hukum tidak lagi netral dan bebas nilai.
Kontra
Pemerintah harus benar-benar berhitung terkait mekanisme pembebasan ABB, baik terkait alasan dan mekanismenya. Jika digunakan alasan kemanusiaan sebagai dasar pembebasan ABB, pertanyaannya: mengapa dipilih ABB, bukankah narapidana yang layak dibebaskan dengan alasan kemanusiaan dan bersedia dengan sukarela setia pada NKRI?
Jika pertanyaan ini tidak dapat dijelaskan pada masyarakat luas, artinya rencana pembebasan ABB justru bukti bahwa pemerintah belum mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mestinya, dalam hal ini pemerintah membuat kualifikasi yang disebut alasan kemanusiaan dan kualifikasi tersebut berlaku bagi semua orang.
Memang, dalam hal ini secara konstitusional presiden memiliki hak untuk memberi pengampunan. Namun, jika pemerintah dalam hal ini Presiden—tidak mampu menjelaskan kajian hukum yang adequate terkait rencana pembebasan ABB, maka selain akan dapat mengakibatkan terkesampingkannya kepastian hukum juga akan mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah terkait penegakan hukum, karena pemerintah masih dipandang tebang pilih.
Bagaimanapun, metode pembebasan ABB benar-benar harus dikalkulasi sehingga tidak ada cacat formil, prosedur, dan cacat materiil. Jika pembebasan ABB melanggar ketentuan perundang-undangan, pemerintah justru menciptakan kekacauan hukum dengan dalih kemanusiaan. Persoalannya, jika kelak pembebasan ABB ini dapat menjadi preseden bagi kasus-kasus berikutnya maka akan berpotensi merusak sistem pemidanaan dan wibawa lembaga penegak hukum itu sendiri.
Kini setelah rencana pembebasan ABB sudah didengar masyarakat luas, sudah tidak mungkin lagi pemerintah mengurungkan pembebasan ABB. Jika hal tersebut terjadi, maka akan terjadi kegaduhan di masyarakat yang secara hukum akan mengganggu stabilitas masyarakat dan secara politik akan menggerus elektabilitas petahana.
Maka, kini hal yang harus dipastikan adalah menggunakan metode yang tepat pada proses pembebasan ABB. Menggunakan metode yang tepat dalam pengertian tidak ada hukum yang dilanggar terkait pembebasan ABB tersebut. Dalam hal ini jika pembebasan ABB dilakukan dengan melanggar aturan yang tersedia maka sudah pasti pembebasan ABB akan menjadi "beban masa lalu" petahana secara politis.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
SETELAH kabar pemerintah berencana membebaskan Abu Bakar Ba’asyir (ABB) dengan alasan kemanusiaan, langsung saja menuai pro dan kontra. Bahkan dunia internasional, termasuk Australia, menyoroti rencana pembebasan ABB tersebut, meski sikap dan pandangan negara lain tidak akan bisa memengaruhi proses hukum di Indonesia, mengingat setiap negara memiliki kedaulatan hukumnya sendiri.
Pembebasan ABB yang terkesan tiba-tiba, meskipun disampaikan dengan alasan kemanusiaan, tentu saja menimbulkan tafsir politik di baliknya. Bahkan terkesan pembebasan ABB adalah instruksi "top-down", mengingat hari-hari ini para personel Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) juga belum tahu mekanisme yang akan digunakan untuk membebaskan ABB dari masa penjaranya yang masih bersisa enam tahun lagi.
Presiden Joko Widodo, yang semula yakin dengan langkah pembebasan ABB, belakangan tampak galau setelah rencana tersebut menimbulkan polemik luas. Bahkan Presiden sempat meralat pernyataan tim pengacara pemerintah dan ABB yang menyatakan ABB akan bebas tanpa syarat. Pemerintah lantas mengoreksi menjadi bahwa mekanisme pembebasan ABB menjadi bebas bersyarat. Artinya, ada syarat yang harus dipenuhi.
Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012, narapidana terorisme untuk mendapat bebas bersyarat harus menandatangani pernyataan mengakui dirinya bersalah dan setia kepada NKRI. Surat tersebut yang sejak semula tidak ingin ditandatangani oleh ABB.
Polemik yang muncul belakangan ini terkait rencana pembebasan ABB adalah pemerintah terkesan secara tiba-tiba dan tanpa dasar yang kuat ingin melakukan pembebasan, terlepas bahwa secara hukum dan konstitusi, pemerintah dalam hal ini Presiden, dimungkinkan melakukan itu. Lantas, pertanyaan masyarakat luas, termasuk dunia internasional, mengapa alasan kemanusiaan itu "jatuh" pada ABB? Dan, seketika anasir-anasir politik muncul melengkapi belum adanya mekanisme yang tepat untuk pembebasan ABB.
Parsons (1976) menyebutkan bahwa hukum tidak akan terlepas dari anasir politik mengingat keputusan hukum tersebut diambil seorang pejabat yang terpilih karena proses politik. Maka, dapat dipahami, anasir politik terkait pembebasan ABB tersebut muncul mengingat saat ini adalah tahun politik dan petahana akan berkontes dalam Pemilihan Presiden 2019.
Pro
Terlepas dari anasir politik yang timbul dengan adanya rencana pembebasan ABB, tampak bahwa dalam menegakkan hukum pemerintah tidak kaku dan tetap berpegang pada sisi kemanusiaan. Pada rencana pembebasan ABB, pemerintah idealnya memiliki rencana yang konkret dan berguna bagi bangsa pascabebasnya ABB. Misalnya ABB dapat menjadi mitra pemerintah pada program kontraradikalisasi (deradikalisasi), bukan saja mengingat karena ABB masih memiliki banyak pengikut sehingga akan bermanfaat secara politik menjelang pilpres.
Tentu saja dengan pembebasan ABB ini pemerintah akan mengurangi ketegangan dengan kelompok radikal. Selain itu, pemerintah bisa menunjukkan citra humanis pada penegakan hukum karena dengan pembebasan ABB. Di situ pemerintah membuktikan bahwa hukum bukanlah alat balas dendam, tetapi merupakan alat pembinaan yang efektif. Karena itu, pemerintah harus mampu memanfaatkan sisi positif ABB pascadibebaskan.
Misalnya berpartisipasi dalam program kontraradikalisme sehingga dalam hal ini pemerintah berhasil menunjukkan bahwa pemidanaan berhasil mengubah ABB dari yang semula bertentangan dengan pemerintah menjadi bersama-sama pemerintah memerangi radikalisme dan terorisme. Sebab, jika digunakan alasan kemanusiaan saja tanpa ada rencana yang memadai setelah pembebasan, kebijakan itu akan terkesan sangat subjektif.
Bredemier (1980) menjelaskan, subjektivitas hukum akan membawa masyarakat pada anasir politik, sebab subjektivitas hukum dan kepentingan politik berada pada domain yang sama. Sebenarnya, bagi masyarakat, bukan persoalan ABB akan dibebaskan, tetapi pemerintah harus dapat memberi penjelasan objektif mengapa ABB dibebaskan dan dalam hal ini pemerintah harus menyampaikan kepada masyarakat luas bahwa keputusan ini diambil untuk kepentingan masyarakat luas.
Sebaliknya, jika gagal menjelaskan alasan di balik pembebasan ABB, pemerintah justru dianggap merusak kepastian hukum dan kesan yang tertanam bahwa petahana menggunakan kewenangannya di bidang hukum untuk kepentingan politik praktis, sehingga dalam hal ini hukum tidak lagi netral dan bebas nilai.
Kontra
Pemerintah harus benar-benar berhitung terkait mekanisme pembebasan ABB, baik terkait alasan dan mekanismenya. Jika digunakan alasan kemanusiaan sebagai dasar pembebasan ABB, pertanyaannya: mengapa dipilih ABB, bukankah narapidana yang layak dibebaskan dengan alasan kemanusiaan dan bersedia dengan sukarela setia pada NKRI?
Jika pertanyaan ini tidak dapat dijelaskan pada masyarakat luas, artinya rencana pembebasan ABB justru bukti bahwa pemerintah belum mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mestinya, dalam hal ini pemerintah membuat kualifikasi yang disebut alasan kemanusiaan dan kualifikasi tersebut berlaku bagi semua orang.
Memang, dalam hal ini secara konstitusional presiden memiliki hak untuk memberi pengampunan. Namun, jika pemerintah dalam hal ini Presiden—tidak mampu menjelaskan kajian hukum yang adequate terkait rencana pembebasan ABB, maka selain akan dapat mengakibatkan terkesampingkannya kepastian hukum juga akan mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah terkait penegakan hukum, karena pemerintah masih dipandang tebang pilih.
Bagaimanapun, metode pembebasan ABB benar-benar harus dikalkulasi sehingga tidak ada cacat formil, prosedur, dan cacat materiil. Jika pembebasan ABB melanggar ketentuan perundang-undangan, pemerintah justru menciptakan kekacauan hukum dengan dalih kemanusiaan. Persoalannya, jika kelak pembebasan ABB ini dapat menjadi preseden bagi kasus-kasus berikutnya maka akan berpotensi merusak sistem pemidanaan dan wibawa lembaga penegak hukum itu sendiri.
Kini setelah rencana pembebasan ABB sudah didengar masyarakat luas, sudah tidak mungkin lagi pemerintah mengurungkan pembebasan ABB. Jika hal tersebut terjadi, maka akan terjadi kegaduhan di masyarakat yang secara hukum akan mengganggu stabilitas masyarakat dan secara politik akan menggerus elektabilitas petahana.
Maka, kini hal yang harus dipastikan adalah menggunakan metode yang tepat pada proses pembebasan ABB. Menggunakan metode yang tepat dalam pengertian tidak ada hukum yang dilanggar terkait pembebasan ABB tersebut. Dalam hal ini jika pembebasan ABB dilakukan dengan melanggar aturan yang tersedia maka sudah pasti pembebasan ABB akan menjadi "beban masa lalu" petahana secara politis.
(maf)