Catatan Debat Capres Pertama

Rabu, 23 Januari 2019 - 07:33 WIB
Catatan Debat Capres...
Catatan Debat Capres Pertama
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

DEBAT capres tahap pertama sudah dilakukan. Kedua pasangan capres-cawapres memberikan penampilan yang optimal. Meski demikian, kita tidak dapat menghindari kesimpulan bahwa debat pertama di minggu lalu terasa membosankan. Saya mencatat dan menduga mengapa muncul persepsi seperti itu.

Pertama, perubahan konteks penyebaran informasi. Dalam tahun-tahun sebelumnya, debat capres ditunggu-tunggu karena pemilih berharap mendapatkan informasi baru yang belum ada di koran, TV, atau majalah. Informasi baru ini tidak hanya tentang gagasan, tetapi juga penampilan para kandidat dan cara mereka membawakan diri dan berinteraksi sebagai negarawan.

Kali ini debat capres juga ditunggu-tunggu, tetapi ternyata tidak ada informasi yang baru karena seluruh “amunisi” perdebatan telah dibahas melalui sosial media, koran, TV, majalah. Poin-poin yang diangkat para capres sudah pernah menjadi bahan diskusi antara para pendukung capres.

Diskusi-diskusi tersebut praktis melahap habis seluruh informasi yang tertuang dalam visi dan misi kampanye para kandidat. Situasi tersebut menyebabkan informasi yang disampaikan oleh capres terdengar “kedaluwarsa” sehingga membuat para pemilih jenuh.

Kedua, terkait dengan catatan pertama, KPU (Komisi Pemilihan Umum) perlu meninjau tujuan dari debat capres. KPU secara formal menyatakan bahwa debat capres adalah untuk memperdalam pembahasan visi dan misi dari kedua kandidat.

Masalahnya apa yang ingin diperdalam? Apakah isi dari visi-misi atau paradigma berpikir dari kedua pasangan?

Jika ingin bicara isi dari visi-misi, tantangannya adalah membumikan idealisme menjadi kebijakan yang bisa dilaksanakan di tataran praktis. Tema hukum, hak asasi manusia (HAM), korupsi, dan terorisme yang diangkat dalam debat pertama terbilang kompleks untuk dikupas secara mendalam karena terbatasnya waktu.

Ketika fokusnya pada isi visi-misi maka yang muncul adalah idealisme dan abstraksi masalah. Tetapi membahas idealisme seakan klise karena sepatutnya bukan norma-norma yang perlu diketahui pemilih dalam debat, melainkan cara capres membumikan norma tersebut dalam wujud kebijakan di tataran praktis. Akan lebih bermanfaat bila para capres menggambarkan siapa saja aktor di balik suatu kebijakan atau kurang berhasilnya suatu kebijakan.

Itu sebabnya saya berpendapat bahwa KPU semestinya berupaya menggali cara berpikir capres. Pengertian paradigma secara bebas menurut Thomas Khun (Scientific Revolution) adalah kerangka pemikiran dasar yang memuat pandangan, keyakinan, cara atau metode memecahkan masalah, objek atau fenomena yang kompleks.

Contoh, Partai Demokrat yang liberal dan Partai Republikan yang konservatif di Amerika Serikat (AS) berpegang pada norma yang sama yakni memberikan kesejahteraan pada warga negara, termasuk jaminan asuransi kesehatan, tetapi masing-masing memiliki paradigma yang berbeda dalam memaknai cara menyediakan jaminan asuransi kesehatan. Yang berbeda adalah tugas yang dibuat untuk pemerintah federal, bentuk pendanaannya dan respons pemerintah federal pada para pelaku dunia usaha dan pasien.

Partai Republikan meyakini bahwa setiap individu bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Negara hanya hadir ketika diperlukan, misalnya asuransi kesehatan harus ditanggung sendiri oleh peserta; kalaupun dibantu maka pemerintah daerah yang menjadi penjamin dan jumlah nominal yang diterima sangat kecil dibandingkan yang dibayar sendiri.

Pemberian bantuan pun selektif hanya kepada mereka yang membutuhkan. Apabila keluarganya masih ada, keluarganya yang harus bertanggung jawab. Seseorang harus membuktikan (lewat sistem monitoring) bahwa ia tidak mendapat bantuan dari keluarga atau orang lain untuk bisa mendapatkan bantuan dari negara.

Di sisi lain, Partai Demokrat memandang bahwa individu dapat sejahtera dan mengambil manfaat dari pasar bebas dan kompetisi apabila kebutuhan mendasar mereka terpenuhi. Apabila negara tidak dapat menyediakan bantuan itu maka tidak akan ada kesejahteraan untuk individu karena mereka tidak mendapatkan kesempatan yang sama. Itu sebabnya capres dari Partai Demokrat mengedepankan pengaturan pajak dan peningkatan peranan pemerintah federal.

Apabila kita ingin menggali paradigma para capres, tema atau topik hanyalah alat atau pemantik untuk membedah paradigma tersebut. Dalam hukum, misalnya, KPU bisa bertanya tentang pandangan para capres tentang kasus Fidelis terkait penggunaan mariyuana untuk pengobatan.

Apakah para capres setuju dengan hakim atau tidak? Apakah capres lebih setuju pada hukum yang prosedural atau yang substantif?

Para capres tidak perlu menghafalkan UU dalam kasus itu, tetapi yang lebih penting bagaimana kerangka pikir mereka dalam memandang kasus tersebut. Kepedulian pada kebutuhan kelompok-kelompok masyarakat dan kemampuan menjawab dengan penampilan yang simpatik adalah hal yang ditunggu dan dicari oleh pemilih.

Sayangnya dalam debat capres yang pertama ada obsesi agar capres menjawab semua topik, tetapi dengan waktu yang sempit. Akibatnya pertanyaan-pertanyaan bersifat probing atau menuntun.

Pertanyaan dalam debat capres kemarin rata-rata didahului oleh presupposition atau keterangan pendahulu. Masalahnya kemudian adalah bahwa keterangan pendahulu itu akhirnya digunakan sebagai jawaban dari para kandidat. Hal ini menambah kejenuhan saat menonton karena tidak muncul dialog berdasarkan paradigma, tetapi lebih ke soal jawaban normatif.

Contoh, kepastian hukum sangat penting bagi warga pelaku usaha dan jalannya pemerintahan. Namun, ternyata banyak peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih serta tidak harmonisnya peraturan di tingkat pusat serta daerah.

Apa strategi Anda untuk menyelesaikan masalah tersebut? Jawaban dari capres Prabowo, ”Kami akan perkuat dengan pakar-pakar hukum yang terbaik untuk melakukan sinkronisasi penyelarasan sehingga undang-undang, peraturan-peraturan di pusat tidak bertabrakan dengan peraturan-peraturan di daerah.”

Pernyataan pendahuluan bahwa “kepastian hukum sangat penting” adalah sumber norma, yang kemudian menjadi landasan jawaban para capres. Hampir tidak ada beda kecuali pada keterangan tambahannya. Hal ini yang menyebabkan terjadinya jawaban-jawaban yang retoris.

Contoh lain, di masyarakat kerap dipertentangkan antara ketegasan penegakan hukum dan isu HAM, dalam konteks seperti apa ketegasan penegakan hukum harus dikedepankan dan dalam konteks apa HAM yang harus mendapat perhatian? Jawaban capres Joko Widodo, “Jangan mempertentangkan antara HAM dan penindakan hukum. Penindakan hukum yang sesuai dengan prosedur itu bukan pelanggaran HAM.”

Pernyataan pendahuluan “kerap dipertentangkan” dan pertanyaan “dalam konteks apa” sebetulnya sudah menuntun jawaban bahwa penegakan hukum dan HAM harus dipisahkan. Hal ini yang menyebabkan suasana jawaban menjadi sangat normatif dan retoris.

Kalimat pendahuluan dalam pertanyaan tidak salah, tetapi perlu ditulis oleh mereka yang ahli agar tepat sasaran. Para peneliti sosial telah terbiasa dan terlatih dalam menyusun daftar pertanyaan wawancara yang tidak bias dan tidak menuntun jawaban seseorang. Peneliti sosial terlatih dalam merancang pertanyaan terbuka dan tertutup.

Saya juga merekomendasikan agar KPU menetapkan bahwa tujuan debat capres adalah lebih memperdalam paradigma capres daripada sosialisasi tentang visi dan misi. Hal ini terkait dengan catatan pertama saya bahwa pradebat capres sebetulnya sudah dilakukan dan diketahui oleh masyarakat melalui media sosial dan media elektronik selama ini.

Pertanyaan terkait paradigma dapat dikupas dengan bentuk pertanyaan klarifikasi. Contoh pertanyaan Martha Raddatz kepada Trump dalam pilpres 2016. “Anda mengatakan ingin mengakhiri Obamacare dan membuat jaminan kesehatan dapat diakses oleh orang-orang yang sudah jatuh sakit. Bagaimana Anda memaksa perusahaan asuransi untuk melakukan itu jika Anda tidak lagi mewajibkan asuransi bagi semua orang?

Atau dalam debat pertama George W Bush dengan John Kerry 2004 saat Bush mencalonkan diri kedua kalinya. “Apakah menurut Anda, Anda dapat lebih baik daripada Presiden Bush dalam mencegah terulangnya peristiwa 9-11?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan membantu pemilih untuk mengetahui watak dan cara berpikir para capres. Hal-hal normatif punya ruang sendiri untuk dibahas, seperti di media massa atau bahkan sosial media. Liputan live atau langsung sangat penting untuk menggambarkan kepribadian dan kesiapan capres.

Ada kekhawatiran bahwa perhatian pada kepribadian dan kesiapan capres bisa mengurangi respek pada para capres. Yang patut diingat adalah bahwa debat memang punya risiko mengurangi atau menambah pemilih. Kasus Bush Jr vs Al-Gore atau Trump vs Clinton memperlihatkan bahwa kandidat yang tidak populer di media justru memenangkan suara.

Masyarakat Indonesia dan para pemimpinnya patut menyadari bahwa pelaksanaan demokrasi di Indonesia memunculkan antusiasme dari negara-negara lain. Tak terhitung betapa seringnya saya ditanya tentang apa perbedaan antara capres yang satu dan yang lain, atau peluang mereka untuk unggul dari yang lain.

Para diplomat asing cukup banyak yang fasih berbahasa Indonesia dan memang ditugaskan untuk memantau perkembangan politik di dalam negeri juga. Artinya, debat capres di TV bisa saja menimbulkan kepercayaan tertentu pada masa depan Indonesia sebagai mitra kerja sama.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9624 seconds (0.1#10.140)