Catatan Khusus ICJR dalam Debat Capres Perdana
A
A
A
JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memiliki catatan khusus dalam debat pertama yang bertajuk HAM, Korupsi, dan Terorisme. Pada pembahasan mengenai isu tumpang tindih regulasi, para pasangan calon luput dalam mengangkat isu tumpang tindih peraturan perundang-undangan dalam kerangka hukum pidana.
Padahal, isu regulasi hukum pidana yang tumpang tindih ini sangat penting karena dalam hukum pidana dianut adanya prinsip lex certa, lex stricta, dan lex scripta. Fenomena yang ada saat ini, terdapat begitu banyak peraturan perundang-undangan pidana yang memuat ancaman pidana namun bertentangan satu sama lain atau memuat istilah yang berbeda-beda sehingga menimbulkan ketidakpastian.
"Saat ini juga pembahasan RKUHP yang diyakini sebagai kodifikasi seluruh ketentuan pidana sedang berlangsung. Sayangnya, kedua pasangan calon tidak punya fokus untuk pembenahan regulasi pidana," ujar Direktur Eksekutif ICJR Anggara dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews.com, Senin (21/1/2019).
Lalu, lanjut Anggara, dalam isu penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme dalam kaitannya dengan HAM, kedua pasangan calon menyetujui bahwa deradikalisasi adalah suatu hal yang penting dalam pencegahan terorisme.
ICJR menilai bahwa masalah injustice dan inequality menjadi suatu problem yang harus diperhatikan dan bukan hanya terbatas pada perubahan ideologi agar seseorang tidak menjadi radikal. Terorisme saat ini sudah menjadi permasalahan yang kompleks dan tidak lagi hanya terbatas pada permasalahan perbedaan ideologi yang dianut.
"Sayangnya, kedua belah pasangan calon tidak menawarkan bagaimana sebenarnya injustice dan inequality yang sangat kental dalam masyarakat ini bisa diatasi sehingga terorisme bisa dicegah secara bertahap," kata Anggara.
Anggara juga mencatat terkait isu fair trial sempat mengemuka dalam sesi debat Calon Presiden dan Wakil Presiden. Pasangan calon Joko Widodo dan Maaruf Amin menyatakan bahwa HAM dan penindakan hukum yang sesuai bukanlah merupakan suatu pelanggaran HAM.
Sebagai contoh mengenai penahanan, yang harus dilakukan supaya tersangka tidak melarikan diri atau merusak barang bukti. Tidak hanya itu, keberadaan lembaga pra-peradilan juga sempat dinyatakan, untuk menjadi alasan bahwa Indonesia saat ini sudah melaksanakan fair trial karena terhadap mekanisme uji terhadap upaya paksa.
"ICJR memandang, jawaban ini tidak merepresentasikan masalah fair trial yang ada di Indonesia, sebab dalam isu ini, permasalahan tidak sebatas pada kerangka hukum yang tidak memadai, namun juga pada tingkatan pelaksanaannya," jelasnya.
"Sebab, berdasarkan Laporan Penilaian Prinsip Fair Trial di Indonesia 2018, saat ini penilaian terhadap pemenuhan hak tersangka selama proses peradilan, diantaranya hak untuk tidak dilakukan penangkapan dan ditahan secara sewenang-wenang, masih berada di angka 37,6% (kurang)," sambungnya.
Terkait pemaparan visi misi, Pasangan Calon Nomor Urut 1 menekankan bahwa HAM tidak hanya terbatas pada hak sipil dan politik namun juga hak ekonomi, sosial, dan budaya serta bahwa pelanggaran HAM berat masa lalu tidak mudah dalam menyelesaikannya.
Karena ada kompleksitas dalam mekanisme, pembuktian, serta waktu sehingga reformasi kelembagaan dan penguatan sistem manajemen hukum dan budaya hukum harus dilakukan.
"Sedangkan Pasangan Calon Nomor Urut 2 memaparkan bahwa Indonesia sedang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan, sehingga dengan mengusung jargon 'Indonesia Menang' pasangan calon nomor urut 2 akan menyelesaikan permasalahan hukum dari muara masalah, dengan mencukupkan anggaran untuk menjamin kualitas semua petugas yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan sehingga tidak mudah korupsi," tuturnya.
Padahal, isu regulasi hukum pidana yang tumpang tindih ini sangat penting karena dalam hukum pidana dianut adanya prinsip lex certa, lex stricta, dan lex scripta. Fenomena yang ada saat ini, terdapat begitu banyak peraturan perundang-undangan pidana yang memuat ancaman pidana namun bertentangan satu sama lain atau memuat istilah yang berbeda-beda sehingga menimbulkan ketidakpastian.
"Saat ini juga pembahasan RKUHP yang diyakini sebagai kodifikasi seluruh ketentuan pidana sedang berlangsung. Sayangnya, kedua pasangan calon tidak punya fokus untuk pembenahan regulasi pidana," ujar Direktur Eksekutif ICJR Anggara dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews.com, Senin (21/1/2019).
Lalu, lanjut Anggara, dalam isu penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme dalam kaitannya dengan HAM, kedua pasangan calon menyetujui bahwa deradikalisasi adalah suatu hal yang penting dalam pencegahan terorisme.
ICJR menilai bahwa masalah injustice dan inequality menjadi suatu problem yang harus diperhatikan dan bukan hanya terbatas pada perubahan ideologi agar seseorang tidak menjadi radikal. Terorisme saat ini sudah menjadi permasalahan yang kompleks dan tidak lagi hanya terbatas pada permasalahan perbedaan ideologi yang dianut.
"Sayangnya, kedua belah pasangan calon tidak menawarkan bagaimana sebenarnya injustice dan inequality yang sangat kental dalam masyarakat ini bisa diatasi sehingga terorisme bisa dicegah secara bertahap," kata Anggara.
Anggara juga mencatat terkait isu fair trial sempat mengemuka dalam sesi debat Calon Presiden dan Wakil Presiden. Pasangan calon Joko Widodo dan Maaruf Amin menyatakan bahwa HAM dan penindakan hukum yang sesuai bukanlah merupakan suatu pelanggaran HAM.
Sebagai contoh mengenai penahanan, yang harus dilakukan supaya tersangka tidak melarikan diri atau merusak barang bukti. Tidak hanya itu, keberadaan lembaga pra-peradilan juga sempat dinyatakan, untuk menjadi alasan bahwa Indonesia saat ini sudah melaksanakan fair trial karena terhadap mekanisme uji terhadap upaya paksa.
"ICJR memandang, jawaban ini tidak merepresentasikan masalah fair trial yang ada di Indonesia, sebab dalam isu ini, permasalahan tidak sebatas pada kerangka hukum yang tidak memadai, namun juga pada tingkatan pelaksanaannya," jelasnya.
"Sebab, berdasarkan Laporan Penilaian Prinsip Fair Trial di Indonesia 2018, saat ini penilaian terhadap pemenuhan hak tersangka selama proses peradilan, diantaranya hak untuk tidak dilakukan penangkapan dan ditahan secara sewenang-wenang, masih berada di angka 37,6% (kurang)," sambungnya.
Terkait pemaparan visi misi, Pasangan Calon Nomor Urut 1 menekankan bahwa HAM tidak hanya terbatas pada hak sipil dan politik namun juga hak ekonomi, sosial, dan budaya serta bahwa pelanggaran HAM berat masa lalu tidak mudah dalam menyelesaikannya.
Karena ada kompleksitas dalam mekanisme, pembuktian, serta waktu sehingga reformasi kelembagaan dan penguatan sistem manajemen hukum dan budaya hukum harus dilakukan.
"Sedangkan Pasangan Calon Nomor Urut 2 memaparkan bahwa Indonesia sedang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan, sehingga dengan mengusung jargon 'Indonesia Menang' pasangan calon nomor urut 2 akan menyelesaikan permasalahan hukum dari muara masalah, dengan mencukupkan anggaran untuk menjamin kualitas semua petugas yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan sehingga tidak mudah korupsi," tuturnya.
(maf)