Alat Perang Hibrida Rusia dan Pilpres 2019
A
A
A
Alto Labetubun
Lulusan Master of International Studies dari University of Queensland, Australia, Analis Konflik dan Konsultan Keamanan bekerja di Timur Tengah dan Afrika Utara, Sekarang Tinggal di Irak
PERBINCANGAN tentang Firehose of Falsehood: alat perang hibrida Rusia dan bagaimana melawannya di kompetisi Pilpres 2019 akhir-akhir ini, banyak sekali berseliweran di media daring. Ini tentang taktik propaganda dengan cara membanjiri target dengan informasi tidak benar atau informasi yang ada unsur kebenarannya namun dibelokkan. Metode propaganda ini dikenal dengan sebutan Firehose of Falsehood.
Contoh yang banyak dipakai dalam unggahan daring itu adalah model kampanye Trump saat dia berkompetisi di Pilpres Amerika dan berhasil menjadikannya Presiden Amerika ke-45 pada 2017 lalu. Firehose of Falsehood sendiri bukanlah model propaganda yang dibuat dan/atau lahir saat Trump melakukan kampanyenya. Sebaliknya, Firehose of Falsehood ini adalah sebuah alat perang yang dikembangkan Rusia sebagai senjata dalam era peperangan modern alias Hybrid Warfare.
Hybrid Warfare bisa diartikan sebagai sebuah model perang karena kekuatan dan karakter militer itu sedemikian rupa disembunyikan dari lawan sehingga menciptakan kebingungan bagi musuh untuk merespons secara tepat. Agar hal ini bisa terjadi, maka informasi dimanipulasi sehingga target menjadi bingung untuk melakukan perlawanan, termasuk target merespons ke arah yang salah. Dalam perang konvensional, manipulasi informasi biasanya dilakukan dengan cara infiltrasi agen ke target, kemudian informasi yang salah tersebut disebarkan di dalam untuk membuat target merespons ke sasaran salah. Tapi, infiltrasi itu butuh waktu lama dengan risiko tinggi.
Dalam era Hybrid Warfare, hal yang sama bisa dicapai tanpa harus melakukan infiltrasi, yaitu dengan memanipulasi informasi dan kemudian disebar dari luar. Di sinilah taktik propaganda Rusia, yaitu Firehose of Falsehood, itu menjadi alat utama dalam Hybrid Warfare. Karakteristik dari Firehose of Falsehood Rusia itu ada pada masifnya jumlah saluran atau kanal yang dipergunakan, banyaknya jumlah konten atau pesan difabrikasi dan disebarkan lewat kanal-kanal tersebut, serta ketiadaan rasa bersalah dalam memberitakan informasi yang sudah difabrikasi.
Tujuannya untuk menciptakan kebingungan bagi orang yang menerima informasi tersebut sehingga dia menjadi tidak percaya pada sumber-sumber informasi yang kredibel.
Propaganda Firehose of Falsehood dalam kampanye politik cukup bisa diadaptasi dalam kontestasi politik seperti pemilihan presiden, DNA dari propaganda ini bisa terlihat dalam kontestasi Pilpres 2019 di Indonesia.
Taktik ini sangat jelas terlihat dipakai oleh tim kampanye pasangan 02. Pertama, banyaknya kanal atau saluran yang dipergunakan. Di kubu 02, bukan hanya calon presiden Prabowo Subianto saja menjadi saluran informasi. Ada calon wakil presiden, ada tokoh-tokoh politik mewakili partai pendukung 02, dan ada kanal-kanal nonpartai.
Kanal-kanal ini secara masif dikembangkan lewat media daring dan jejaring sosial serta juga buletin-buletin dan media cetak. Kedua, masifnya konten-konten setengah benar dan benar-benar bohong yang diproduksi atau direproduksi secara terus-menerus dan berulang.
Konten-konten itu antara lain, Jokowi PKI, Jokowi anti-Islam, Jokowi antek asing, serbuan tenaga kerja asing di Indonesia, harga-harga jauh lebih mahal daripada negara luar, Ratna Sarumpaet dipukul, 70 juta kertas suara sudah tercoblos, selang transfusi darah dipakai berulang kali, dan banyak lagi konten yang diproduksi.
Ketiga, ketiadaan rasa malu dalam memfabrikasi konten, baik setengah benar ataupun betul-betul merupakan kebohongan. Konten Ratna Sarumpaet dipukul, 70 juta kertas suara yang sudah tercoblos, dan transfusi darah, adalah konten-konten nyatanya kebohongan, tetapi sama sekali tidak ada maaf atau rasa bersalah untuk berhenti memproduksi kebohongan.
Strategi Perlawanan
Kasus serbuan tenaga kerja asing adalah contoh disinformasi karena fakta bahwa memang ada tenaga kerja asing di Indonesia difabrikasi seakan-akan mereka sudah menjadi ancaman bagi ketersediaan lapangan kerja bagi orang Indonesia. Bagaimana melawan taktik ini?
Taktik Hybrid Warfare yang dikembangkan Rusia dan diaplikasikan dalam kontestasi politik seperti pilpres ini memang tidak gampang dilawan. Hal ini karena tujuan dari pihak yang memakai taktik ini dalam konteks pilpres adalah menciptakan ketidakpercayaan pemilih pada target, yang dalam konteks Pilpres 2019 adalah kubu Jokowi.
Apa yang direspons kubu Jokowi akan dianggap oleh orang yang percaya pada propaganda tersebut sebagai pembelaan diri dari orang yang salah. Akan tetapi, ada beberapa cara bisa dilakukan. Pertama, penegakan hukum. Kubu Jokowi tidak perlu membalas konten dengan konten di ruang publik karena itu akan memiliki dampak kecil. Tetapi, mereka bisa membawa atau mengeskalasikan konten yang difabrikasi kepada aparat penegak hukum sehingga pembuktiannya bisa dilakukan pihak ke-3, yaitu aparat keamanan.
Respons yang sudah dilakukan pemerintahan Jokowi terhadap kasus Ratna Sarumpaet dan kasus 70 juta suara yang tercoblos adalah cara jitu dan sudah tepat. Semakin cepat pemerintah bertindak, semakin menurun efektivitas propaganda yang dimainkan.
Kedua, dengan menciptakan narasi sebelum konten propaganda itu dilakukan. Ibarat orang menonton film, antisipasi terhadap bagaimana alur ceritanya itu akan hilang saat ending dari film tersebut sudah diceritakan oleh orang lain. Dalam konteks pilpres, yang perlu dilakukan pemerintahan Jokowi adalah menyebarkan kepada masyarakat atau warning tentang model-model konten atau propaganda yang kemungkinan akan dilakukan lawan. Dengan begitu, pada saatnya mereka mengeluarkan konten tersebut, masyarakat sudah tahu.
Misalnya, kubu Jokowi sudah harus mengeluarkan warning bahwa saat Ahok keluar, pihak 02 sudah pasti akan memanfaatkan isu ini untuk menyerang hubungan antara KH Ma’ruf Amin dengan konstituennya. Kubu Jokowi juga sudah harus mengeluarkan warning bahwa sama dengan Pilkada DKI tahun 2017, akan ada mobilisasi massa ke TPS-TPS untuk melakukan teror psikologis kepada pemilih.
Intinya adalah meberitahukan spoiler dari apa yang akan dilakukan kubu lawan sebelum mereka melakukan hal tersebut. Dengan demikian, saat mereka melakukannya, target mereka sudah tahu bahwa informasi yang mereka lakukan itu adalah propaganda.
Lulusan Master of International Studies dari University of Queensland, Australia, Analis Konflik dan Konsultan Keamanan bekerja di Timur Tengah dan Afrika Utara, Sekarang Tinggal di Irak
PERBINCANGAN tentang Firehose of Falsehood: alat perang hibrida Rusia dan bagaimana melawannya di kompetisi Pilpres 2019 akhir-akhir ini, banyak sekali berseliweran di media daring. Ini tentang taktik propaganda dengan cara membanjiri target dengan informasi tidak benar atau informasi yang ada unsur kebenarannya namun dibelokkan. Metode propaganda ini dikenal dengan sebutan Firehose of Falsehood.
Contoh yang banyak dipakai dalam unggahan daring itu adalah model kampanye Trump saat dia berkompetisi di Pilpres Amerika dan berhasil menjadikannya Presiden Amerika ke-45 pada 2017 lalu. Firehose of Falsehood sendiri bukanlah model propaganda yang dibuat dan/atau lahir saat Trump melakukan kampanyenya. Sebaliknya, Firehose of Falsehood ini adalah sebuah alat perang yang dikembangkan Rusia sebagai senjata dalam era peperangan modern alias Hybrid Warfare.
Hybrid Warfare bisa diartikan sebagai sebuah model perang karena kekuatan dan karakter militer itu sedemikian rupa disembunyikan dari lawan sehingga menciptakan kebingungan bagi musuh untuk merespons secara tepat. Agar hal ini bisa terjadi, maka informasi dimanipulasi sehingga target menjadi bingung untuk melakukan perlawanan, termasuk target merespons ke arah yang salah. Dalam perang konvensional, manipulasi informasi biasanya dilakukan dengan cara infiltrasi agen ke target, kemudian informasi yang salah tersebut disebarkan di dalam untuk membuat target merespons ke sasaran salah. Tapi, infiltrasi itu butuh waktu lama dengan risiko tinggi.
Dalam era Hybrid Warfare, hal yang sama bisa dicapai tanpa harus melakukan infiltrasi, yaitu dengan memanipulasi informasi dan kemudian disebar dari luar. Di sinilah taktik propaganda Rusia, yaitu Firehose of Falsehood, itu menjadi alat utama dalam Hybrid Warfare. Karakteristik dari Firehose of Falsehood Rusia itu ada pada masifnya jumlah saluran atau kanal yang dipergunakan, banyaknya jumlah konten atau pesan difabrikasi dan disebarkan lewat kanal-kanal tersebut, serta ketiadaan rasa bersalah dalam memberitakan informasi yang sudah difabrikasi.
Tujuannya untuk menciptakan kebingungan bagi orang yang menerima informasi tersebut sehingga dia menjadi tidak percaya pada sumber-sumber informasi yang kredibel.
Propaganda Firehose of Falsehood dalam kampanye politik cukup bisa diadaptasi dalam kontestasi politik seperti pemilihan presiden, DNA dari propaganda ini bisa terlihat dalam kontestasi Pilpres 2019 di Indonesia.
Taktik ini sangat jelas terlihat dipakai oleh tim kampanye pasangan 02. Pertama, banyaknya kanal atau saluran yang dipergunakan. Di kubu 02, bukan hanya calon presiden Prabowo Subianto saja menjadi saluran informasi. Ada calon wakil presiden, ada tokoh-tokoh politik mewakili partai pendukung 02, dan ada kanal-kanal nonpartai.
Kanal-kanal ini secara masif dikembangkan lewat media daring dan jejaring sosial serta juga buletin-buletin dan media cetak. Kedua, masifnya konten-konten setengah benar dan benar-benar bohong yang diproduksi atau direproduksi secara terus-menerus dan berulang.
Konten-konten itu antara lain, Jokowi PKI, Jokowi anti-Islam, Jokowi antek asing, serbuan tenaga kerja asing di Indonesia, harga-harga jauh lebih mahal daripada negara luar, Ratna Sarumpaet dipukul, 70 juta kertas suara sudah tercoblos, selang transfusi darah dipakai berulang kali, dan banyak lagi konten yang diproduksi.
Ketiga, ketiadaan rasa malu dalam memfabrikasi konten, baik setengah benar ataupun betul-betul merupakan kebohongan. Konten Ratna Sarumpaet dipukul, 70 juta kertas suara yang sudah tercoblos, dan transfusi darah, adalah konten-konten nyatanya kebohongan, tetapi sama sekali tidak ada maaf atau rasa bersalah untuk berhenti memproduksi kebohongan.
Strategi Perlawanan
Kasus serbuan tenaga kerja asing adalah contoh disinformasi karena fakta bahwa memang ada tenaga kerja asing di Indonesia difabrikasi seakan-akan mereka sudah menjadi ancaman bagi ketersediaan lapangan kerja bagi orang Indonesia. Bagaimana melawan taktik ini?
Taktik Hybrid Warfare yang dikembangkan Rusia dan diaplikasikan dalam kontestasi politik seperti pilpres ini memang tidak gampang dilawan. Hal ini karena tujuan dari pihak yang memakai taktik ini dalam konteks pilpres adalah menciptakan ketidakpercayaan pemilih pada target, yang dalam konteks Pilpres 2019 adalah kubu Jokowi.
Apa yang direspons kubu Jokowi akan dianggap oleh orang yang percaya pada propaganda tersebut sebagai pembelaan diri dari orang yang salah. Akan tetapi, ada beberapa cara bisa dilakukan. Pertama, penegakan hukum. Kubu Jokowi tidak perlu membalas konten dengan konten di ruang publik karena itu akan memiliki dampak kecil. Tetapi, mereka bisa membawa atau mengeskalasikan konten yang difabrikasi kepada aparat penegak hukum sehingga pembuktiannya bisa dilakukan pihak ke-3, yaitu aparat keamanan.
Respons yang sudah dilakukan pemerintahan Jokowi terhadap kasus Ratna Sarumpaet dan kasus 70 juta suara yang tercoblos adalah cara jitu dan sudah tepat. Semakin cepat pemerintah bertindak, semakin menurun efektivitas propaganda yang dimainkan.
Kedua, dengan menciptakan narasi sebelum konten propaganda itu dilakukan. Ibarat orang menonton film, antisipasi terhadap bagaimana alur ceritanya itu akan hilang saat ending dari film tersebut sudah diceritakan oleh orang lain. Dalam konteks pilpres, yang perlu dilakukan pemerintahan Jokowi adalah menyebarkan kepada masyarakat atau warning tentang model-model konten atau propaganda yang kemungkinan akan dilakukan lawan. Dengan begitu, pada saatnya mereka mengeluarkan konten tersebut, masyarakat sudah tahu.
Misalnya, kubu Jokowi sudah harus mengeluarkan warning bahwa saat Ahok keluar, pihak 02 sudah pasti akan memanfaatkan isu ini untuk menyerang hubungan antara KH Ma’ruf Amin dengan konstituennya. Kubu Jokowi juga sudah harus mengeluarkan warning bahwa sama dengan Pilkada DKI tahun 2017, akan ada mobilisasi massa ke TPS-TPS untuk melakukan teror psikologis kepada pemilih.
Intinya adalah meberitahukan spoiler dari apa yang akan dilakukan kubu lawan sebelum mereka melakukan hal tersebut. Dengan demikian, saat mereka melakukannya, target mereka sudah tahu bahwa informasi yang mereka lakukan itu adalah propaganda.
(maf)