Pelaku Usaha Protes Pajak Toko Daring
A
A
A
Perkembangan dunia internet telah mengubah gaya hidup masyarakat dan mendorong industri e-commerce berkembang pesat di negeri berpenduduk 260 juta ini.
Di balik pertumbuhan e-commerce memang terdapat berbagai potensi, salah satunya potensi di bidang perpajakan. Atas dasar itu, sejak dua tahun lalu Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah merumuskan aturan pengenaan pajak dan siap diberlakukan pada April mendatang.
Namun, regulasi pajak tersebut oleh para pelaku e-commerce Indonesia, yang bernaung di bawah payung Indonesian e-Commerce Association (idEA), diminta dikaji ulang sebelum diberlakukan karena dinilai sepihak.
Sebagaimana dituturkan Ketua Umum idEA, Ignatius Untung, organisasinya tidak diajak bicara. Karena itu, pihak idEA telah mengirimkan proposal studi bersama sebagai bahan masukan untuk menyusun kembali aturan. Salah satu harapan pelaku e-commerce agar dampak dan risiko regulasi pajak nanti bisa ditakar secara jelas oleh pelaku usaha.
Keberatan pihak idEA terhadap aturan pajak e-commerce di antaranya dalam hal pengenaan pajak kepada setiap reseller yang ada di marketplace. Pihak idEA membuka diri diajak berdiskusi untuk mencari jalan keluar.
Sebelumnya, kebijakan pengenaan pajak bagi pelaku usaha berbasis elektronik (e-commerce ) atau toko daring (online shop) sudah diterbitkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/ PMK.010/2018 yang dicanangkan berlaku per 1 April 2019. Saat ini, regulasi itu mulai disosialisasikan sejak pekan kedua bulan ini.
Dalam keterangan resmi, Ditjen Pajak Kemenkeu tidak menetapkan jenis atau tarif pajak baru bagi pelaku e-commerce, melainkan mengatur tata cara dan prosedur pemajakan dengan maksud memberi kemudahan administrasi, serta mendorong kepatuhan perpajakan para pelaku e-commerce.
Langkah tersebut sebagai upaya menciptakan perlakuan yang setara dengan pelaku usaha konvensional. Apa saja yang diatur dalam PMK Nomor 210/PMK.010/2018? Pada intinya terdapat sebanyak tiga kategori. Pertama , pedagang dan penyedia jasa yang berjualan melalui platform marketplace . Kedua , kewajiban penyedia platform marketplace. Ketiga, pelaku e-commerce di luar platform marketplace.
Pedagang dan penyedia jasa yang berjualan melalui platform marketplace diwajibkan memberi tahu nomor pokok wajib pajak (NPWP) kepada penyedia platform marketplace. Mereka yang tidak memiliki NPWP diganti dengan nomor induk kependudukan.
Melaksanakan kewajiban terkait PPh sesuai dengan ketentuan berlaku, seperti membayar pajak final dengan tarif 0,5% dari omzet yang tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun. Dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak apabila omzet melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun, serta melaksanakan kewajiban terkait PPN sesuai ketentuan yang berlaku.
Adapun kewajiban penyedia platform marketplace, yakni memiliki NPWP dan dikukuhkan sebagai penghasilan kena pajak (PKP). Memungut, menyetor dan melaporkan PPN dan PPh terkait penyediaan layanan platform marketplace kepada pedagang dan penyedia jasa.
Memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan barang dagangan milik penyedia platform marketplace sendiri, dan melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan pedagang pengguna platform marketplace. Penyedia platform marketplace adalah pihak yang menyediakan sarana yang berfungsi sebagai pasar elektronik.
Sementara itu, pelaku e-commerce di luar platform marketplace dalam melaksanakan kegiatan perdagangan barang dan jasa melalui online retail, classified ads, daily deals, dan media sosial wajib mematuhi ketentuan PPN, PPnBM, dan PPh yang berlaku.
Pertumbuhan industri e-commerce begitu cepat, namun tidak diimbangi dengan regulasi. Bukan hanya terkait bagaimana caranya mengenakan pajak, tetapi juga menyangkut barang yang diperdagangkan. Beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah, Kementerian Perindustrian, Gati Wibawaningsih, mengeluhkan bahwa barang yang diperdagangkan dalam e-commerce 90% barang impor.
Pemerintah sadar, membatasi barang impor tentu tidak gampang. Langkah yang harus dilakukan bagaimana mendorong dunia usaha dalam negeri, terutama dari kalangan UMKM bisa berpartisipasi maksimal dalam e-commerce. Tanda-tanda ke arah itu mulai terlihat, setidaknya terbukti dalam gelaran Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) pada pengujung tahun lalu, hampir setengah dari nilai transaksi atau sekitar Rp3,1 triliun berasal dari produk lokal.
Di balik pertumbuhan e-commerce memang terdapat berbagai potensi, salah satunya potensi di bidang perpajakan. Atas dasar itu, sejak dua tahun lalu Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah merumuskan aturan pengenaan pajak dan siap diberlakukan pada April mendatang.
Namun, regulasi pajak tersebut oleh para pelaku e-commerce Indonesia, yang bernaung di bawah payung Indonesian e-Commerce Association (idEA), diminta dikaji ulang sebelum diberlakukan karena dinilai sepihak.
Sebagaimana dituturkan Ketua Umum idEA, Ignatius Untung, organisasinya tidak diajak bicara. Karena itu, pihak idEA telah mengirimkan proposal studi bersama sebagai bahan masukan untuk menyusun kembali aturan. Salah satu harapan pelaku e-commerce agar dampak dan risiko regulasi pajak nanti bisa ditakar secara jelas oleh pelaku usaha.
Keberatan pihak idEA terhadap aturan pajak e-commerce di antaranya dalam hal pengenaan pajak kepada setiap reseller yang ada di marketplace. Pihak idEA membuka diri diajak berdiskusi untuk mencari jalan keluar.
Sebelumnya, kebijakan pengenaan pajak bagi pelaku usaha berbasis elektronik (e-commerce ) atau toko daring (online shop) sudah diterbitkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/ PMK.010/2018 yang dicanangkan berlaku per 1 April 2019. Saat ini, regulasi itu mulai disosialisasikan sejak pekan kedua bulan ini.
Dalam keterangan resmi, Ditjen Pajak Kemenkeu tidak menetapkan jenis atau tarif pajak baru bagi pelaku e-commerce, melainkan mengatur tata cara dan prosedur pemajakan dengan maksud memberi kemudahan administrasi, serta mendorong kepatuhan perpajakan para pelaku e-commerce.
Langkah tersebut sebagai upaya menciptakan perlakuan yang setara dengan pelaku usaha konvensional. Apa saja yang diatur dalam PMK Nomor 210/PMK.010/2018? Pada intinya terdapat sebanyak tiga kategori. Pertama , pedagang dan penyedia jasa yang berjualan melalui platform marketplace . Kedua , kewajiban penyedia platform marketplace. Ketiga, pelaku e-commerce di luar platform marketplace.
Pedagang dan penyedia jasa yang berjualan melalui platform marketplace diwajibkan memberi tahu nomor pokok wajib pajak (NPWP) kepada penyedia platform marketplace. Mereka yang tidak memiliki NPWP diganti dengan nomor induk kependudukan.
Melaksanakan kewajiban terkait PPh sesuai dengan ketentuan berlaku, seperti membayar pajak final dengan tarif 0,5% dari omzet yang tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun. Dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak apabila omzet melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun, serta melaksanakan kewajiban terkait PPN sesuai ketentuan yang berlaku.
Adapun kewajiban penyedia platform marketplace, yakni memiliki NPWP dan dikukuhkan sebagai penghasilan kena pajak (PKP). Memungut, menyetor dan melaporkan PPN dan PPh terkait penyediaan layanan platform marketplace kepada pedagang dan penyedia jasa.
Memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan barang dagangan milik penyedia platform marketplace sendiri, dan melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan pedagang pengguna platform marketplace. Penyedia platform marketplace adalah pihak yang menyediakan sarana yang berfungsi sebagai pasar elektronik.
Sementara itu, pelaku e-commerce di luar platform marketplace dalam melaksanakan kegiatan perdagangan barang dan jasa melalui online retail, classified ads, daily deals, dan media sosial wajib mematuhi ketentuan PPN, PPnBM, dan PPh yang berlaku.
Pertumbuhan industri e-commerce begitu cepat, namun tidak diimbangi dengan regulasi. Bukan hanya terkait bagaimana caranya mengenakan pajak, tetapi juga menyangkut barang yang diperdagangkan. Beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah, Kementerian Perindustrian, Gati Wibawaningsih, mengeluhkan bahwa barang yang diperdagangkan dalam e-commerce 90% barang impor.
Pemerintah sadar, membatasi barang impor tentu tidak gampang. Langkah yang harus dilakukan bagaimana mendorong dunia usaha dalam negeri, terutama dari kalangan UMKM bisa berpartisipasi maksimal dalam e-commerce. Tanda-tanda ke arah itu mulai terlihat, setidaknya terbukti dalam gelaran Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) pada pengujung tahun lalu, hampir setengah dari nilai transaksi atau sekitar Rp3,1 triliun berasal dari produk lokal.
(maf)