Membangun Kota Tangguh Bencana
A
A
A
Nirwono Joga
Peneliti pada Pusat Studi Perkotaan
PEMERINTAH menaikkan dua kali lipat anggaran penanggulangan bencana menjadi sebesar Rp15 triliun pada APBN 2019, sementara pada 2018 realisasi anggaran bencana mencapai lebih dari Rp7,035 triliun (KORAN SINDO, 8/1).
Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa perubahan upaya mitigasi bencana harus dilakukan secara menyeluruh. Mulai kebijakan, penyediaan dana mitigasi, ketaatan pembangunan berbasis zonasi aman-rawan bencana, hingga pendidikan dan pelatihan evakuasi bencana.
Sebagai negara yang berada di atas cincin api, Indonesia memiliki kondisi geografis rawan bencana, maka kita harus siap, sigap, tanggap, dan tangguh dalam setiap menghadapi berbagai bencana, baik banjir, longsor, gunung berapi, gempa bumi, tsunami (akibat gunung meletus, gempa, longsoran bawah laut), maupun likuefaksi. Salah satunya dengan membangun Kota Tangguh Bencana.
Kota tangguh bencana merupakan komitmen pemerintah terhadap perwujudan pembangunan kota yang berkelanjutan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.
Hal itu diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pembangunan berkelanjutan berbasis kepada empat pilar yakni ekonomi, sosial, lingkungan hidup, serta tata kelola dan hukum. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan memenuhi kebutuhan generasi mendatang (Bruntland, 1987).
Pembangunan berkelanjutan melibatkan peran penting empat pihak, yakni pemerintah dan parlemen, akademisi dan pakar, filantropi dan bisnis, organisasi masyarakat dan media massa/sosial. Kerja sama didasarkan pada prinsip kesetaraan, partisipatif, akuntabel, dan saling mendukung.
TPB/SDGs memiliki 17 TPB, 169 target, dan 241 indikator yang harus dicapai hingga 2030. Pada Tujuan ke-11 TPB, target pembangunan kota adalah mewujudkan kota yang inklusif, aman, ‘tangguh (bencana)’, dan berkelanjutan.
Konsep kota tangguh bencana harus masuk dalam kebijakan perkotaan, peraturan dan perundang-undangan perkotaan, perencanaan dan perancangan perkotaan, serta ekonomi lokal dan pembiayaan perkotaan agar dapat diimplementasikan di setiap kota.
Kota tangguh bencana harus menjadi arus utama dalam penyusunan visi-misi setiap kepala daerah (rawan bencana), rencana pembangunan jangka menengah-panjang daerah (RPJMD), rencana kerja perangkat daerah (RKPD), serta rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD). Selanjutnya, Peta Rawan Bencana (Bappenas, BNPB, 2017) diintegrasikan dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW), rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi (RDTR-PZ), rencana tata bangunan lingkungan (RTBL), serta panduan rancang kota/kawasan perkotaan (PRK).Kota tangguh bencana harus difokuskan pada upaya antisipasi (pencegahan terjadinya bencana), mitigasi (pengurangan risiko bencana), dan adaptasi (penyesuaian terhadap perubahan bencana). Pemerintah kota bisa melakukan antisipasi, berada di depan sebelum bencana terjadi. Bertindak adaptasi sesuai kondisi dan potensi kelokalan. Menyusun rencana aksi mitigasi terhadap ancaman bencana yang mungkin akan terjadi.
Untuk mempercepat terwujudnya kota tangguh bencana diperlukan kerja sama berjenjang antarkota/kabupaten (lokal), provinsi (regional), pusat (nasional), hingga antarnegara (internasional). Kerja sama fokus pada upaya pengembangan kapasitas daerah, berbagi praktik-praktik sukses, kebijakan dan program terbaik, serta inovasi sumber pendanaan.
Dengan anggaran penanggulangan bencana sebesar Rp15 triliun, pemerintah seharusnya bisa membangun percontohan kota tangguh bencana di beberapa daerah rawan bencana, seperti di Banda Aceh, Aceh; Padang, Sumatera Barat; Bengkulu, Bengkulu; Bantul-Kulon Progo, DI Yogyakarta; Pandeglang, Jawa Barat; Lombok, NTB; Maumere, NTT; Palu, Sulawesi Tengah; Nabire, Papua Barat.
Pemerintah kota juga harus memberikan pengetahuan dan informasi terkait kebencanaan lokal kepada masyarakat, menyosialisasikan teknis evakuasi ketika terjadi bencana, melakukan simulasi tanggap darurat bencana, serta membangun infrastruktur mitigasi bencana.
Pemerintah kota dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mewujudkan kota tangguh bencana dengan terobosan inovatif dan kreatif agar efektif dan efisien. Misal, perencanaan tata kota tangguh bencana yang partisipatoris menerapkan aplikasi yang memberikan informasi sederhana ringkas dan jelas perihal peruntukan zona merah untuk tempat tinggal, rencana pembangunan permukiman di zona aman, keterlibatan partisipasi masyarakat, serta kanal pengaduan tentang tata ruang.
Kawasan rawan bencana harus bebas bangunan dan diperuntukkan sebagai ruang terbuka hijau berupa hutan mangrove (kawasan pesisir pantai) berjarak aman dari bibir pantai minimal 200-500 meter, hutan lindung, atau taman kota. Kawasan permukiman, perkantoran, dan perniagaan dikembangkan ke dataran tinggi atau kawasan perbukitan yang dinilai aman, mensyaratkan bangunan standar tahan gempa, dan RTH minimal 30%. Kawasan dilengkapi jalan sebagai jalur evakuasi, lapangan olahraga (posko pengungsian), dan taman-taman kota (tempat evakuasi).
Bencana tidak bisa dicegah, masyarakat yang harus berubah. Masyarakat harus lebih siap dan sigap saat bencana tiba. Tahu apa yang harus dilakukan, ke mana akan evakuasi, bagaimana bertahan hidup, bangkit memulihkan kehidupan, dan membenahi lingkungan pascabencana.
Hanya soal waktu, bencana banjir, longsor, gempa, tsunami, likuefaksi akan terjadi lagi, bisa di mana saja, kapan saja di negeri ini. Membangun kota tangguh bencana bukan merupakan pilihan tetapi sebuah keharusan.
Peneliti pada Pusat Studi Perkotaan
PEMERINTAH menaikkan dua kali lipat anggaran penanggulangan bencana menjadi sebesar Rp15 triliun pada APBN 2019, sementara pada 2018 realisasi anggaran bencana mencapai lebih dari Rp7,035 triliun (KORAN SINDO, 8/1).
Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa perubahan upaya mitigasi bencana harus dilakukan secara menyeluruh. Mulai kebijakan, penyediaan dana mitigasi, ketaatan pembangunan berbasis zonasi aman-rawan bencana, hingga pendidikan dan pelatihan evakuasi bencana.
Sebagai negara yang berada di atas cincin api, Indonesia memiliki kondisi geografis rawan bencana, maka kita harus siap, sigap, tanggap, dan tangguh dalam setiap menghadapi berbagai bencana, baik banjir, longsor, gunung berapi, gempa bumi, tsunami (akibat gunung meletus, gempa, longsoran bawah laut), maupun likuefaksi. Salah satunya dengan membangun Kota Tangguh Bencana.
Kota tangguh bencana merupakan komitmen pemerintah terhadap perwujudan pembangunan kota yang berkelanjutan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.
Hal itu diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pembangunan berkelanjutan berbasis kepada empat pilar yakni ekonomi, sosial, lingkungan hidup, serta tata kelola dan hukum. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan memenuhi kebutuhan generasi mendatang (Bruntland, 1987).
Pembangunan berkelanjutan melibatkan peran penting empat pihak, yakni pemerintah dan parlemen, akademisi dan pakar, filantropi dan bisnis, organisasi masyarakat dan media massa/sosial. Kerja sama didasarkan pada prinsip kesetaraan, partisipatif, akuntabel, dan saling mendukung.
TPB/SDGs memiliki 17 TPB, 169 target, dan 241 indikator yang harus dicapai hingga 2030. Pada Tujuan ke-11 TPB, target pembangunan kota adalah mewujudkan kota yang inklusif, aman, ‘tangguh (bencana)’, dan berkelanjutan.
Konsep kota tangguh bencana harus masuk dalam kebijakan perkotaan, peraturan dan perundang-undangan perkotaan, perencanaan dan perancangan perkotaan, serta ekonomi lokal dan pembiayaan perkotaan agar dapat diimplementasikan di setiap kota.
Kota tangguh bencana harus menjadi arus utama dalam penyusunan visi-misi setiap kepala daerah (rawan bencana), rencana pembangunan jangka menengah-panjang daerah (RPJMD), rencana kerja perangkat daerah (RKPD), serta rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD). Selanjutnya, Peta Rawan Bencana (Bappenas, BNPB, 2017) diintegrasikan dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW), rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi (RDTR-PZ), rencana tata bangunan lingkungan (RTBL), serta panduan rancang kota/kawasan perkotaan (PRK).Kota tangguh bencana harus difokuskan pada upaya antisipasi (pencegahan terjadinya bencana), mitigasi (pengurangan risiko bencana), dan adaptasi (penyesuaian terhadap perubahan bencana). Pemerintah kota bisa melakukan antisipasi, berada di depan sebelum bencana terjadi. Bertindak adaptasi sesuai kondisi dan potensi kelokalan. Menyusun rencana aksi mitigasi terhadap ancaman bencana yang mungkin akan terjadi.
Untuk mempercepat terwujudnya kota tangguh bencana diperlukan kerja sama berjenjang antarkota/kabupaten (lokal), provinsi (regional), pusat (nasional), hingga antarnegara (internasional). Kerja sama fokus pada upaya pengembangan kapasitas daerah, berbagi praktik-praktik sukses, kebijakan dan program terbaik, serta inovasi sumber pendanaan.
Dengan anggaran penanggulangan bencana sebesar Rp15 triliun, pemerintah seharusnya bisa membangun percontohan kota tangguh bencana di beberapa daerah rawan bencana, seperti di Banda Aceh, Aceh; Padang, Sumatera Barat; Bengkulu, Bengkulu; Bantul-Kulon Progo, DI Yogyakarta; Pandeglang, Jawa Barat; Lombok, NTB; Maumere, NTT; Palu, Sulawesi Tengah; Nabire, Papua Barat.
Pemerintah kota juga harus memberikan pengetahuan dan informasi terkait kebencanaan lokal kepada masyarakat, menyosialisasikan teknis evakuasi ketika terjadi bencana, melakukan simulasi tanggap darurat bencana, serta membangun infrastruktur mitigasi bencana.
Pemerintah kota dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mewujudkan kota tangguh bencana dengan terobosan inovatif dan kreatif agar efektif dan efisien. Misal, perencanaan tata kota tangguh bencana yang partisipatoris menerapkan aplikasi yang memberikan informasi sederhana ringkas dan jelas perihal peruntukan zona merah untuk tempat tinggal, rencana pembangunan permukiman di zona aman, keterlibatan partisipasi masyarakat, serta kanal pengaduan tentang tata ruang.
Kawasan rawan bencana harus bebas bangunan dan diperuntukkan sebagai ruang terbuka hijau berupa hutan mangrove (kawasan pesisir pantai) berjarak aman dari bibir pantai minimal 200-500 meter, hutan lindung, atau taman kota. Kawasan permukiman, perkantoran, dan perniagaan dikembangkan ke dataran tinggi atau kawasan perbukitan yang dinilai aman, mensyaratkan bangunan standar tahan gempa, dan RTH minimal 30%. Kawasan dilengkapi jalan sebagai jalur evakuasi, lapangan olahraga (posko pengungsian), dan taman-taman kota (tempat evakuasi).
Bencana tidak bisa dicegah, masyarakat yang harus berubah. Masyarakat harus lebih siap dan sigap saat bencana tiba. Tahu apa yang harus dilakukan, ke mana akan evakuasi, bagaimana bertahan hidup, bangkit memulihkan kehidupan, dan membenahi lingkungan pascabencana.
Hanya soal waktu, bencana banjir, longsor, gempa, tsunami, likuefaksi akan terjadi lagi, bisa di mana saja, kapan saja di negeri ini. Membangun kota tangguh bencana bukan merupakan pilihan tetapi sebuah keharusan.
(whb)