Memekarkan Harapan Ekonomi
A
A
A
Ahmad Erani Yustika
Staf Khusus Presiden dan Guru Besar FEB UB Malang
FAJAR 2019 akhirnya telah tiba. Pembangunan ekonomi menjadi salah satu titik perhatian publik, apalagi di tengah pergelaran hajat politik (pemilihan presiden). Pencapaian ekonomi dapat dibaca dari banyak sisi dan diulas oleh banyak pihak. Seluruhnya akan menyumbang kebaikan bila tidak ditindih oleh motif kepentingan politik. Tulisan ini ingin menyumbang tentang perkembangan ekonomi sepanjang 2018 (juga data beberapa tahun terakhir) serta menunjukkan beberapa agenda 2019 yang perlu mendapatkan perhatian, khususnya oleh pemerintah.
Makroekonomi
Makroekonomi sampai akhir 2018 telah dicapai dengan bagus di tengah tekanan persoalan domestik dan internasional. Ekonomi masih tumbuh 5% dengan inflasi pada kisaran 3%. Kualitas pertumbuhan ekonomi juga semakin membaik karena diikuti oleh pengurangan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan yang semakin cepat. India tumbuh 5,3% pada triwulan III-2018, Indonesia 5,07%, Thailand 3,3%, Malaysia 2,32%, dan Singapura 2,6% (BI, 2018).
Sejak 2017, PDB Indonesia sudah di atas USD1 triliun dan cukup menggembirakan bisa tumbuh sekitar 5%. Tentu, ini menjadi daya tawar Indonesia di ekonomi global, terutama untuk menarik investasi. Pada awal 2018 sempat dirasuki kecemasan karena harga minyak internasional yang makin meningkat sehingga menyebabkan tekanan terhadap neraca perdagangan. Namun, kondisi itu tidak terjadi saat ini saja. Sepanjang 2012-2014 neraca perdagangan defisit rata-rata USD2,54 miliar per tahun, namun 2015-2017 neraca perdagangan bisa surplus rata-rata USD9,63 miliar per tahun.
Akibat tekanan neraca perdagangan sejak awal tahun dan ditambah kebijakan The Fed menaikkan suku bunga, sentimen perang dagang, hingga polemik Brexit; nilai tukar terhadap dolar AS terus melemah. Semester pertama merupakan periode terjal akibat pelemahan nilai tukar tersebut hingga menyentuh Rp15.000/dolar. Memasuki semester kedua, rupiah mulai menguat dan awal Januari 2019 sempat menyentuh di bawah Rp14.000/dolar.
Pemerintah mencoba mengelola perkara ini dengan membangun konsensus kebijakan fiskal-moneter secara terpadu. Kebijakan fiskal dikerjakan untuk menekan impor, memperbaiki insentif investasi, dan membangun kredibilitas anggaran negara. Kebijakan moneter bekerja lewat beberapa jalur seperti penyesuaian berkala suku bunga acuan, intervensi BI di pasar SBN, hingga "moral suasion ". Kebijakan kewajiban DHE (devisa hasil ekspor) diperbarui agar menambah pasokan dolar. Terbaru, otoritas moneter mengimplementasikan domestic non-deliverable forward (DNDF). Lewat DNDF BI dapat memonitor pelaksanaan transaksi, baik di sisi mekanisme, volume, maupun harga. Dengan begitu, BI dapat mengintervensi di pasar forward domestik (penyelesaian transaksi dalam mata uang rupiah).
Guna mengurangi tekanan terhadap neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan, pemerintah memaksimalkan kebijakan penggunaan Biofuel (B20) dan menaikkan pajak penghasilan (PPh) barang konsumsi impor. Hasilnya sampai sekarang mulai terlihat. Nilai tukar mulai menuju ke titik awal meskipun tidak akan seperti level semula. Berbagai kebijakan di sektor keuangan, fiskal, dan riil membuat fundamental ekonomi makin kokoh. Aliran dana masuk (capital inflow) pun meningkat dan investor tidak gamang saat terjadi kejutan misalnya isu perang dagang.
Inflasi berada dalam kondisi terbaik meskipun terdapat tekanan kenaikan harga minyak dan pelemahan nilai tukar. Sistem pengendalian inflasi (pangan) telah bekerja dengan rapi, baik di level pemerintah pusat maupun di daerah. Tim pengendalian inflasi daerah mampu menjaga harga pada momen konsumsi tinggi seperti puasa dan Lebaran. Inflasi 2018 hanya 3,13%. Kecenderungan penurunan inflasi ini berperan penting dalam menjaga daya beli dan pertumbuhan ekonomi lewat konsumsi rumah tangga. Sektor konsumsi rumah tangga mengisi lebih dari separuh PDB Indonesia. Sektor keuangan juga dapat lebih leluasa mengoreksi suku bunga jika inflasi bergerak rendah.
Keadilan Ekonomi
Terkait keadilan ekonomi, rasio gini terus turun (0,38) dan impresi warga terhadap isu keadilan ekonomi makin bagus ketimbang masa 2014 (rasio gini 0,41). Rasio gini yang turun (kuantitatif) dan perasaan makin merata (kualitatif) berjalan beriringan sehingga saling menguatkan. Keadilan ekonomi ini terus disangga dengan program Dana Desa yang makin eksesif (Rp60 triliun), bunga KUR yang terus turun (7%), pajak final UMKM diturunkan menjadi 0,5%, infrastruktur di Indonesia Timur, percepatan RAPS, penambahan KIP dan KIS, serta masih banyak lainnya.
Wujud lain dari keadilan ekonomi digambarkan oleh peningkatan rasio elektrifikasi yang sudah menyentuh 97,13%, lampu surya gratis untuk rakyat (mencapai 167.064 pada 2018 yang tersebar di 18 provinsi), serta harga BBM berkeadilan. Banyak infrastruktur penting sudah diselesaikan pada 2018 dan ini juga terkait dengan keadilan tersebut. Misalnya, bandara di Jawa dan daerah lainnya, jalur tol Jakarta-Surabaya, energi listrik dari angin di Sulsel, pelabuhan di Lampung, delapan bendungan rampung di banyak wilayah Indonesia timur, dan beragam infrastruktur lainnya. Kesemuanya tidak terlepas dari keberanian pemerintah merestrukturisasi belanja nonproduktif menjadi belanja produktif (belanja modal).
Tata kelola fiskal juga makin bagus. Defisit keseimbangan primer merosot drastis tinggal Rp1,8 triliun, berkurang tajam dari Oktober 2017 sebesar Rp115 triliun. Ini menyebabkan defisit fiskal hanya 1,72% (dari PDB) dari rencana defisit 2,1%. Demikian pula K/L juga makin bertanggung jawab untuk menyelenggarakan program yang diimbangi dengan akuntabilitas keuangan. Jumlah K/L yang memperoleh nilai WTP terus meningkat, demikian pula K/L yang mendapat penilaian disclaimer merosot tajam.
APBN fokus disusun untuk mencapai tiga tujuan secara serentak: sehat, adil, mandiri. Anggaran infrastruktur naik dari Rp76,3 triliun (2009) menjadi Rp410,7 triliun (2018). Anggaran pendidikan meningkat Rp207,4 triliun (2009) menjadi Rp444,1 triliun (2018). Anggaran kesehatan meningkat dari Rp28 triliun (2009) menjadi Rp111 triliun (2018). Rasio anggaran kesehatan untuk pertama kalinya mencapai 5% sesuai mandat UU Kesehatan. Pada sisi yang lain, pertumbuhan utang terus turun karena sebagian dapat dikompensasi dari pertumbuhan penerimaan pajak, PNBP, dan lain-lain (termasuk laba BUMN). Pada 2015-2019, pertumbuhan rata-rata penarikan utang baru hanya 8,9% per tahun, sedangkan pertumbuhan rata-rata utang pada periode 2005-2009 dan 2010-2014 masing-masing 106,1% dan 24,5% per tahun.
Sementara itu, sektor perbankan juga tumbuh meyakinkan. Kredit tumbuh pada kisaran 12,98% pada September 2018 dengan NPL 2,73%. Hal ini mendeskripsikan bahwa kegiatan ekonomi tidak suram seperti yang kerap digambarkan selama ini. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis BI juga terus naik seiring peningkatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang kembali bertengger di atas 5%. Pada November 2018 IKK telah mencapai 122,7, naik ketimbang bulan sebelumnya. Peringkat kemudahan berusaha pun (2018) naik ke peringkat ke-72, meningkat 19 level dibandingkan tahun sebelumnya. Indonesia juga baru dinobatkan sebagai negara peringkat kedua paling menarik investasi di Asia.
Kinerja BUMN juga mengalami perbaikan, baik dilihat dari kenaikan aset maupun laba. Sampai 2018 ini tercatat aset BUMN sebesar Rp7.800 triliun dan laba ditargetkan sekitar Rp195 triliun. Jumlah BUMN yang merugi juga mengalami penyusutan yang drastis. Tata kelola BUMN makin bagus. Peranan BUMN semakin nyata dalam pembiayaan pembangunan, baik di sektor konstruksi, energi, hingga keuangan. Secara riil BUMN-BUMN tersebut membantu pencapaian program elektrifikasi, BBM satu harga, hingga pembiayaan kredit. Empat bank BUMN setidaknya menyalurkan sekitar 40% dari kredit nasional.
Pekerjaan Rumah
Sungguh pun begitu, pekerjaan rumah masih banyak. Beberapa urusan yang harus segera ditangani adalah: pembangunan manusia, transformasi ekonomi, keadilan ekonomi, harmonisasi pusat-daerah, dan isu lingkungan. Itu harus dikawal dengan serius dan terukur. Pembangunan manusia mendesak karena semakin terintegrasinya ekonomi Indonesia dalam ekonomi global. Pada saat yang bersamaan, ekonomi domestik membutuhkan kualitas manusia yang mumpuni untuk menopang proses transformasi ekonomi. Keadilan ekonomi pun bisa dicapai jika tidak terbentur masalah kualitas manusia.
Transformasi ekonomi juga diarahkan untuk menyelaraskan antara pergerakan struktur ekonomi (dari pertanian ke industri dan jasa) dengan struktur tenaga kerja. Tantangan yang dihadapi berfokus pada perlambatan sektor padat karya (tradeable), namun sepertiga tenaga kerja masih bertumbuh di sektor tersebut. Transformasi ekonomi ini juga mesti lekas dieksekusi sebagai bantalan perbaikan neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Jika ini bisa dijaga di lapangan, maka persoalan stabilitas makroekonomi dapat dicapai dengan sempurna. Momentum ini tidak boleh dilewatkan, pemerintah harus memanfaatkan dengan sigap.
Tidak boleh dilupakan pula sektor ekonomi baru yang wajib didorong, khususnya sektor pariwisata dan ekonomi kreatif lainnya. Sektor pariwisata tumbuh rata-rata 7% tiap tahun dan arus wisatawan melonjak. Industri pariwisata menjadi salah satu sumber valas potensial, yang dapat menambal defisit neraca transaksi berjalan. PDB sektor industri kreatif melonjak dari Rp784 triliun (2014) menjadi Rp1.105 triliun (2018). Indonesia mesti menyiapkan diri karena punya potensi yang melimpah. Jadi, pada 2019 intinya akan berjalan tidak mudah. Di luar ada hajat politik, situasi ekonomi (domestik dan internasional) belum sepenuhnya bercahaya. Namun, pemerintah telah menyiapkan seluruh perkakas yang dibutuhkan sehingga harapan layak untuk dimekarkan. Selamat Tahun Baru 2019.
Staf Khusus Presiden dan Guru Besar FEB UB Malang
FAJAR 2019 akhirnya telah tiba. Pembangunan ekonomi menjadi salah satu titik perhatian publik, apalagi di tengah pergelaran hajat politik (pemilihan presiden). Pencapaian ekonomi dapat dibaca dari banyak sisi dan diulas oleh banyak pihak. Seluruhnya akan menyumbang kebaikan bila tidak ditindih oleh motif kepentingan politik. Tulisan ini ingin menyumbang tentang perkembangan ekonomi sepanjang 2018 (juga data beberapa tahun terakhir) serta menunjukkan beberapa agenda 2019 yang perlu mendapatkan perhatian, khususnya oleh pemerintah.
Makroekonomi
Makroekonomi sampai akhir 2018 telah dicapai dengan bagus di tengah tekanan persoalan domestik dan internasional. Ekonomi masih tumbuh 5% dengan inflasi pada kisaran 3%. Kualitas pertumbuhan ekonomi juga semakin membaik karena diikuti oleh pengurangan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan yang semakin cepat. India tumbuh 5,3% pada triwulan III-2018, Indonesia 5,07%, Thailand 3,3%, Malaysia 2,32%, dan Singapura 2,6% (BI, 2018).
Sejak 2017, PDB Indonesia sudah di atas USD1 triliun dan cukup menggembirakan bisa tumbuh sekitar 5%. Tentu, ini menjadi daya tawar Indonesia di ekonomi global, terutama untuk menarik investasi. Pada awal 2018 sempat dirasuki kecemasan karena harga minyak internasional yang makin meningkat sehingga menyebabkan tekanan terhadap neraca perdagangan. Namun, kondisi itu tidak terjadi saat ini saja. Sepanjang 2012-2014 neraca perdagangan defisit rata-rata USD2,54 miliar per tahun, namun 2015-2017 neraca perdagangan bisa surplus rata-rata USD9,63 miliar per tahun.
Akibat tekanan neraca perdagangan sejak awal tahun dan ditambah kebijakan The Fed menaikkan suku bunga, sentimen perang dagang, hingga polemik Brexit; nilai tukar terhadap dolar AS terus melemah. Semester pertama merupakan periode terjal akibat pelemahan nilai tukar tersebut hingga menyentuh Rp15.000/dolar. Memasuki semester kedua, rupiah mulai menguat dan awal Januari 2019 sempat menyentuh di bawah Rp14.000/dolar.
Pemerintah mencoba mengelola perkara ini dengan membangun konsensus kebijakan fiskal-moneter secara terpadu. Kebijakan fiskal dikerjakan untuk menekan impor, memperbaiki insentif investasi, dan membangun kredibilitas anggaran negara. Kebijakan moneter bekerja lewat beberapa jalur seperti penyesuaian berkala suku bunga acuan, intervensi BI di pasar SBN, hingga "moral suasion ". Kebijakan kewajiban DHE (devisa hasil ekspor) diperbarui agar menambah pasokan dolar. Terbaru, otoritas moneter mengimplementasikan domestic non-deliverable forward (DNDF). Lewat DNDF BI dapat memonitor pelaksanaan transaksi, baik di sisi mekanisme, volume, maupun harga. Dengan begitu, BI dapat mengintervensi di pasar forward domestik (penyelesaian transaksi dalam mata uang rupiah).
Guna mengurangi tekanan terhadap neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan, pemerintah memaksimalkan kebijakan penggunaan Biofuel (B20) dan menaikkan pajak penghasilan (PPh) barang konsumsi impor. Hasilnya sampai sekarang mulai terlihat. Nilai tukar mulai menuju ke titik awal meskipun tidak akan seperti level semula. Berbagai kebijakan di sektor keuangan, fiskal, dan riil membuat fundamental ekonomi makin kokoh. Aliran dana masuk (capital inflow) pun meningkat dan investor tidak gamang saat terjadi kejutan misalnya isu perang dagang.
Inflasi berada dalam kondisi terbaik meskipun terdapat tekanan kenaikan harga minyak dan pelemahan nilai tukar. Sistem pengendalian inflasi (pangan) telah bekerja dengan rapi, baik di level pemerintah pusat maupun di daerah. Tim pengendalian inflasi daerah mampu menjaga harga pada momen konsumsi tinggi seperti puasa dan Lebaran. Inflasi 2018 hanya 3,13%. Kecenderungan penurunan inflasi ini berperan penting dalam menjaga daya beli dan pertumbuhan ekonomi lewat konsumsi rumah tangga. Sektor konsumsi rumah tangga mengisi lebih dari separuh PDB Indonesia. Sektor keuangan juga dapat lebih leluasa mengoreksi suku bunga jika inflasi bergerak rendah.
Keadilan Ekonomi
Terkait keadilan ekonomi, rasio gini terus turun (0,38) dan impresi warga terhadap isu keadilan ekonomi makin bagus ketimbang masa 2014 (rasio gini 0,41). Rasio gini yang turun (kuantitatif) dan perasaan makin merata (kualitatif) berjalan beriringan sehingga saling menguatkan. Keadilan ekonomi ini terus disangga dengan program Dana Desa yang makin eksesif (Rp60 triliun), bunga KUR yang terus turun (7%), pajak final UMKM diturunkan menjadi 0,5%, infrastruktur di Indonesia Timur, percepatan RAPS, penambahan KIP dan KIS, serta masih banyak lainnya.
Wujud lain dari keadilan ekonomi digambarkan oleh peningkatan rasio elektrifikasi yang sudah menyentuh 97,13%, lampu surya gratis untuk rakyat (mencapai 167.064 pada 2018 yang tersebar di 18 provinsi), serta harga BBM berkeadilan. Banyak infrastruktur penting sudah diselesaikan pada 2018 dan ini juga terkait dengan keadilan tersebut. Misalnya, bandara di Jawa dan daerah lainnya, jalur tol Jakarta-Surabaya, energi listrik dari angin di Sulsel, pelabuhan di Lampung, delapan bendungan rampung di banyak wilayah Indonesia timur, dan beragam infrastruktur lainnya. Kesemuanya tidak terlepas dari keberanian pemerintah merestrukturisasi belanja nonproduktif menjadi belanja produktif (belanja modal).
Tata kelola fiskal juga makin bagus. Defisit keseimbangan primer merosot drastis tinggal Rp1,8 triliun, berkurang tajam dari Oktober 2017 sebesar Rp115 triliun. Ini menyebabkan defisit fiskal hanya 1,72% (dari PDB) dari rencana defisit 2,1%. Demikian pula K/L juga makin bertanggung jawab untuk menyelenggarakan program yang diimbangi dengan akuntabilitas keuangan. Jumlah K/L yang memperoleh nilai WTP terus meningkat, demikian pula K/L yang mendapat penilaian disclaimer merosot tajam.
APBN fokus disusun untuk mencapai tiga tujuan secara serentak: sehat, adil, mandiri. Anggaran infrastruktur naik dari Rp76,3 triliun (2009) menjadi Rp410,7 triliun (2018). Anggaran pendidikan meningkat Rp207,4 triliun (2009) menjadi Rp444,1 triliun (2018). Anggaran kesehatan meningkat dari Rp28 triliun (2009) menjadi Rp111 triliun (2018). Rasio anggaran kesehatan untuk pertama kalinya mencapai 5% sesuai mandat UU Kesehatan. Pada sisi yang lain, pertumbuhan utang terus turun karena sebagian dapat dikompensasi dari pertumbuhan penerimaan pajak, PNBP, dan lain-lain (termasuk laba BUMN). Pada 2015-2019, pertumbuhan rata-rata penarikan utang baru hanya 8,9% per tahun, sedangkan pertumbuhan rata-rata utang pada periode 2005-2009 dan 2010-2014 masing-masing 106,1% dan 24,5% per tahun.
Sementara itu, sektor perbankan juga tumbuh meyakinkan. Kredit tumbuh pada kisaran 12,98% pada September 2018 dengan NPL 2,73%. Hal ini mendeskripsikan bahwa kegiatan ekonomi tidak suram seperti yang kerap digambarkan selama ini. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis BI juga terus naik seiring peningkatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang kembali bertengger di atas 5%. Pada November 2018 IKK telah mencapai 122,7, naik ketimbang bulan sebelumnya. Peringkat kemudahan berusaha pun (2018) naik ke peringkat ke-72, meningkat 19 level dibandingkan tahun sebelumnya. Indonesia juga baru dinobatkan sebagai negara peringkat kedua paling menarik investasi di Asia.
Kinerja BUMN juga mengalami perbaikan, baik dilihat dari kenaikan aset maupun laba. Sampai 2018 ini tercatat aset BUMN sebesar Rp7.800 triliun dan laba ditargetkan sekitar Rp195 triliun. Jumlah BUMN yang merugi juga mengalami penyusutan yang drastis. Tata kelola BUMN makin bagus. Peranan BUMN semakin nyata dalam pembiayaan pembangunan, baik di sektor konstruksi, energi, hingga keuangan. Secara riil BUMN-BUMN tersebut membantu pencapaian program elektrifikasi, BBM satu harga, hingga pembiayaan kredit. Empat bank BUMN setidaknya menyalurkan sekitar 40% dari kredit nasional.
Pekerjaan Rumah
Sungguh pun begitu, pekerjaan rumah masih banyak. Beberapa urusan yang harus segera ditangani adalah: pembangunan manusia, transformasi ekonomi, keadilan ekonomi, harmonisasi pusat-daerah, dan isu lingkungan. Itu harus dikawal dengan serius dan terukur. Pembangunan manusia mendesak karena semakin terintegrasinya ekonomi Indonesia dalam ekonomi global. Pada saat yang bersamaan, ekonomi domestik membutuhkan kualitas manusia yang mumpuni untuk menopang proses transformasi ekonomi. Keadilan ekonomi pun bisa dicapai jika tidak terbentur masalah kualitas manusia.
Transformasi ekonomi juga diarahkan untuk menyelaraskan antara pergerakan struktur ekonomi (dari pertanian ke industri dan jasa) dengan struktur tenaga kerja. Tantangan yang dihadapi berfokus pada perlambatan sektor padat karya (tradeable), namun sepertiga tenaga kerja masih bertumbuh di sektor tersebut. Transformasi ekonomi ini juga mesti lekas dieksekusi sebagai bantalan perbaikan neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Jika ini bisa dijaga di lapangan, maka persoalan stabilitas makroekonomi dapat dicapai dengan sempurna. Momentum ini tidak boleh dilewatkan, pemerintah harus memanfaatkan dengan sigap.
Tidak boleh dilupakan pula sektor ekonomi baru yang wajib didorong, khususnya sektor pariwisata dan ekonomi kreatif lainnya. Sektor pariwisata tumbuh rata-rata 7% tiap tahun dan arus wisatawan melonjak. Industri pariwisata menjadi salah satu sumber valas potensial, yang dapat menambal defisit neraca transaksi berjalan. PDB sektor industri kreatif melonjak dari Rp784 triliun (2014) menjadi Rp1.105 triliun (2018). Indonesia mesti menyiapkan diri karena punya potensi yang melimpah. Jadi, pada 2019 intinya akan berjalan tidak mudah. Di luar ada hajat politik, situasi ekonomi (domestik dan internasional) belum sepenuhnya bercahaya. Namun, pemerintah telah menyiapkan seluruh perkakas yang dibutuhkan sehingga harapan layak untuk dimekarkan. Selamat Tahun Baru 2019.
(kri)