Anak dan Bencana

Senin, 07 Januari 2019 - 09:29 WIB
Anak dan Bencana
Anak dan Bencana
A A A
Ahmad Rafsanjani
Pekerja Sosial dan Praktisi Pengembangan SDM


BENCANA alam kembali mengguncang kita. Dalam periode 6 bulan yang pendek, terjadi 3 bencana besar yang menghancurkan bangunan fisik dan sosial di negeri ini. Pascabencana, kita berpotensi menambah kegagalan dalam memenuhi hak anak, yaitu menyediakan lingkungan fisik dan sosial yang aman bagi mereka.

Bencana yang dialami anak membuat kita seperti tidak berdaya dalam menjamin, menyediakan, dan mengelola dunia yang aman bagi mereka. Padahal, seperti diyakini banyak pundit psikologi, pemenuhan akan keamanan dan tempat yang nyaman menjadi krusial bagi perkembangan mental anak. Kerusakan lingkungan yang tidak terduga seperti bencana alam dapat mengakibatkan dampak negatif yang mungkin tidak sejelas dampak-dampak fisik lainnya.

Terlebih karena dalam pikiran anak, bencana dapat memicu aneka pesan dan interpretasi tentang lingkungan yang tidak ramah, yang tidak memberi kenyamanan bagi mereka untuk tumbuh dan berkembang.

Bencana yang secara fisik menghancurkan, bahkan merenggut korban jiwa di antara orang-orang terdekat dari anak, berpeluang mengakibatkan dampak psikologis yang sama meyakinkannya dengan kehancuran fisik bagi anak yang mengalami langsung bencana tersebut.

Dunia yang Runtuh
Riset Dr Ronnie Janoff-Bulman, psikolog dari Universitas Massachusetts, mengungkapkan, korban bencana yang besar dapat mengalami degradasi akan perasaan tentang dunia yang ramah dan penuh kebaikan. Perasaan ini dibentuk semasa awal kehidupan yang merupakan inti dari banyak perasaan dasar manusia tentang bagaimana mereka melihat diri dan dunianya. Merujuk pada tahapan perkembangan psiko-sosial, Erik H Erikson, analis psikologi terkemuka, perasaan ini adalah bagian dari kepercayaan dasar yang dibangun anak-anak semasa balita.

Anak-anak membangun "perasaan akan kepastian" dengan mengalami dan memersepsikan dunia sosial sebagai perpaduan antara tempat yang aman dan stabil, didukung orang-orang dewasa yang mengasuh mereka, sekaligus dapat mereka andalkan. Anak-anak belajar memercayai dunia luar dan memercayai diri sendiri. Namun bencana yang dialami anak dapat mengganggu proses belajar sosial itu.

Lebih jauh, bencana yang dialami anak-anak, tanpa terduga sebelumnya, menyerang secara mendalam perasaan-perasaan dasar itu. Kemungkinan konsekuensi dari perkembangan kepercayaan dasar yang kurang baik ini, menurut Profesor Erikson, adalah depresi akut pada anak-anak dan paranoia ketika dewasa kelak.

Korban bencana tidak hanya kehilangan perasaan dasar bahwa dunia adalah tempat aman bagi kita, tetapi juga dapat menghancurkan asumsi dasar kekebalan, yang umumnya menjadi derivasi pikiran dan perasaan yang menjustifikasi bahwa kita tidak pantas mendapat keselamatan.

Dalam beberapa kasus yang berat, anak-anak korban bencana mengalami post traumatic stress syndrome disorder dan defisit perasaan keberhargaan diri untuk 10-15 tahun pascabencana. Kemungkinan buruk lainnya saat anak-anak menjadi korban bencana adalah karena hal ini membuat mereka bertanya, "Mengapa saya?" Anak mungkin mulai melihat diri atau berusaha menemukan sesuatu dalam diri sendiri untuk disalahkan, Untuk membenarkan dan membuat nasib mengerikan ini masuk akal dalam pikiran mereka.

Perasaan bersalah itu dapat mendorong anak untuk melihat aspek negatif dari diri mereka sekaligus dapat menurunkan harga diri anak secara pervasif.

Mereduksi Dampak Negatif
Dalam teori perkembangan psiko-sosial Erikson dikenal suatu prinsip epigenetik yang memostulatkan tahapan dan krisis pada masa kanak-kanak tidak terjadi dan diselesaikan sekadar saat itu. Tiap tahap perkembangan yang dilalui anak, juga krisis yang dialami, tidak dilewati untuk kemudian ditinggalkan. Tiap tahap dan krisis ikut serta dalam membentuk seluruh kepribadian mereka.

Dengan demikian, memperbaiki krisis kepercayaan yang dialami anak pascabencana adalah dasar memadai bagi perkembangan kesehatan mental anak pada masa depan. Bahkan Prof Erikson percaya, perasaan dasar akan kepercayaan adalah dasar pribadi yang sehat.

Melalui pemahaman yang lebih baik tentang berbagai kemungkinan keruntuhan psikologis yang dapat muncul, sejatinya membuat pemulihan psikologis pada anak-anak menjadi pekerjaan rumah yang besar dan berkelanjutan, sama pentingnya dengan pemulihan fisik. Terutama upaya kita untuk membangun kembali perasaan dan asumsi dasar pada anak-anak yang rusak akibat bencana itu.

Bagaimanapun, dengan keterbatasan yang harus dihadapi, adalah tugas utama kita untuk sedapat mungkin berpartisipasi dalam pemulihan psikologis ini. Sebab ini adalah tanggung jawab kita dalam mengembalikan dan menciptakan dunia yang lebih aman bagi anak-anak kita. Dan tindakan terpenting, jika bencana tidak bisa dihindarkan, adalah memastikan bencana itu tidak menghadirkan dampak fisik dan psikologis fatal bagi kita dan terutama bagi anak-anak kita.*
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1817 seconds (0.1#10.140)