Capres-Cawapres, Mengelola Corporate Communications
A
A
A
Ave Rosa A Djalil
Corporate & Marketing Communications, Mass Media Business Development Private Consultant di Avesyarcomm
GENDERANG pesta rakyat telah ditabuh. Nomor urut calon presiden dan calon wakil presiden telah dijadikan trademark oleh pendukungnya dengan simbol jari, yang bisa jadi beserta filosofi masing-masing. Euforia pesta demokrasi di era platform media cetak, digital, dan elektronik yang saling menunjukkan kewibawaannya ini menjadi momen bagi publik untuk lebih bersuara. Publik hari ini ingin lebih diakui sebagai masyarakat yang lebih cerdas dan lebih maju dalam berpikir kritis. Terutama berbicara tentang pemimpin idaman, yang diharapkan dapat menjadi fasilitator terwujudnya mimpi-mimpi kehidupan berbangsa dan bernegara mereka.
Meraih simpati publik sebagai komoditas suara dalam mencapai kemenangan adalah hal yang membutuhkan perhatian khusus. Memperlakukan publik tidak bisa sembarang. Terlebih, jika publik telah melewati pendewasaan dari tahun ke tahun. Mengapa proses pendewasaan? Karena sejak Pemilu 2014 kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kesehariannya mengalami perubahan. Tentu ini tidak terjadi hanya pada kurun waktu 2014 sampai hari ini, namun juga pada masa pesta demokrasi di masa sebelum itu. Publik bertambah dewasa dan belajar dari pengalaman.
Membina hubungan baik dengan publik atau rakyat harus menjadi perhatian penting bagi para pemilik kepentingan. Hal ini karena pesan yang disampaikan haruslah mengena dan bisa diterima dengan baik oleh publik. Kita melihat bahwa membentuk citra seseorang atau organisasi dalam hal menciptakan kepercayaan publik (trust) juga membutuhkan sebuah strategi corporate communications. Capres-cawapres dan seluruh tim pemenangannya sangat relevan apabila diibaratkan sebagai sebuah “korporasi” yang berupaya agar citranya dinilai baik dan “produknya” dibeli.
Mengapa membutuhkan strategi corporate communications?
Karena jelas, terutama dalam pesta rakyat ini, seorang pribadi yang menjadi kandidat dalam perebutan kursi tertentu, atau sebuah organisasi (partai) yang membutuhkan dukungan publik untuk mendulang suara, diibaratkan sebuah korporasi yang tidak berjalan sendirian. Tidak berjalan sendirian dalam hal ini dimaksudkan karena seorang kandidat atau calon, sebuah partai, diwakili oleh dirinya sendiri, beberapa orang, atau sekumpulan orang dalam melakukan kegiatannya di masyarakat.
Tentu jika hal tersebut benar, maka haruslah direncanakan dengan baik dan sesuai apa yang menjadi strategi “corporate communications”. Katakanlah seorang calon presiden atau calon wakil presiden, mengampanyekan diri mereka agar terpilih oleh publik atau dalam hal ini rakyat. Maka, setiap ucapan, tindak tanduk, dan gestur pun bisa menjadi nilai tersendiri. Hal ini agar dalam kegiatannya seorang calon presiden dan calon wakil presiden, yang bertujuan memenangkan opini dan simpati publik atau rakyat, mampu mencapai tujuan.
Memang tidak mudah. Karena itu, dalam hal kontestasi saat ini, sebutlah pasangan capres dan cawapres, harus paham dan memiliki tim yang benar-benar aware akan pentingnya mencapai tujuan awal. Jika tidak paham dan terkelola dengan baik dan berhati-hati, alih-alih mendapat opini positif dan simpati publik atau rakyat, malah menjadikannya sebuah tim “pesakitan”.
Joep Cornelissen, seorang profesor corporate communications & management dari Rotterdam School of Management, Erasmus University, dalam bukunya Corporate Communications-Theory & Practice (2004), menyatakan sebagai berikut. “Although the word ‘management’ often calls to mind a deliberate, rational process, communications programmes of organizations are not always shaped in that way. Sometimes, they come about by reactions to sudden crises, or as the result of political activity within the organization. The management of corporate communications, and how organizations can do this in a strategic manner-that is, by supporting and organizing the corporate communications function in such a way that corporate objectives are met and the organization as a whole is served.
Atau dalam bahasa Indonesia kurang lebih dinyatakan, “Meskipun kata ëmanajemení sering ditujukan untuk menjaga kehati-hatian, proses yang rasional, program-program komunikasi dari organisasi tidak selalu terwujud demikian. Kadang, program-program komunikasi muncul karena reaksi pada krisis yang tiba-tiba, atau sebagai hasil dari kegiatan politik dalam organisasi tersebut. Manajemen komunikasi korporasi, dan bagaimana dapat melakukan hal ini dengan tingkah laku yang strategis, seperti dengan mendukung serta menata fungsi komunikasi korporasinya dengan cara agar tujuannya tercapai, dan organisasi sebagai sebuah keseluruhan terpenuhi kebutuhannya.”
Berdasarkan pendapat tersebut, secara organisasi dibutuhkan sebuah kecakapan, kepantasan, serta kepatutan bagi pasangan capres dan cawapres baik melalui komunikasi pribadi yang dibawakan maupun oleh tim komunikasi atau pemenangannya. Artinya, kedewasaan, wawasan, serta insting yang logis mengenai strategi komunikasi dapat dipahami dan dikuasai. Paling tidak, tidak sembarangan dalam bertutur, bertindak-tanduk, maupun hanya dalam gestur sekalipun.
Untuk itulah, dalam sebuah kampanye, selain dibutuhkan kekuatan logistik juga sebuah keutuhan, soliditas dalam menjaga komunikasi yang menguntungkan bagi mereka. Dalam hal ini mampu memberi kepercayaan kepada publik atau rakyat sebagai stakeholders adalah sebuah tugas penting. Namun, ada hal lain yang juga tidak boleh ditinggalkan, yaitu menjaga keutuhan di internal tim atau organisasinya.
Hal ini juga menjadi perhatian khusus Cornelissen, seperti ditekankan di dalam bukunya, “When seen in such a manner, corporate communications can, for definitional purposes, be further distinguished from other professional forms of communications within organizations, including business communications and management communications. Corporate communications focuses on the organization as a whole and the important task of how an organization is presented to all of its key stakeholders, both internal and external .”
Dalam bahasa Indonesia, penekanan Cornelissen tersebut dapat diterjemahkan begini: ketika dilihat dalam tingkah lakunya, komunikasi korporasi untuk kebutuhan-kebutuhan tujuannya, lebih jauh dibedakan dari bentuk-bentuk komunikasi profesional lain dalam organisasi, termasuk komunikasi bisnis dan komunikasi manajemen. Komunikasi korporasi fokus pada organisasi sebagai sebuah keutuhan dan tugas penting dari bagaimana sebuah organisasi ditampilkan kepada para stakeholder kuncinya, baik internal maupun eksternal.
Calon presiden dan calon wakil presiden beserta seluruh tim pemenangan diibaratkan sebuah korporasi yang harus membangun kepercayaan publik atau konsumen atas apa yang dijualnya, dalam hal ini rakyat yang menjadi tujuan perolehan kesan positif dan simpati untuk memilih mereka. Salah perhitungan atau terus-menerus melakukan kesalahan atau citra negatif yang sama, tanpa ada kesadaran akan pembentukan opini positif dalam kemampuan ko-munikasi korporasinya, hanya akan menempatkannya pada posisi sebagai tim yang tidak piawai memainkan strategi komunikasi.
Namun, penting juga dipahami oleh capres dan cawapres beserta tim pemenangannya, siapa yang menjadi teman dan alat dalam membantu komunikasi korporasinya agar pesan-pesan dapat menjangkau lebih jauh. Teman atau alat tersebut bisa jadi printed material atau media massa baik cetak, online, maupun elektronik. Karena itu, harus pandai-pandai memilih dan memilah. Jika itu media massa, ada baiknya memilih media massa yang bisa membantu melaksanakan strategi corporate communications yang diinginkan.
Pilihlah media yang mampu membantu merancang, mengolah, serta mengantarkan komunikasi ke arah yang positif. Tentu tidak semua media memiliki kemampuan cerdas dalam menyiasatinya. Hal ini karena kemampuan dan pengalaman orang-orang yang berada di belakang perusahaan media tersebut. Media massa terkenal bukan jaminan bahwa kemudian akan mampu menjadikan tujuan komunikasi tercapai. Kesalahan strategi yang ditawarkan media, jika tidak paham mengelola informasi dan komunikasi dengan baik, malah akan menjerumuskan kepada citra yang negatif di hadapan publik atau rakyat.
Konsep yang baik dari media massa untuk membantu pembentukan komunikasi korporasi yang positif, bisa jadi salah satunya dengan cara menyiasati bagaimana agar pesan positif yang diciptakan lebih dominan, ketimbang membantu dalam menyerang lawannya. Kontes hanya tinggal puluhan hari. Siapa menguasai komunikasi secara proper, publik akan memberi simpati. Selamat berkomunikasi secara piawai dan sehat.
Corporate & Marketing Communications, Mass Media Business Development Private Consultant di Avesyarcomm
GENDERANG pesta rakyat telah ditabuh. Nomor urut calon presiden dan calon wakil presiden telah dijadikan trademark oleh pendukungnya dengan simbol jari, yang bisa jadi beserta filosofi masing-masing. Euforia pesta demokrasi di era platform media cetak, digital, dan elektronik yang saling menunjukkan kewibawaannya ini menjadi momen bagi publik untuk lebih bersuara. Publik hari ini ingin lebih diakui sebagai masyarakat yang lebih cerdas dan lebih maju dalam berpikir kritis. Terutama berbicara tentang pemimpin idaman, yang diharapkan dapat menjadi fasilitator terwujudnya mimpi-mimpi kehidupan berbangsa dan bernegara mereka.
Meraih simpati publik sebagai komoditas suara dalam mencapai kemenangan adalah hal yang membutuhkan perhatian khusus. Memperlakukan publik tidak bisa sembarang. Terlebih, jika publik telah melewati pendewasaan dari tahun ke tahun. Mengapa proses pendewasaan? Karena sejak Pemilu 2014 kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kesehariannya mengalami perubahan. Tentu ini tidak terjadi hanya pada kurun waktu 2014 sampai hari ini, namun juga pada masa pesta demokrasi di masa sebelum itu. Publik bertambah dewasa dan belajar dari pengalaman.
Membina hubungan baik dengan publik atau rakyat harus menjadi perhatian penting bagi para pemilik kepentingan. Hal ini karena pesan yang disampaikan haruslah mengena dan bisa diterima dengan baik oleh publik. Kita melihat bahwa membentuk citra seseorang atau organisasi dalam hal menciptakan kepercayaan publik (trust) juga membutuhkan sebuah strategi corporate communications. Capres-cawapres dan seluruh tim pemenangannya sangat relevan apabila diibaratkan sebagai sebuah “korporasi” yang berupaya agar citranya dinilai baik dan “produknya” dibeli.
Mengapa membutuhkan strategi corporate communications?
Karena jelas, terutama dalam pesta rakyat ini, seorang pribadi yang menjadi kandidat dalam perebutan kursi tertentu, atau sebuah organisasi (partai) yang membutuhkan dukungan publik untuk mendulang suara, diibaratkan sebuah korporasi yang tidak berjalan sendirian. Tidak berjalan sendirian dalam hal ini dimaksudkan karena seorang kandidat atau calon, sebuah partai, diwakili oleh dirinya sendiri, beberapa orang, atau sekumpulan orang dalam melakukan kegiatannya di masyarakat.
Tentu jika hal tersebut benar, maka haruslah direncanakan dengan baik dan sesuai apa yang menjadi strategi “corporate communications”. Katakanlah seorang calon presiden atau calon wakil presiden, mengampanyekan diri mereka agar terpilih oleh publik atau dalam hal ini rakyat. Maka, setiap ucapan, tindak tanduk, dan gestur pun bisa menjadi nilai tersendiri. Hal ini agar dalam kegiatannya seorang calon presiden dan calon wakil presiden, yang bertujuan memenangkan opini dan simpati publik atau rakyat, mampu mencapai tujuan.
Memang tidak mudah. Karena itu, dalam hal kontestasi saat ini, sebutlah pasangan capres dan cawapres, harus paham dan memiliki tim yang benar-benar aware akan pentingnya mencapai tujuan awal. Jika tidak paham dan terkelola dengan baik dan berhati-hati, alih-alih mendapat opini positif dan simpati publik atau rakyat, malah menjadikannya sebuah tim “pesakitan”.
Joep Cornelissen, seorang profesor corporate communications & management dari Rotterdam School of Management, Erasmus University, dalam bukunya Corporate Communications-Theory & Practice (2004), menyatakan sebagai berikut. “Although the word ‘management’ often calls to mind a deliberate, rational process, communications programmes of organizations are not always shaped in that way. Sometimes, they come about by reactions to sudden crises, or as the result of political activity within the organization. The management of corporate communications, and how organizations can do this in a strategic manner-that is, by supporting and organizing the corporate communications function in such a way that corporate objectives are met and the organization as a whole is served.
Atau dalam bahasa Indonesia kurang lebih dinyatakan, “Meskipun kata ëmanajemení sering ditujukan untuk menjaga kehati-hatian, proses yang rasional, program-program komunikasi dari organisasi tidak selalu terwujud demikian. Kadang, program-program komunikasi muncul karena reaksi pada krisis yang tiba-tiba, atau sebagai hasil dari kegiatan politik dalam organisasi tersebut. Manajemen komunikasi korporasi, dan bagaimana dapat melakukan hal ini dengan tingkah laku yang strategis, seperti dengan mendukung serta menata fungsi komunikasi korporasinya dengan cara agar tujuannya tercapai, dan organisasi sebagai sebuah keseluruhan terpenuhi kebutuhannya.”
Berdasarkan pendapat tersebut, secara organisasi dibutuhkan sebuah kecakapan, kepantasan, serta kepatutan bagi pasangan capres dan cawapres baik melalui komunikasi pribadi yang dibawakan maupun oleh tim komunikasi atau pemenangannya. Artinya, kedewasaan, wawasan, serta insting yang logis mengenai strategi komunikasi dapat dipahami dan dikuasai. Paling tidak, tidak sembarangan dalam bertutur, bertindak-tanduk, maupun hanya dalam gestur sekalipun.
Untuk itulah, dalam sebuah kampanye, selain dibutuhkan kekuatan logistik juga sebuah keutuhan, soliditas dalam menjaga komunikasi yang menguntungkan bagi mereka. Dalam hal ini mampu memberi kepercayaan kepada publik atau rakyat sebagai stakeholders adalah sebuah tugas penting. Namun, ada hal lain yang juga tidak boleh ditinggalkan, yaitu menjaga keutuhan di internal tim atau organisasinya.
Hal ini juga menjadi perhatian khusus Cornelissen, seperti ditekankan di dalam bukunya, “When seen in such a manner, corporate communications can, for definitional purposes, be further distinguished from other professional forms of communications within organizations, including business communications and management communications. Corporate communications focuses on the organization as a whole and the important task of how an organization is presented to all of its key stakeholders, both internal and external .”
Dalam bahasa Indonesia, penekanan Cornelissen tersebut dapat diterjemahkan begini: ketika dilihat dalam tingkah lakunya, komunikasi korporasi untuk kebutuhan-kebutuhan tujuannya, lebih jauh dibedakan dari bentuk-bentuk komunikasi profesional lain dalam organisasi, termasuk komunikasi bisnis dan komunikasi manajemen. Komunikasi korporasi fokus pada organisasi sebagai sebuah keutuhan dan tugas penting dari bagaimana sebuah organisasi ditampilkan kepada para stakeholder kuncinya, baik internal maupun eksternal.
Calon presiden dan calon wakil presiden beserta seluruh tim pemenangan diibaratkan sebuah korporasi yang harus membangun kepercayaan publik atau konsumen atas apa yang dijualnya, dalam hal ini rakyat yang menjadi tujuan perolehan kesan positif dan simpati untuk memilih mereka. Salah perhitungan atau terus-menerus melakukan kesalahan atau citra negatif yang sama, tanpa ada kesadaran akan pembentukan opini positif dalam kemampuan ko-munikasi korporasinya, hanya akan menempatkannya pada posisi sebagai tim yang tidak piawai memainkan strategi komunikasi.
Namun, penting juga dipahami oleh capres dan cawapres beserta tim pemenangannya, siapa yang menjadi teman dan alat dalam membantu komunikasi korporasinya agar pesan-pesan dapat menjangkau lebih jauh. Teman atau alat tersebut bisa jadi printed material atau media massa baik cetak, online, maupun elektronik. Karena itu, harus pandai-pandai memilih dan memilah. Jika itu media massa, ada baiknya memilih media massa yang bisa membantu melaksanakan strategi corporate communications yang diinginkan.
Pilihlah media yang mampu membantu merancang, mengolah, serta mengantarkan komunikasi ke arah yang positif. Tentu tidak semua media memiliki kemampuan cerdas dalam menyiasatinya. Hal ini karena kemampuan dan pengalaman orang-orang yang berada di belakang perusahaan media tersebut. Media massa terkenal bukan jaminan bahwa kemudian akan mampu menjadikan tujuan komunikasi tercapai. Kesalahan strategi yang ditawarkan media, jika tidak paham mengelola informasi dan komunikasi dengan baik, malah akan menjerumuskan kepada citra yang negatif di hadapan publik atau rakyat.
Konsep yang baik dari media massa untuk membantu pembentukan komunikasi korporasi yang positif, bisa jadi salah satunya dengan cara menyiasati bagaimana agar pesan positif yang diciptakan lebih dominan, ketimbang membantu dalam menyerang lawannya. Kontes hanya tinggal puluhan hari. Siapa menguasai komunikasi secara proper, publik akan memberi simpati. Selamat berkomunikasi secara piawai dan sehat.
(mhd)