Pengamat: Tantangan Tes Baca Alquran Bukti Politik Identitas Menguat
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai usulan Dewan Ikatan Dai Aceh yang menantang pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) ikut tes membaca Alquran, tidak terlepas dari menguatnya politik identitas yang ditandai dengan mencuatnya simbol-simbol agama.
"Dampak dari menguatnya politik identitas bisa merusak esensi demokrasi dan mendorong segregasi sosial. Lebih dari itu, isu SARA berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa," ujar Karyono dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Selasa (1/1/2019).
Karyono menjelaskan, tes membaca Alquran bagi capres dan cawapres tidak ada diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilu maupun dalam Peraturan KPU (PKPU). Sehingga tidak ada kewajiban bagi masing-masing paslon untuk menghadiri undangan tersebut.
"Dengan begitu, pelaksanaan demokrasi jauh dari substansi. Tetapi jika capres-cawapres mau hadir di uji baca Alquran untuk meyakinkan rakyat Aceh, maka hal itu berpulang kepada masing-masing capres," katanya.
Karyono melihat tes membaca Alquran tersebut muncul tak lain karena mencuatnya iklim politik identitas yang dimulai sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Hal itu berimbas pada masing-masing capres-cawapres dalam Pilpres 2019.
"Pada mulanya Jokowi dihantam berbagai isu yang berbau SARA. Berbagai opini dibangun untuk mendelegitimasi keislaman Jokowi hingga tuduhan Jokowi melakukan kriminalisasi ulama, keturunan China, antek aseng hingga dituduh pernah menjadi kader Partai Komunis Indonesia (PKI)," ungkapnya.
Prabowo juga didera isu tidak bisa menjadi imam salat. Bahkan, dengan beredarnya video yang diduga Prabowo ikut merayakan Natal bersama dengan keluarga dan kaum Kristiani menjadi viral. "Tentu kini berkembang isu yang meragukan keislaman capres nomor urut 02 tersebut," tandasnya.
Karenanya, Karyono meminta semua pihak, terutama elite politik, agar segera menghentikan semua jenis narasi kampanye yang berbau SARA. "Karena hal ini bisa berdampak luas terhadap persatuan dan keutuhan bangsa," tegasnya.
"Dampak dari menguatnya politik identitas bisa merusak esensi demokrasi dan mendorong segregasi sosial. Lebih dari itu, isu SARA berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa," ujar Karyono dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Selasa (1/1/2019).
Karyono menjelaskan, tes membaca Alquran bagi capres dan cawapres tidak ada diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilu maupun dalam Peraturan KPU (PKPU). Sehingga tidak ada kewajiban bagi masing-masing paslon untuk menghadiri undangan tersebut.
"Dengan begitu, pelaksanaan demokrasi jauh dari substansi. Tetapi jika capres-cawapres mau hadir di uji baca Alquran untuk meyakinkan rakyat Aceh, maka hal itu berpulang kepada masing-masing capres," katanya.
Karyono melihat tes membaca Alquran tersebut muncul tak lain karena mencuatnya iklim politik identitas yang dimulai sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Hal itu berimbas pada masing-masing capres-cawapres dalam Pilpres 2019.
"Pada mulanya Jokowi dihantam berbagai isu yang berbau SARA. Berbagai opini dibangun untuk mendelegitimasi keislaman Jokowi hingga tuduhan Jokowi melakukan kriminalisasi ulama, keturunan China, antek aseng hingga dituduh pernah menjadi kader Partai Komunis Indonesia (PKI)," ungkapnya.
Prabowo juga didera isu tidak bisa menjadi imam salat. Bahkan, dengan beredarnya video yang diduga Prabowo ikut merayakan Natal bersama dengan keluarga dan kaum Kristiani menjadi viral. "Tentu kini berkembang isu yang meragukan keislaman capres nomor urut 02 tersebut," tandasnya.
Karenanya, Karyono meminta semua pihak, terutama elite politik, agar segera menghentikan semua jenis narasi kampanye yang berbau SARA. "Karena hal ini bisa berdampak luas terhadap persatuan dan keutuhan bangsa," tegasnya.
(thm)