Pengamat: Hukuman Mati Boleh bagi Koruptor Dana Bencana Alam

Minggu, 30 Desember 2018 - 17:03 WIB
Pengamat: Hukuman Mati Boleh bagi Koruptor Dana Bencana Alam
Pengamat: Hukuman Mati Boleh bagi Koruptor Dana Bencana Alam
A A A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan terhadap pejabat kementerian. Kali ini, OTT terjadi pada sejumlah pejabat di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terkait kasus dugaan suap proyek sistem penyediaan air minum (SPAM) di beberapa lokasi bencana alam.

Dalam OTT ini, KPK menetapkan delapan orang tersangka terkait kasus dugaan suap kepada pejabat di Kementerian PUPR. Empat di antaranya adalah pejabat di kementerian PUPR.

Mereka adalah, Anggiat Partunggal Nahot Simaremare (Kepala Satuan Kerja Sistem Pengadaan Air Minum Strategis/Pejabat Pembuat Komitmen) SPAM Lampung, Meina Waro Kustinah (PPK SPAM Katulampa), Teuku Moch Nazar (Kepala Satuan Kerja SPAM Darurat), dan Donny Sofyan Arifin (PPK SPAM Toba 1).

Menanggapi hal ini, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengaku sangat miris terhadap korupsi yang dilakukan di Kementerian PUPR. Sebab, suap yang diterima oleh pejabat di Kementerian PUPR terkait dengan penyediaan air minum di daerah bencana di Donggala, Palu, Sulawesi Tengah.

"lebih ironis lagi, korupsi yang kini terjadi dari hasil OTT KPK terhadap para birokrat yang menangani bencana alam, menjadi sesuatu yang secara akal sehat sebenarnya tidak harus terjadi," kata Abdul Fickar kepada SINDOnews, Minggu (30/12/2018).

Menurutnya, ketika ada pendapat yang menyatakan tepat atau tidak tepat ditetapkan hukuman mati bagi korupsi di daerah bencana alam, dirinya berpendapat tepat dan benar.

Berdasarkan hukum positif, UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana kourpsi (tipikor), korupsi dalam keadaan tertentu diancam dengan hukuman mati, yaitu korupsi yang dilakukan terhadap dana bencana alam dan korupsi pada waktu perang.

"Memang hukuman mati dianggap bertentangan dengan HAM sebagaimana diatur dalam konstitusi / UUD kita. Karena itu, mungkin belum ada koruptor yang dihukum mati," terangnya.

Namun, soal bertentangan dengan HAM ini juga terjadi perdebatan, yaitu tafsir hak hidup untuk tidak diberlakukan pencabutan nyawa sewenang wenang. Artinya, jika kematian didasarkan pada hukuman yang secara resmi diputuskan oleh pengadilan atas dasar perbuatan yang dilakukan.

Tetapi yang pasti hukuman mati di Indonesia masih merupakan hukum positif atau hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu UU Tipikor, Tindak pidana pembunuhan berencana KUHP, UU Narkotika, UU Tenaga atom, UU Terorisme, UU Pengadilan HAM, dan sebagainya.

UU Tipikor mengaturnya pd pasal 2 ayat (2) yang berbunyi dalam keadaan tertentu, tipikor dapat dijatuhkan hukuman mati. Penjelasan keadaan tertentu itu, korupsi bencana alam, negara dalam keadaan darurat dan perang serta dalam keadaan krisis moneter yang dilakukan oleh residivis yaitu orang yang korupsinya berulang.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8405 seconds (0.1#10.140)