Anak Kandung Tradisi

Jum'at, 28 Desember 2018 - 07:31 WIB
Anak Kandung Tradisi
Anak Kandung Tradisi
A A A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

SETIAP anak terlahir tidak saja diasuh oleh orang tuanya, melainkan secara kultural juga langsung disambut dan diasuh oleh lingkungan budaya dan tradisi tempat anak tumbuh berkembang.

Tradisi yang paling kuat adalah selera makanan dan bahasa sehingga muncul istilah bahasa ibu (mother language). Di dalam bahasa itu terkandung nilai dan informasi pengetahuan yang diterima dan disimpan oleh anak yang pada urutannya akan memengaruhi pola pikirnya, bahkan sistem kepercayaan atau keyakinan agamanya sampai dia dewasa.

Nilai-nilai dan sederet nasihat berupa perintah dan larangan itu ketika berlangsung belasan dan puluhan tahunan akan membentuk tradisi dan karakter seseorang. Dengan kata-kata lain, seseorang mengenal bahasa, selera makanan, dan keyakinan agama melalui bimbingan tradisi.

Seseorang bisa saja bersikap kritis terhadap tradisi, bahkan ada yang mencoba melawan tradisi, tapi rasanya tidak mungkin dia bisa keluar dari tradisi yang membesarkannya, terutama rekaman bahasa yang telah membentuk pribadinya.

Lalu, bagaimana menjelaskan hubungan antara tradisi budaya dan keyakinan agama? Ini suatu pertanyaan yang pelik untuk dikaji.

Iman dan firman Tuhan yang berasal dari Tuhan yang Mahagaib dan Mahasempurna, lalu turun menyapa dan mendekati manusia sebagai makhluk budaya dan anak kandung tradisi. Ketika seseorang mencari iman dan firman Tuhan, ketika berjumpa keduanya sudah terformulasikan dan terbungkus dalam bahasa dan tradisi budaya. Tanpa instrumen bahasa budaya, manusia tak akan mengenal ajaran Tuhan.

Dalam konteks Islam, firman Tuhan itu sudah menggunakan kendaraan bahasa dan tradisi Arab. Lebih sempit lagi, sebagian sudah kental diwarnai tradisi Arab dari Suku Quraisy.

Makanya, dalam diri Nabi Muhammad bertemu tiga elemen yang saling berdialog dan saling mendukung, yaitu Muhammad sebagai anak kandung Suku Quraisy, sebagai pemuda Arab, dan sebagai nabi di bawah bimbingan Malaikat Jibril.

Dengan kata lain, agama itu datang dari Tuhan yang Mahaabsolut dan tidak terbatas, namun ajarannya yang kita terima sudah diformulasikan dalam ruang budaya yang terbatas. Kita, yang menjemput ajaran Tuhan, juga merupakan anak kandung tradisi yang serbaterbatas.

Mengingat manusia yang beragama sebagai anak kandung tradisi, begitu pun para nabi utusan Tuhan juga dibesarkan dalam sebuah tradisi yang terbentuk dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda, maka bahasa keagamaan sangat beragam, termasuk juga pemahaman dan ekspresinya juga beragam.

Salah satu keunggulan Nabi Muhammad adalah tradisi yang membentuknya terekam dalam catatan sejarah yang jauh lebih kaya dan solid ketimbang tradisi para nabi sebelumnya. Begitu juga halnya berbagai ucapan dan tindakan Nabi Muhammad juga tertulis dalam buku-buku sejarah, termasuk mushaf Alquran dan Hadis.

Data historis ini sangat membantu bagi umat beragama dan peminat sejarah nabi untuk membedakan antara elemen Muhammad sebagai anak kandung budaya Quraisy, penduduk bangsa Arab, dan sebagai nabi. Ketiganya tidak bisa dipisahkan, tetapi mestinya bisa dibedakan.

Dengan melihat realitas sosial-historis di atas, pemahaman dan ekspresi iman menjadi sangat plural, sebagaimana kita menyaksikan keragaman bahasa dan budaya. Setiap orang beriman tentunya ingin sekali mencari dan menemukan iman yang paling benar dan autentik.

Namun, karena yang beragama dan beriman adalah manusia yang serbaterbatas, maka manusia tidak mungkin memahami dan menangkap Yang Tak Terbatas secara utuh dan mutlak. Konsekuensinya, mendalami agama dan meraih anugerah iman itu jangan pernah berhenti.

Lebih dari itu, hendaknya beragama itu disertai sikap rendah hati, jangan merasa paling benar dan paling pintar sendiri, karena kontradiksi dengan eksistensi kemanusiaannya serta akan mempersempit pintu kebenaran.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2262 seconds (0.1#10.140)