Bencana Hoaks

Kamis, 27 Desember 2018 - 07:09 WIB
Bencana Hoaks
Bencana Hoaks
A A A
Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi FISIP Undana Kupang

SEKJEN Partai Perindo Ahmad Rofiq geram karena penyebaran hoaks yang semakin menjadi-jadi. Terakhir, penyebar hoaks meniupkan isu dan gosip murahan di tengah bencana melanda Indonesia. Terakhir, di media sosial beredar informasi tentang bencana yang seolah-olah diucapkan KH Ahmad Dahlan (SINDOnews, 25/12).

Menurut Rofiq, ketika situasi duka dimanfaatkan untuk kepentingan individu satu dua orang, di situ pengecut muncul. Pengecut hanya dapat dijawab dan dilawan dengan kekuatan bersama.

Disebutkan, bangsa ini membutuhkan kerja sama meringankan beban masyarakat Banten dan Lampung Selatan dalam menghadapi bencana. Aneh ketika atas nama bencana, penyebar hoaks sibuk memproduksi informasi yang kebenarannya sulit dipercaya. Itulah bencana hoaks.

Hoaks memang menjadi salah satu topik seksi di jagat sosial dan media akhir-akhir ini. Keterbukaan media informasi menyebabkan hoaks mendapatkan pijakan suburnya. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan hampir 55% penduduk Indonesia atau sekitar 132 juta jiwa merupakan pengakses internet. Dari jumlah tersebut, 54% di antaranya pengguna Facebook dan 5,54% pengguna Twitter.

Bagi para penyebar berita bohong, jumlah pengakses internet yang banyak itu menjadi sasaran utama pemberitaannya. Hoaks seperti setan penghancur ketenangan dan penjahat tak kelihatan. Karena kerja yang demikian, maka hoaks seperti musuh yang harus segera dibasmi. Bangsa Indonesia akhirnya tidak saja menghadapi bencana secara fisik, tetapi juga bencana hoaks.

Masyarakat Berisiko

Lalu, bagaimana kita membaca fenomena hoaks di ruang sosial? Hoaks harus ditempatkan sebagai salah satu risiko masyarakat modern. Meminjam Beck (1992), selain sebagai fenomena hipokriditas, hoaks adalah bentuk lain dari apa yang disebut risiko itu. Eksistensi media dan gelombang kebebasan yang masif jika tanpa kontrol akan menghasilkan risiko sosial baru dalam masyarakat.

Oleh Ulrich Beck, masyarakat modern saat ini sebagai masyarakat berisiko. Disebutkan demikian karena ternyata modernitas dan produk yang dihasilkannya telah menyebabkan tidak saja perkembangan masyarakat ke arah yang baik, tetapi justru lebih banyak yang buruk. Masyarakat modern selalu hidup dalam bayangan dan hantu ketakutan masif. Modernitas telah memproduksi beragam risiko tidak hanya sosial, tetapi budaya, ekonomi, dan politik sekaligus.

Dalam Risk Society: Towards a New Modernity, Beck mengatakan bahwa manusia rasional yang memproduksi beragam teknologi kadang-kadang tidak mampu mengantisipasi dampak negatif perkembangan teknologi itu.

Pernyataan Beck tentang risiko masyarakat modern hampir mendapatkan kepenuhannya saat ini. Pernyataan Beck nyaris terlihat pijakannya di ruang sosial modernitas baik di aspek sosial, budaya, ekonomi, dan juga di dunia politik masa kini.

Beck sebenarnya ingin menjelaskan realitas perkembangan dunia yang diproduksi oleh akal manusia rasional. Modernitas merupakan produk andalan masyarakat rasional itu. Dengan kekuatan akal, manusia bisa menghasilkan banyak sekali teknologi.

Kontrol Informasi
Fenomena risiko seperti yang digambarkan di atas merupakan fakta banal atas semua ketakutan yang ditimbulkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua kita bisa merasakan fenomena itu sampai saat ini. Saat ini semua kita merayakan keterbukaan, tetapi sekaligus dihantui oleh beragam ketakutan itu.

Beck menawarkan solusi atas semua risiko tersebut dengan rumusan politis. Yang dimaksudkan adalah ada kemauan pengambil kebijakan dan terutama negara untuk selalu mengontrol kerja modernitas. Beck menginginkan agar negara harus kuat ketika berhadapan dengan modal. Negara harus menjadi guru yang bisa mengajarkan masyarakat akan dampak dan risiko negatif teknologi.

Di sini harus disebut pengetahuan dan kecerdasan manusia. Menurut saya, media sosial bisa diketahui oleh siapa pun. Media sosial adalah alat untuk membantu pekerjaan manusia modern. Masalahnya, manusia modern tidak memiliki cukup alat untuk mengontrol sikap dan perilakunya di dunia sosial.

Dalam konteks itu, mulut dan kata harus pula dijelaskan. Jika boleh didefinisikan dengan agak bebas, kata adalah deretan huruf yang bisa memiliki arti tertentu, sedangkan mulut adalah salah satu alat fisik untuk mengungkapkan kata itu. Pertanyaannya, apakah hanya dua alat itu yang dibutuhkan dalam media sosial?

Tidak! Pikiran dan perasaan (emosi) harus pula disebut. Menjaga kata untuk tidak asal diucapkan ke publik tentu harus menyertakan kekuatan pikiran dan dorongan perasaan seseorang. Ini menyangkut kemampuan seseorang untuk mengontrol pikiran dan perasaan. Masalah terbesar kita saat ini adalah ketika kita kehilangan kontrol penggunaan media, kontrol diri dan sosial. Itulah guna dan manfaat nilai-nilai sosial, budaya, adat, dan juga agama.

Untuk konteks media sosial, nilai-nilai yang terkandung di beberapa lembaga yang disebut di atas harus menjadi perhatian semua orang. Nilai-nilai itu harus bisa diterapkan dan dipraktikkan di ruang lebar media sosial sambil berharap agar tulisan ini pun tidak dianggap sebagai berita bohong yang kemudian bermetamorfosis menjadi hoaks.

Tawaran politis ala Beck hemat saya harus diperhatikan dengan agak serius. Kebijakan politik jelas tidak untuk menghambat keterbukaan informasi di ruang publik. Yang diatur adalah proporsionalitas informasi yang akan disebar ke publik.

Bencana hoaks sedang terjadi di sini. Bencana hoaks akan terus membayangi perjalanan bangsa ini. Jika tidak segera bersikap, bangsa ini akan hidup dalam bayangan ketakutan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3453 seconds (0.1#10.140)