Peran Perempuan Menjaga Toleransi Perlu Dioptimalkan
A
A
A
JAKARTA - Antropolog Budaya dari King Fahd University l, Sumanto Al Qurtuby menyatakan, peran perempuan menjaga toleransi begitu signifikan. Maka perlu optimalisasi kelompok-kelompok perempuan dalam menjalankan misi tersebut.
"Perempuan Indonesia yang bergerak diisu toleransi masih sebatas kelompok akademisi dan aktivis militan," kata Sumanto dalam diskusi bertema 'Peran Perempuan dalam menjaga Toleransi' yang digelar Perempuan Tangguh Pilih Jokowi (Pertiwi) di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, di berbagai daerah peran perempuan sudah cukup unyuk menggaungkan toleransi. Cuma peran mereka perlu dioptimalkan. "Mereka yang di daerah perlu dioptimalkan. Peran mereka di Poso, Ambon, Maluku, Aceh, sudah sangat baik, bahkan berkontribusi untuk negara ini," jelasnya.
Dia mengatakan, relasi antarberagama masih menjadi isu tinggi dalam toleransi, dibanding dengan relasi antarras, suku atau golongan. Bukan hanya antaragama, relasi intra agama pun masih menjadi hal krusial.
"Bukan hanya antaragama, intra agama juga perlu diperbaiki. Sekte sekte kecil. Tren intoleran sangat fluktuatif, kadang naik dan turun. Dulu awal 1950 intoleran sangat tinggi ketika para parpol mengeksploitasi identitas, dan itu sekterianisme keras sekali. Isu ini muncul tenggelam, bisa karena isu politik, juga lingkungan," ungkapnya.
Sumanto menilai, hal yang paling baik ialah meminimalisir adanya paham radikalisme yang memicu intoleransi itu berkembang. Bahkan dironya pun menilai sampai saat ini tidak ada upaya yang efektif menghilangkan paham radikalisme.
"Saya katakan sejarah radilalisme sangat panjang di Indonesia, bukan sesuatu yang baru ini sangat berakar. Penanggulangan tidak ada yang efektif yang kita lakukan adalah paling tidak usaha meminimalisir seperti supremasi hukum," ungkapnya.
"Di mana aparat dan pemerintah diedukasi diberi peringatan soal problema bahaya intoleran dalam jangka panjang. Kelompok radikal akan selalu ada bahkan di negara maju sekalipun. Tapi kelompok itu tidak menjadi kelompok komunal, karena mereka (negara maju) bisa menghandle itu," tambahnya.
Begitupun dengan Psikolog Livia Iskandar, yang menyatakan perempuan memainkan peran penting dalam melawan intoleransi, pejuang melawan kekerasan, dan pejuang menjaga harmoni kehidupan bangsa.
"Sayangnya saat ini masih banyak perempuan yang masih belum menentukan langkah hidupnya dan belum menyadari potensi dan peluang-peluang yang dimilikinya untuk berkontribusi dalam membangun keluarga dan masyarakatnya," pungkasnya.
"Perempuan Indonesia yang bergerak diisu toleransi masih sebatas kelompok akademisi dan aktivis militan," kata Sumanto dalam diskusi bertema 'Peran Perempuan dalam menjaga Toleransi' yang digelar Perempuan Tangguh Pilih Jokowi (Pertiwi) di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, di berbagai daerah peran perempuan sudah cukup unyuk menggaungkan toleransi. Cuma peran mereka perlu dioptimalkan. "Mereka yang di daerah perlu dioptimalkan. Peran mereka di Poso, Ambon, Maluku, Aceh, sudah sangat baik, bahkan berkontribusi untuk negara ini," jelasnya.
Dia mengatakan, relasi antarberagama masih menjadi isu tinggi dalam toleransi, dibanding dengan relasi antarras, suku atau golongan. Bukan hanya antaragama, relasi intra agama pun masih menjadi hal krusial.
"Bukan hanya antaragama, intra agama juga perlu diperbaiki. Sekte sekte kecil. Tren intoleran sangat fluktuatif, kadang naik dan turun. Dulu awal 1950 intoleran sangat tinggi ketika para parpol mengeksploitasi identitas, dan itu sekterianisme keras sekali. Isu ini muncul tenggelam, bisa karena isu politik, juga lingkungan," ungkapnya.
Sumanto menilai, hal yang paling baik ialah meminimalisir adanya paham radikalisme yang memicu intoleransi itu berkembang. Bahkan dironya pun menilai sampai saat ini tidak ada upaya yang efektif menghilangkan paham radikalisme.
"Saya katakan sejarah radilalisme sangat panjang di Indonesia, bukan sesuatu yang baru ini sangat berakar. Penanggulangan tidak ada yang efektif yang kita lakukan adalah paling tidak usaha meminimalisir seperti supremasi hukum," ungkapnya.
"Di mana aparat dan pemerintah diedukasi diberi peringatan soal problema bahaya intoleran dalam jangka panjang. Kelompok radikal akan selalu ada bahkan di negara maju sekalipun. Tapi kelompok itu tidak menjadi kelompok komunal, karena mereka (negara maju) bisa menghandle itu," tambahnya.
Begitupun dengan Psikolog Livia Iskandar, yang menyatakan perempuan memainkan peran penting dalam melawan intoleransi, pejuang melawan kekerasan, dan pejuang menjaga harmoni kehidupan bangsa.
"Sayangnya saat ini masih banyak perempuan yang masih belum menentukan langkah hidupnya dan belum menyadari potensi dan peluang-peluang yang dimilikinya untuk berkontribusi dalam membangun keluarga dan masyarakatnya," pungkasnya.
(maf)