PAN: Jangan Jadikan Milenial Cuma Objek Perebutan Suara
A
A
A
JAKARTA - Pemilih dari generasi milenial dinilai kurang mendapat porsi dalam proses pembangunan. Pemerintah selama ini dianggap memosisikan para milenial hanya sebagai objek, bukan subjek pembangunan.
Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Partai Amanat Nasional (PAN) Farazandy Fidinansyah mengatakan, selama ini pemuda kurang mendapat peran dalam pembagian porsi pembangunan ekonomi negara.
Menurut dia, pemerintah terlalu sibuk mengidentifikasi anak muda dengan istilah flying voters, pemilih pemula dan istilah-istilah politik yang identik dengan pemilu.
Padahal, menurut Farazandy, saat ini milenial di Indonesia tengah dihadapkan pada kondisi penurunan daya beli masyarakat.
"Kondisi penurunan daya beli ini membutuhkan perhatian dan tindakan khusus untuk dapat menciptakan generasi-generasi wirausahawan muda di Indonesia," kata Farazandy kepada SINDOnews, Senin (17/12/2018).
Farazandy mengatakan, di banyak negara, khususnya di Asia, pemerintahnya sangat intens dalam menggerakan potensi-potensi pemuda dalam memanfaatkan revolusi industri digital 4.0 yang sedang berkembang.
Bahkan, kata dia, China sudah melihat pemuda dan ekonomi digital sebagai strategi pembangunan negaranya pada Visi China 2050 untuk menjadi pemimpin global.
Melihat kodisi demikian, Farazandy meminta pemerintah tidak hanya melihat pemuda sebagai objek perebutan suara pada Pemilu 2019, sementara di waktu bersamaan kurang mendapat peran dalam pembagian porsi pembangunan ekonomi negara.
Farazandi juga mempertanyakan realisasi dari janji pemerintah dalam mencetak 1 juta start-up.
Menurut dia, yang terjadi saat ini justru terdapat kesenjangan yang tinggi antara komitmen dan realitas yang terjadi.
"Indonesia merupakan pangsa pasar terbesar di ASEAN, pemerintah justru gagal memanfaatkan tren digital 4.0 untuk meningkatkan partisipasi pemuda, kita hanya menjadi pasar bukan pemain. Akibat dukungan pemerintah yang jauh terlalu minim, pangsa pasar yang besar ini justru dimanfaatkan oleh start-up asing ataupun pemodal besar," tuturnya.
Farazandy menambahkan, ada banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah saat ini maupun masa depan. Di antaranya, membuka akses permodalan yang pro-milenial untuk memulai usaha hingga proteksi untuk melindungi start-up lokal dari gempuran raksasa start-up asing.
“Pasar kita paling prospektif di kawasan, juga Indonesia ini diuntungkan oleh bonus demografi, 2020 hingga 2035 itu kita didominasi pemuda, kurang apa lagi, kita harus disiapkan dari sekarang," kata Farazandy.
Menurut dia, pemuda jangan lagi menjadi objek yang diperebutkan untuk meraih simpati dan mendapatkan suara. Pemuda harus menjadi pelaku usaha, menjadi penggerak ekonomi.
"Bukan hanya penerima janji-janji kampanye," katanya.
Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Partai Amanat Nasional (PAN) Farazandy Fidinansyah mengatakan, selama ini pemuda kurang mendapat peran dalam pembagian porsi pembangunan ekonomi negara.
Menurut dia, pemerintah terlalu sibuk mengidentifikasi anak muda dengan istilah flying voters, pemilih pemula dan istilah-istilah politik yang identik dengan pemilu.
Padahal, menurut Farazandy, saat ini milenial di Indonesia tengah dihadapkan pada kondisi penurunan daya beli masyarakat.
"Kondisi penurunan daya beli ini membutuhkan perhatian dan tindakan khusus untuk dapat menciptakan generasi-generasi wirausahawan muda di Indonesia," kata Farazandy kepada SINDOnews, Senin (17/12/2018).
Farazandy mengatakan, di banyak negara, khususnya di Asia, pemerintahnya sangat intens dalam menggerakan potensi-potensi pemuda dalam memanfaatkan revolusi industri digital 4.0 yang sedang berkembang.
Bahkan, kata dia, China sudah melihat pemuda dan ekonomi digital sebagai strategi pembangunan negaranya pada Visi China 2050 untuk menjadi pemimpin global.
Melihat kodisi demikian, Farazandy meminta pemerintah tidak hanya melihat pemuda sebagai objek perebutan suara pada Pemilu 2019, sementara di waktu bersamaan kurang mendapat peran dalam pembagian porsi pembangunan ekonomi negara.
Farazandi juga mempertanyakan realisasi dari janji pemerintah dalam mencetak 1 juta start-up.
Menurut dia, yang terjadi saat ini justru terdapat kesenjangan yang tinggi antara komitmen dan realitas yang terjadi.
"Indonesia merupakan pangsa pasar terbesar di ASEAN, pemerintah justru gagal memanfaatkan tren digital 4.0 untuk meningkatkan partisipasi pemuda, kita hanya menjadi pasar bukan pemain. Akibat dukungan pemerintah yang jauh terlalu minim, pangsa pasar yang besar ini justru dimanfaatkan oleh start-up asing ataupun pemodal besar," tuturnya.
Farazandy menambahkan, ada banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah saat ini maupun masa depan. Di antaranya, membuka akses permodalan yang pro-milenial untuk memulai usaha hingga proteksi untuk melindungi start-up lokal dari gempuran raksasa start-up asing.
“Pasar kita paling prospektif di kawasan, juga Indonesia ini diuntungkan oleh bonus demografi, 2020 hingga 2035 itu kita didominasi pemuda, kurang apa lagi, kita harus disiapkan dari sekarang," kata Farazandy.
Menurut dia, pemuda jangan lagi menjadi objek yang diperebutkan untuk meraih simpati dan mendapatkan suara. Pemuda harus menjadi pelaku usaha, menjadi penggerak ekonomi.
"Bukan hanya penerima janji-janji kampanye," katanya.
(dam)