Politik Identitas Dinilai Menimbulkan Ketidakpastian
A
A
A
JAKARTA - Konsultan Politik dan Komunikasi, Dimas Oky Nugroho mengatakan politik identitas yang terjadi di Indonesia melalui teknologi informasi baik itu media sosial dan lainnya sangat mengganggu dan menimbulkan keragu-raguan, kecemasan sebagaimana kekhawatiran dari efek negatif era revolusi industri 4.0.
"Adanya perbedaan politik, tapi ada juga perbedaan yang sangat mengganggu yang namanya adalah kemunculan politik identitas," ujar Dimas dalam diskusi bertajuk "Refleksi Perjalanan Supremasi Sipil dan Tantangan di Era 4.0" di Universitas Trisaksi (Usakti), Jakarta, Jumat (14/12/2018).
Dimas menjelaskan, politik identitas ini melalui teknologi telekomunikasi sehingga terjadi perdebatan terbuka nan sengit di jagat maya meskipun mereka anonimus. "Tapi sangat mengganggu, mampu membangun sebuah keraguraguan, ketakutan-ketakutan, kekhawatiran, dan seterusnya," kata dia.
Politik identitas ini di beberapa negara memunculkan kelompok kanan atau konservatif yang cukup kuat, misalnya di Amerika Serikat (AS), Eropa, dan juga Indonesia. Jika melihat berbagai jurnal di AS saat ini baik itu tentang political science, sosiologi maupun antropologi selalu bicara tentang pertarungan kelompok konservatif dengan kelompok liberal. "Jadi kalau di Indonesia mirip cebong versus kampret," ucapnya.
Berbeda dengan negara-negara di Eropa dan AS, lanjut Dimas, Indonesia tidak mempunyai cukup banyak kajian soal kekhawatiran atas era 4.0 tersebut sehingga menjadi tantangan bagi kampus atau akademisi di Tanah Air bagaimana harus merespons soal disruption era 4.0 ini.
"Ini tantangan tersendiri di mana ada politik identitas, ada kemunculan partisipasi anak-anak muda milenial yang jumlah pemilihnya nyaris setengah dari total pemilih," jelasnya.
Sementara itu, Tenaga Profesional Lemhannas Edijan Tanjung yang membahas subtema "Supremasi Sipil dan Dinamikanya" menyampaikan jika berbicara soal supremasi sipil maka sejauh mana kemampuan sipil dalam menjalankan tugas-tugasnya untuk mencapai tujuan negara sesuai alinea keempat pembukaan UUD 1945.
Supremasi Sipil Indonesia dimulai sejak Reformasi setelah tumbangnya Orde Baru (Orba). Tentunya, dari kalangan angkatan terus memantau apakah tujuan alinea keempat UUD 1945 itu tercapai atau tidak.
"Keberadaan supremasi sipil akan bisa berjalan apabila para penyelenggara negara betul-betul untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan pribadi, golongan, apalagi kepentingan parpol tertentu," ujarnya.
Jika pertentangan itu terjadi, lanjut Edijan, maka supremasi sipil ini suatu saat bisa hilang. "Maka jika ingin memperkuat supremasi sipil, maka parpol sebagai ujung tombak penyiap kader-kader bangsa harus bersatu padu untuk bagaimana caranya mencapai tujuan nasional sebagaimana di UUD 45," paparnya.
Acara diskusi tersebut dilangsungkan setelah pengukuhan pengurus Ikatan Alumni Fakultas Hukum (IKA FH) Usakti Periode 2018-2022. Adapun pengurus terasnya adalah Ketua Umum Rivai Kusumanegara dengan Wakil-Wakil Irfan Uthen Ardiansyah, Haris Azhar, Eric Asmansyah, Sonny Kusuma dan Abdullah.
Sekretaris Jenderal Muhammad Burhanuddin dengan Wakil-Wakil Wanda Hamidah, Ayu Diah Pasha, Faizal Putrawijaya, Achram Taruna dan Kemas Yahya Ilham. Bendahara Umum dijabat Srimiguna dengan Wakli-Wakil Rina Arifin dan Desra Natasha Warganegara.
Ketua Umum IKA FH Usakti, Rivai Kusumanegara menyampaikan pesan kepada alumnus Usakti yang maju sebagai caleg di 2019 dari berbagai parpol. Pesannya yaitu harus ingat tujuan reformasi yang dicapai bukan hanya dengan aksi tetapi nyawa di antaranya mahasiswa Usakti.
"Reformasi di antaranya ada dua tuntutan, supremasi sipil dan pemberantasan korupsi. Kita sepakat tidak ingin kembali ke masa lalu, sehingga harus jadi tokoh perubahan yang bisa membangun bangsa dan negara dan saya yakin alumni Trisaksi mampu untuk itu," ujarnya.
"Adanya perbedaan politik, tapi ada juga perbedaan yang sangat mengganggu yang namanya adalah kemunculan politik identitas," ujar Dimas dalam diskusi bertajuk "Refleksi Perjalanan Supremasi Sipil dan Tantangan di Era 4.0" di Universitas Trisaksi (Usakti), Jakarta, Jumat (14/12/2018).
Dimas menjelaskan, politik identitas ini melalui teknologi telekomunikasi sehingga terjadi perdebatan terbuka nan sengit di jagat maya meskipun mereka anonimus. "Tapi sangat mengganggu, mampu membangun sebuah keraguraguan, ketakutan-ketakutan, kekhawatiran, dan seterusnya," kata dia.
Politik identitas ini di beberapa negara memunculkan kelompok kanan atau konservatif yang cukup kuat, misalnya di Amerika Serikat (AS), Eropa, dan juga Indonesia. Jika melihat berbagai jurnal di AS saat ini baik itu tentang political science, sosiologi maupun antropologi selalu bicara tentang pertarungan kelompok konservatif dengan kelompok liberal. "Jadi kalau di Indonesia mirip cebong versus kampret," ucapnya.
Berbeda dengan negara-negara di Eropa dan AS, lanjut Dimas, Indonesia tidak mempunyai cukup banyak kajian soal kekhawatiran atas era 4.0 tersebut sehingga menjadi tantangan bagi kampus atau akademisi di Tanah Air bagaimana harus merespons soal disruption era 4.0 ini.
"Ini tantangan tersendiri di mana ada politik identitas, ada kemunculan partisipasi anak-anak muda milenial yang jumlah pemilihnya nyaris setengah dari total pemilih," jelasnya.
Sementara itu, Tenaga Profesional Lemhannas Edijan Tanjung yang membahas subtema "Supremasi Sipil dan Dinamikanya" menyampaikan jika berbicara soal supremasi sipil maka sejauh mana kemampuan sipil dalam menjalankan tugas-tugasnya untuk mencapai tujuan negara sesuai alinea keempat pembukaan UUD 1945.
Supremasi Sipil Indonesia dimulai sejak Reformasi setelah tumbangnya Orde Baru (Orba). Tentunya, dari kalangan angkatan terus memantau apakah tujuan alinea keempat UUD 1945 itu tercapai atau tidak.
"Keberadaan supremasi sipil akan bisa berjalan apabila para penyelenggara negara betul-betul untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan pribadi, golongan, apalagi kepentingan parpol tertentu," ujarnya.
Jika pertentangan itu terjadi, lanjut Edijan, maka supremasi sipil ini suatu saat bisa hilang. "Maka jika ingin memperkuat supremasi sipil, maka parpol sebagai ujung tombak penyiap kader-kader bangsa harus bersatu padu untuk bagaimana caranya mencapai tujuan nasional sebagaimana di UUD 45," paparnya.
Acara diskusi tersebut dilangsungkan setelah pengukuhan pengurus Ikatan Alumni Fakultas Hukum (IKA FH) Usakti Periode 2018-2022. Adapun pengurus terasnya adalah Ketua Umum Rivai Kusumanegara dengan Wakil-Wakil Irfan Uthen Ardiansyah, Haris Azhar, Eric Asmansyah, Sonny Kusuma dan Abdullah.
Sekretaris Jenderal Muhammad Burhanuddin dengan Wakil-Wakil Wanda Hamidah, Ayu Diah Pasha, Faizal Putrawijaya, Achram Taruna dan Kemas Yahya Ilham. Bendahara Umum dijabat Srimiguna dengan Wakli-Wakil Rina Arifin dan Desra Natasha Warganegara.
Ketua Umum IKA FH Usakti, Rivai Kusumanegara menyampaikan pesan kepada alumnus Usakti yang maju sebagai caleg di 2019 dari berbagai parpol. Pesannya yaitu harus ingat tujuan reformasi yang dicapai bukan hanya dengan aksi tetapi nyawa di antaranya mahasiswa Usakti.
"Reformasi di antaranya ada dua tuntutan, supremasi sipil dan pemberantasan korupsi. Kita sepakat tidak ingin kembali ke masa lalu, sehingga harus jadi tokoh perubahan yang bisa membangun bangsa dan negara dan saya yakin alumni Trisaksi mampu untuk itu," ujarnya.
(kri)