Pengamat: Elektabilitas Kedua Pasangan Capres-Cawapres Mandeg
A
A
A
JAKARTA - Hiruk-pikuk panggung politik nasional dua bulan terahir belum memberikan efek yang signifikan terhadap elektabilitas kedua pasangan capres. Merujuk pada hasil survei Denny JA yang dilakukan pada 10-19 November 2018, dari 6 isu populer dengan tingkat pengenalan terhadap isunya di atas 50% Jokowi berhasil memenangkan 4 isu dengan sentimen positif.
Isu yang hangat diperbincangkan tersebut adalah: penyelenggaraan Asian Games, Hoax Ratna Sarumpaet, kujungan ke korban gempa Lombok dan Palu. Sementara jika dilihat pada isu lain yang juga banyak diperbincangkan dengan derajat pengenalan isu di bawah 50%, dari 14 isu Jokowi mendominasi dengan sentimen positif pada 11 isu utama.
"Survei ini menjadi catatan berharga dan penting bagi kedua pasangan kandidat capres untuk lebih berhati-hati dalam manajemen kampanye dan manajemen isu agar tidak kontra-produktif terhadap elektabilitas masing-masing kandidat," kata Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago melalui rilis yang diterima SINDOnews, Jumat (14/12/2018).
Kesalahan dalam menentukan tema kampanye, reaksi berlebihan terhadap sebuah isu bahkan pemillihan kata dan diksi yang salah bisa berdampak buruk terhadap elektabilitas sang kandidat secara langsung. Prabowo misalnya dalam kasus Hoax Ratna Sarumpaet harus menelan pil pahit mendapat sentimen negatif dari publik sebagai akibat salah dalam menentukan sikap.
Dalam survei tersebut mencatat tingkat pengenalan terhadap isu ini 57 persen dan 89 persen tidak suka atas isu tersebut, itu artinya sentimen negatif publik terhadap isu sangat tinggi dan dapat dipastikan akan merugikan Prabowo. "Begitu juga dalam isu-isu lain seperti Tampang Boyolali sentimen negatif dan juga terbilang cukup tinggi berada pada angka 65,8 persen," terangnya.
Sementara untuk kubu Jokowi, sikap reaktif dan reaksioner terhadap sebuah isu dan kritik oposisi juga berdampak negatif. Politik Sontoloyo misalnya direspon negatif dengan tingkat ketidak-sukaan 60 persen.
Namun di sisi lain ketika pemerintah fokus pada kinerja, memakai kaca mata kuda alias tak terpancing, justru publik memberikan respon positif. Hal ini bisa dilihat dalam baberapa isu utama seperti penyelenggaraan Asian Games 98 persen, kunjungan ke korban Gempa dan Tsunami Palu 93,7 persen, Kunjungan ke korban gempa Lombok 94,5 persen dan dana bantuan dari rapat tahunan IMF untuk Palu 82 persen.
"Kubu Prabowo juga mendapat insentif secara tidak langsung dari beberapa isu yang dianggap sebagai kelemahan pemerintah, isu tersebut di antaranya kurs Rupiah yang sempat menyentuh angka Rp 15.000 dan kasus pembakaran bendera HTI," terangnya.
Dari pemaparan beberapa data di atas, dapat diambil pelajaran penting bahwa peluang untuk memenangkan kontestasi elektoral pilpres 2019 masih sangat besar untuk petahana, dengan catatan tetap fokus pada kinerja dan kerja nyata dan tidak terpancing untuk memberikan respon dan bersikap reaktif berlebihan merespon atau menyikapi isu yang sengaja didesain dan digoreng team lawan politik.
Oleh karena itu, sikap reaktif ini justru akan mengalihkan fokus pemerintah yang pada akhirnya membuat performa pemerintah menurun. "Jika situsi ini terus dibiarkan terjadi tentu akan menjadi keuntungan bagi sang penantang di tengah miskinnya narasi kampanye sebagai alternatif yang ditawarkan kepada publik," pungkasnya.
Isu yang hangat diperbincangkan tersebut adalah: penyelenggaraan Asian Games, Hoax Ratna Sarumpaet, kujungan ke korban gempa Lombok dan Palu. Sementara jika dilihat pada isu lain yang juga banyak diperbincangkan dengan derajat pengenalan isu di bawah 50%, dari 14 isu Jokowi mendominasi dengan sentimen positif pada 11 isu utama.
"Survei ini menjadi catatan berharga dan penting bagi kedua pasangan kandidat capres untuk lebih berhati-hati dalam manajemen kampanye dan manajemen isu agar tidak kontra-produktif terhadap elektabilitas masing-masing kandidat," kata Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago melalui rilis yang diterima SINDOnews, Jumat (14/12/2018).
Kesalahan dalam menentukan tema kampanye, reaksi berlebihan terhadap sebuah isu bahkan pemillihan kata dan diksi yang salah bisa berdampak buruk terhadap elektabilitas sang kandidat secara langsung. Prabowo misalnya dalam kasus Hoax Ratna Sarumpaet harus menelan pil pahit mendapat sentimen negatif dari publik sebagai akibat salah dalam menentukan sikap.
Dalam survei tersebut mencatat tingkat pengenalan terhadap isu ini 57 persen dan 89 persen tidak suka atas isu tersebut, itu artinya sentimen negatif publik terhadap isu sangat tinggi dan dapat dipastikan akan merugikan Prabowo. "Begitu juga dalam isu-isu lain seperti Tampang Boyolali sentimen negatif dan juga terbilang cukup tinggi berada pada angka 65,8 persen," terangnya.
Sementara untuk kubu Jokowi, sikap reaktif dan reaksioner terhadap sebuah isu dan kritik oposisi juga berdampak negatif. Politik Sontoloyo misalnya direspon negatif dengan tingkat ketidak-sukaan 60 persen.
Namun di sisi lain ketika pemerintah fokus pada kinerja, memakai kaca mata kuda alias tak terpancing, justru publik memberikan respon positif. Hal ini bisa dilihat dalam baberapa isu utama seperti penyelenggaraan Asian Games 98 persen, kunjungan ke korban Gempa dan Tsunami Palu 93,7 persen, Kunjungan ke korban gempa Lombok 94,5 persen dan dana bantuan dari rapat tahunan IMF untuk Palu 82 persen.
"Kubu Prabowo juga mendapat insentif secara tidak langsung dari beberapa isu yang dianggap sebagai kelemahan pemerintah, isu tersebut di antaranya kurs Rupiah yang sempat menyentuh angka Rp 15.000 dan kasus pembakaran bendera HTI," terangnya.
Dari pemaparan beberapa data di atas, dapat diambil pelajaran penting bahwa peluang untuk memenangkan kontestasi elektoral pilpres 2019 masih sangat besar untuk petahana, dengan catatan tetap fokus pada kinerja dan kerja nyata dan tidak terpancing untuk memberikan respon dan bersikap reaktif berlebihan merespon atau menyikapi isu yang sengaja didesain dan digoreng team lawan politik.
Oleh karena itu, sikap reaktif ini justru akan mengalihkan fokus pemerintah yang pada akhirnya membuat performa pemerintah menurun. "Jika situsi ini terus dibiarkan terjadi tentu akan menjadi keuntungan bagi sang penantang di tengah miskinnya narasi kampanye sebagai alternatif yang ditawarkan kepada publik," pungkasnya.
(pur)