Muddying the Water
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
ISTILAH muddying the water, membuat air keruh, kadang terjadi dalam panggung politik menjelang pemilu. Para kompetitor atau pesaing tidak saja adu program, tetapi juga main kotor, ingin menjatuhkan lawan secara curang, yaitu membuat keruh suasana dengan menyebarkan hoaks, memutarbalikkan logika lawan politiknya.
Menyebarkan opini bahwa prestasi dan kebaikan apa pun yang dimiliki lawan politiknya dilawan dengan opini palsu agar gambar atau air yang tadinya indah dan jernih berubah menjadi buram dan semrawut di mata masyarakat calon pemilih. Persis bagaikan memasukkan lumpur ke air yang jernih, muddying the clean water.
Untuk era media sosial (medsos) sekarang ini mungkin istilah yang pas polluting the air. Membuat opini yang bikin keruh wacana politik di jagat maya dengan statemen dan opini yang mengecoh rakyat dengan menjatuhkan atau mengaburkan kebaikan pihak lawan.
Jika suasana keruh ini berlangsung lama, sementara program, visi, dan prestasi tidak muncul dan terlihat di mata publik, sesungguhnya yang akan rusak adalah budaya politiknya. Rakyat menjadi ragu dan bosan pada politisi, bahkan benci. Lebih jauh lagi rakyat tidak percaya pada partai politik dan proses demokrasi.
Akibat lebih jauh lagi, agenda perbaikan dan pendewasaan demokrasi yang menjadi tugas semua parpol menjadi jargon kosong. Cita-cita luhur demokrasi dirusak dan dikotori justru oleh politisi dan parpol, bukan oleh rakyat.
Yang bagi saya masih menyimpan teka-teki dan kekhawatiran adalah pelaksanaan pemilu dan pileg serentak nanti. Terbayang, apakah orang kampung punya informasi yang cukup ketika dihadapkan pada pilihan sederet nama calon DPR pusat, DPR provinsi, DPR kabupaten dan kota madya serta sederet nama calon DPD?
Kalau multiple choice hanya dua, yaitu memilih presiden, tentu tidak sulit membuat putusan. Tapi bagaimana dengan memilih sederet nama caleg dan calon anggota DPD yang mungkin jumlahnya di atas 50?
Saya kira itu melampaui teori ujian multiple choice yang umumnya hanya empat pilihan. Saya khawatir maksud pilkada langsung agar rakyat memilih wakil terbaiknya tidak tercapai. Jauh dan meleset.
Jadi kekeruhan terjadi tidak saja dalam panggung kampanye, tetapi juga pada tataran teknis operasionalnya. Ditambah lagi buntut dari korupsi e-KTP yang berakibat jutaan warga negara sampai hari ini tidak memiliki KTP resmi. Kalau tidak segera diatasi, kolam air yang mestinya jernih, bening, benar-benar jadi muddy, keruh berlumpur.
Terlalu gaduh dunia politik kita. Ongkos mahal, tetapi hasilnya mengecewakan.
Seorang teman ahli perikanan mengatakan, adalah ikan lele yang senang hidup di air keruh. Ikan lele merasa stres jika terkena cahaya matahari dan dilihat manusia.
Jika ikan lele ini dianalogikan pada perilaku manusia, memang ada orang-orang yang merasa senang berburu uang dan kedudukan dalam suasana yang keruh, jauh dari transparansi. Mengendap-endap dalam keremangan agar tidak tertangkap penegak hukum.
Saya tidak tahu persis, untuk ongkos politik ini rumornya banyak aliran dana lewat jalur gelap. Di beberapa departemen pun terjadi promosi jabatan yang prosesnya juga tidak transparan dan akuntabel.Bahkan untuk penetapan rektor universitas yang notabene sebagai pusat peradaban, banyak yang menempuh jalur remang-remang. The water becomes muddy. The air has been polluted.
Apakah masih ada ikan emas yang senang hidup di air jernih? Saya yakin masih banyak figur politisi dan pemimpin yang menyenangi transparansi.
Suka atau tidak suka, siapa pun yang jadi pemimpin tidak akan bisa sembunyi dalam air keruh berlumpur atau di belakang tembok tinggi agar tidak diketahui publik. Dunia begitu transparan, hampir tak ada lagi ruang privasi untuk seorang calon pemimpin bangsa.
Makanya lebih baik kita jaga agar air dan udara politik kita jernih dan transparan. Bukankah lebih indah dilihat dan nyaman dihuni? Pertandingan pun menjadi menarik dan berkualitas.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
ISTILAH muddying the water, membuat air keruh, kadang terjadi dalam panggung politik menjelang pemilu. Para kompetitor atau pesaing tidak saja adu program, tetapi juga main kotor, ingin menjatuhkan lawan secara curang, yaitu membuat keruh suasana dengan menyebarkan hoaks, memutarbalikkan logika lawan politiknya.
Menyebarkan opini bahwa prestasi dan kebaikan apa pun yang dimiliki lawan politiknya dilawan dengan opini palsu agar gambar atau air yang tadinya indah dan jernih berubah menjadi buram dan semrawut di mata masyarakat calon pemilih. Persis bagaikan memasukkan lumpur ke air yang jernih, muddying the clean water.
Untuk era media sosial (medsos) sekarang ini mungkin istilah yang pas polluting the air. Membuat opini yang bikin keruh wacana politik di jagat maya dengan statemen dan opini yang mengecoh rakyat dengan menjatuhkan atau mengaburkan kebaikan pihak lawan.
Jika suasana keruh ini berlangsung lama, sementara program, visi, dan prestasi tidak muncul dan terlihat di mata publik, sesungguhnya yang akan rusak adalah budaya politiknya. Rakyat menjadi ragu dan bosan pada politisi, bahkan benci. Lebih jauh lagi rakyat tidak percaya pada partai politik dan proses demokrasi.
Akibat lebih jauh lagi, agenda perbaikan dan pendewasaan demokrasi yang menjadi tugas semua parpol menjadi jargon kosong. Cita-cita luhur demokrasi dirusak dan dikotori justru oleh politisi dan parpol, bukan oleh rakyat.
Yang bagi saya masih menyimpan teka-teki dan kekhawatiran adalah pelaksanaan pemilu dan pileg serentak nanti. Terbayang, apakah orang kampung punya informasi yang cukup ketika dihadapkan pada pilihan sederet nama calon DPR pusat, DPR provinsi, DPR kabupaten dan kota madya serta sederet nama calon DPD?
Kalau multiple choice hanya dua, yaitu memilih presiden, tentu tidak sulit membuat putusan. Tapi bagaimana dengan memilih sederet nama caleg dan calon anggota DPD yang mungkin jumlahnya di atas 50?
Saya kira itu melampaui teori ujian multiple choice yang umumnya hanya empat pilihan. Saya khawatir maksud pilkada langsung agar rakyat memilih wakil terbaiknya tidak tercapai. Jauh dan meleset.
Jadi kekeruhan terjadi tidak saja dalam panggung kampanye, tetapi juga pada tataran teknis operasionalnya. Ditambah lagi buntut dari korupsi e-KTP yang berakibat jutaan warga negara sampai hari ini tidak memiliki KTP resmi. Kalau tidak segera diatasi, kolam air yang mestinya jernih, bening, benar-benar jadi muddy, keruh berlumpur.
Terlalu gaduh dunia politik kita. Ongkos mahal, tetapi hasilnya mengecewakan.
Seorang teman ahli perikanan mengatakan, adalah ikan lele yang senang hidup di air keruh. Ikan lele merasa stres jika terkena cahaya matahari dan dilihat manusia.
Jika ikan lele ini dianalogikan pada perilaku manusia, memang ada orang-orang yang merasa senang berburu uang dan kedudukan dalam suasana yang keruh, jauh dari transparansi. Mengendap-endap dalam keremangan agar tidak tertangkap penegak hukum.
Saya tidak tahu persis, untuk ongkos politik ini rumornya banyak aliran dana lewat jalur gelap. Di beberapa departemen pun terjadi promosi jabatan yang prosesnya juga tidak transparan dan akuntabel.Bahkan untuk penetapan rektor universitas yang notabene sebagai pusat peradaban, banyak yang menempuh jalur remang-remang. The water becomes muddy. The air has been polluted.
Apakah masih ada ikan emas yang senang hidup di air jernih? Saya yakin masih banyak figur politisi dan pemimpin yang menyenangi transparansi.
Suka atau tidak suka, siapa pun yang jadi pemimpin tidak akan bisa sembunyi dalam air keruh berlumpur atau di belakang tembok tinggi agar tidak diketahui publik. Dunia begitu transparan, hampir tak ada lagi ruang privasi untuk seorang calon pemimpin bangsa.
Makanya lebih baik kita jaga agar air dan udara politik kita jernih dan transparan. Bukankah lebih indah dilihat dan nyaman dihuni? Pertandingan pun menjadi menarik dan berkualitas.
(poe)