Serangan Siber Makin Meningkat Jelang Pemilu
A
A
A
JAKARTA - Menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum Serentak 2019, serangan siber meningkat drastis. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat dalam kurun 10 bulan sudah ada 207,9 juta serangan siber yang berhasil dideteksi.
Angka ini melonjak tajam jika dibandingkan pada temuan sebelumnya pada periode Januari–Juni 2018 yang hanya ada 143,6 juta serangan. Memasuki Oktober 2018, serangan meningkat menjadi 207,9 juta.
Kepala BSSN Djoko Setiadi mengatakan, dari ratusan juta serangan siber yang terjadi, serangan trojan paling banyak. Selain itu, ada sekitar 36 juta aktivitas malware paling banyak menyerang domain ac.id, co.id, dan go.id. Terdapat juga 2.363 pengaduan publik dengan 61% berupa fraud.
“Potensi ancaman serangan siber terus berkembang semakin pesat bahkan lebih cepat dari perkembangan teknologi dan kemampuan antisipasinya sehingga berisiko mengakibatkan krisis di segala bidang dengan skala penyebaran masif,” kata Djoko dalam Seminar Diseminasi Deteksi Ancaman Siber 2018 bertajuk “Bersama Mengantisipasi Ancaman dan Serangan Siber terhadap Penyelenggaraan Demokrasi Pileg dan Pilpres 2019” di Jakarta, kemarin.
Djoko menjelaskan, ancaman siber dan potensi serangannya selalu ada dan berkembang dengan pesat, baik dari sisi teknik, prosedur yang digunakan, maupun penyebarannya. “Targetnya tidak hanya terjadi pada institusi publik saja, namun juga menyerang institusi pemerintah. Kami berharap BSSN bisa membantu organisasi pemangku kepentingan dalam mengetahui dan memahami pergeseran perilaku serangan dan ancaman siber serta memberikan informasi yang dibutuhkan agar organisasi semakin siap dalam mewujudkan ketahanan dan keamanan siber,” katanya.
Saat ini sangat dibutuhkan kolaborasi dan sinergi berbagai pemangku kepentingan keamanan siber nasional untuk membangun kepercayaan, kapabilitas, dan mekanisme koordinasi yang cepat dalam mendeteksi ancaman serangan siber. Djoko pun berharap melalui seminar ini ancaman dan serangan siber menjelang Pemilu 2019 bisa ditangani dengan baik dan tidak meluas.
“Melalui kegiatan ini menjadi upaya mengantisipasi tren ancaman siber dan memberikan peringatan pada instansi terkait. Dengan begitu, diharapkan pada sektor pemerintah, sektor infrastruktur informasi nasional, dan sektor ekonomi digital, siap menghadapi ancaman siber tersebut,” ujarnya.
Direktur Deteksi Ancaman BSSN Sulistyo memprediksi ada tiga pola serangan siber yang berpotensi mengganggu jalannya pesta demokrasi. “Berkaitan dengan proses Pemilu 2019, ada tiga hal akan terjadi menurut prediksi BSSN, yaitu hack, leak, dan amplify. Hack, yakni melakukan proses peretasan terhadap infrastruktur penghitungan suara, terutama milik penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu,” ungkapnya.
Kemudian leak, yakni adanya upaya suatu pihak membocorkan informasi. Leak informasi, kata Sulistyo, bisa dari penyelenggara pemilu ataupun pesaing peserta pemilu. Ini berkaitan dengan upaya pencurian informasi pribadi pesaing, kemudian diviralkan menjadi black campaign. Sedangkan amplify adalah memviralkan sejumlah data pribadi salah satu peserta pemilu. Kasus ini sering terjadi di Indonesia.
“Amplify berhubungan dengan informasi pribadi milik pesaing atau kompetitor, lalu diviralkan dan menjadi kampanye hitam atau black campaign. Contoh kasusnya pada Pilgub Jawa Timur lalu ketika itu bupati Banyuwangi (Azwar Anas) akan mencalonkan diri namun kemudian ada masalah berkaitan dengan data pribadi,” ungkapnya. (Binti Mufarida)
Angka ini melonjak tajam jika dibandingkan pada temuan sebelumnya pada periode Januari–Juni 2018 yang hanya ada 143,6 juta serangan. Memasuki Oktober 2018, serangan meningkat menjadi 207,9 juta.
Kepala BSSN Djoko Setiadi mengatakan, dari ratusan juta serangan siber yang terjadi, serangan trojan paling banyak. Selain itu, ada sekitar 36 juta aktivitas malware paling banyak menyerang domain ac.id, co.id, dan go.id. Terdapat juga 2.363 pengaduan publik dengan 61% berupa fraud.
“Potensi ancaman serangan siber terus berkembang semakin pesat bahkan lebih cepat dari perkembangan teknologi dan kemampuan antisipasinya sehingga berisiko mengakibatkan krisis di segala bidang dengan skala penyebaran masif,” kata Djoko dalam Seminar Diseminasi Deteksi Ancaman Siber 2018 bertajuk “Bersama Mengantisipasi Ancaman dan Serangan Siber terhadap Penyelenggaraan Demokrasi Pileg dan Pilpres 2019” di Jakarta, kemarin.
Djoko menjelaskan, ancaman siber dan potensi serangannya selalu ada dan berkembang dengan pesat, baik dari sisi teknik, prosedur yang digunakan, maupun penyebarannya. “Targetnya tidak hanya terjadi pada institusi publik saja, namun juga menyerang institusi pemerintah. Kami berharap BSSN bisa membantu organisasi pemangku kepentingan dalam mengetahui dan memahami pergeseran perilaku serangan dan ancaman siber serta memberikan informasi yang dibutuhkan agar organisasi semakin siap dalam mewujudkan ketahanan dan keamanan siber,” katanya.
Saat ini sangat dibutuhkan kolaborasi dan sinergi berbagai pemangku kepentingan keamanan siber nasional untuk membangun kepercayaan, kapabilitas, dan mekanisme koordinasi yang cepat dalam mendeteksi ancaman serangan siber. Djoko pun berharap melalui seminar ini ancaman dan serangan siber menjelang Pemilu 2019 bisa ditangani dengan baik dan tidak meluas.
“Melalui kegiatan ini menjadi upaya mengantisipasi tren ancaman siber dan memberikan peringatan pada instansi terkait. Dengan begitu, diharapkan pada sektor pemerintah, sektor infrastruktur informasi nasional, dan sektor ekonomi digital, siap menghadapi ancaman siber tersebut,” ujarnya.
Direktur Deteksi Ancaman BSSN Sulistyo memprediksi ada tiga pola serangan siber yang berpotensi mengganggu jalannya pesta demokrasi. “Berkaitan dengan proses Pemilu 2019, ada tiga hal akan terjadi menurut prediksi BSSN, yaitu hack, leak, dan amplify. Hack, yakni melakukan proses peretasan terhadap infrastruktur penghitungan suara, terutama milik penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu,” ungkapnya.
Kemudian leak, yakni adanya upaya suatu pihak membocorkan informasi. Leak informasi, kata Sulistyo, bisa dari penyelenggara pemilu ataupun pesaing peserta pemilu. Ini berkaitan dengan upaya pencurian informasi pribadi pesaing, kemudian diviralkan menjadi black campaign. Sedangkan amplify adalah memviralkan sejumlah data pribadi salah satu peserta pemilu. Kasus ini sering terjadi di Indonesia.
“Amplify berhubungan dengan informasi pribadi milik pesaing atau kompetitor, lalu diviralkan dan menjadi kampanye hitam atau black campaign. Contoh kasusnya pada Pilgub Jawa Timur lalu ketika itu bupati Banyuwangi (Azwar Anas) akan mencalonkan diri namun kemudian ada masalah berkaitan dengan data pribadi,” ungkapnya. (Binti Mufarida)
(nfl)