Pemilu dan Lonjakan Serangan Siber
A
A
A
EMPAT bulan menjelang pelaksanaan Pemilu 2019, serangan siber meningkat secara drastis. Data terbaru yang dirilis Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) cukup mencengangkan. Peningkatan serangan di dunia maya ini melonjak sangat tinggi. Jika pada enam bulan pertama 2018 terjadi 143,6 juta serangan, memasuki periode Oktober 2018 naik tajam menjadi 207,9 juta serangan.
Kontan saja data serangan siber ini menimbulkan kekhawatiran pemerintah. Ini tak lepas dari agenda politik nasional yang sedang dihadapi bersama, yakni Pemilu 2019. Serangan siber ini memang tidak boleh dianggap remeh karena bisa menimbulkan krisis di segala bidang. Kondisi yang tentu tidak dikehendaki bersama karena semua berharap pemilu bisa berjalan demokratis, aman, lancar. Dalam konteks pemilu, ancaman serangan siber antara lain dengan mengacaukan data hasil rekapitulasi perolehan suara yang ada pada server Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Djoko Setiadi mengungkap fakta serangan siber ini dalam Seminar Diseminasi Deteksi Ancaman Siber 2018 bertajuk “Bersama Mengantisipasi Ancaman dan Serangan Siber terhadap Penyelenggaraan Demokrasi Pileg dan Pilpres 2019” kemarin di Jakarta. Dia berharap semua elemen membangun sinergi dan koordinasi dalam mengantisipasi hal ini.
Dari ratusan juta serangan siber yang dilakukan hacker tersebut, trojan masih mendominasi. Selain itu, ada sekitar 36 juta aktivitas malware dan paling banyak menyerang domain ac.id, co.id, dan go.id. Selain itu terdapat 2.363 pengaduan publik dengan persentase 61% berupa fraud.
Pemilu kali ini memang berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Ini tak lepas dari penggunaan internet oleh masyarakat saat ini yang semakin massif. Internet kita sudah ada dalam genggaman setiap orang, tidak hanya di perkotaan tapi juga di perdesaan, melalui perangkat gawai. Hal ini ikut memicu peningkatan aktivitas serangan oleh para “dedemit” dunia maya.
Paling tidak ada tiga pola serangan siber yang wajib diwaspadai berkaitan dengan pemilu. Ketiga hal ini diperkirakan BSSN akan meningkat seiring kian mendekatnya hari pencoblosan, yakni 17 April 2019. Ancaman pertama adalah hack. Kejahatan ini berupa peretasan terhadap infrastruktur penghitungan suara, terutama milik KPU dan juga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Serangan terhadap server KPU sudah terbukti sebelumnya. Pada Pilkada Serentak 2018 Juni lalu, beberapa kali server KPU down sehingga data hitung cepat hasil perolehan suara pasangan calon kepala daerah tidak bisa diakses. Alasan KPU, server saat itu sengaja dimatikan demi menghindari serangan hacker yang datang setiap menit.
Pola kedua adalah leak. Ini berupa aktivitas pembocoran informasi oleh pihak tertentu. Direktur Deteksi Ancaman BSSN, Sulistyo, menyebut leak bisa dilakukan penyelenggara pemilu ataupun pesaing sesama peserta pemilu. Ini berkaitan dengan upaya pencurian informasi pribadi milik pesaing. Dari leak data tersebut kemudian diolah dan diviralkan menjadi black campaign.
Ketiga adalah amplify. Pelaku memviralkan sejumlah data pribadi dan bersifat rahasia dari peserta pemilu, baik itu kandidat calon presiden dan wakil presiden maupun calon anggota legislatif serta calon anggota DPD. Informasi pribadi ini kemudian disebar dengan tujuan membunuh karakter sang calon. Tentu ancaman serangan siber ini tidak hanya berkaitan dengan pemilu saja. Banyak sektor lain, misalnya pemerintahan, sektor infrastruktur informasi nasional, dan sektor ekonomi digital juga perlu meningkatkan kewaspadaan.
Mengutip Kepala BSSN, Djoko Setiadi saat ini, sangat dibutuhkan kolaborasi dan sinergi berbagai pemangku kepentingan keamanan siber nasional untuk membangun kepercayaan, dan meningkatkan kapabilitas. Juga diperlukan mekanisme koordinasi yang cepat dalam mendeteksi ancaman serangan siber yang kian masif. Hanya dengan itu serangan siber menjelang Pemilu 2019 dapat ditangani dengan baik dan tidak meluas.
Kontan saja data serangan siber ini menimbulkan kekhawatiran pemerintah. Ini tak lepas dari agenda politik nasional yang sedang dihadapi bersama, yakni Pemilu 2019. Serangan siber ini memang tidak boleh dianggap remeh karena bisa menimbulkan krisis di segala bidang. Kondisi yang tentu tidak dikehendaki bersama karena semua berharap pemilu bisa berjalan demokratis, aman, lancar. Dalam konteks pemilu, ancaman serangan siber antara lain dengan mengacaukan data hasil rekapitulasi perolehan suara yang ada pada server Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Djoko Setiadi mengungkap fakta serangan siber ini dalam Seminar Diseminasi Deteksi Ancaman Siber 2018 bertajuk “Bersama Mengantisipasi Ancaman dan Serangan Siber terhadap Penyelenggaraan Demokrasi Pileg dan Pilpres 2019” kemarin di Jakarta. Dia berharap semua elemen membangun sinergi dan koordinasi dalam mengantisipasi hal ini.
Dari ratusan juta serangan siber yang dilakukan hacker tersebut, trojan masih mendominasi. Selain itu, ada sekitar 36 juta aktivitas malware dan paling banyak menyerang domain ac.id, co.id, dan go.id. Selain itu terdapat 2.363 pengaduan publik dengan persentase 61% berupa fraud.
Pemilu kali ini memang berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Ini tak lepas dari penggunaan internet oleh masyarakat saat ini yang semakin massif. Internet kita sudah ada dalam genggaman setiap orang, tidak hanya di perkotaan tapi juga di perdesaan, melalui perangkat gawai. Hal ini ikut memicu peningkatan aktivitas serangan oleh para “dedemit” dunia maya.
Paling tidak ada tiga pola serangan siber yang wajib diwaspadai berkaitan dengan pemilu. Ketiga hal ini diperkirakan BSSN akan meningkat seiring kian mendekatnya hari pencoblosan, yakni 17 April 2019. Ancaman pertama adalah hack. Kejahatan ini berupa peretasan terhadap infrastruktur penghitungan suara, terutama milik KPU dan juga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Serangan terhadap server KPU sudah terbukti sebelumnya. Pada Pilkada Serentak 2018 Juni lalu, beberapa kali server KPU down sehingga data hitung cepat hasil perolehan suara pasangan calon kepala daerah tidak bisa diakses. Alasan KPU, server saat itu sengaja dimatikan demi menghindari serangan hacker yang datang setiap menit.
Pola kedua adalah leak. Ini berupa aktivitas pembocoran informasi oleh pihak tertentu. Direktur Deteksi Ancaman BSSN, Sulistyo, menyebut leak bisa dilakukan penyelenggara pemilu ataupun pesaing sesama peserta pemilu. Ini berkaitan dengan upaya pencurian informasi pribadi milik pesaing. Dari leak data tersebut kemudian diolah dan diviralkan menjadi black campaign.
Ketiga adalah amplify. Pelaku memviralkan sejumlah data pribadi dan bersifat rahasia dari peserta pemilu, baik itu kandidat calon presiden dan wakil presiden maupun calon anggota legislatif serta calon anggota DPD. Informasi pribadi ini kemudian disebar dengan tujuan membunuh karakter sang calon. Tentu ancaman serangan siber ini tidak hanya berkaitan dengan pemilu saja. Banyak sektor lain, misalnya pemerintahan, sektor infrastruktur informasi nasional, dan sektor ekonomi digital juga perlu meningkatkan kewaspadaan.
Mengutip Kepala BSSN, Djoko Setiadi saat ini, sangat dibutuhkan kolaborasi dan sinergi berbagai pemangku kepentingan keamanan siber nasional untuk membangun kepercayaan, dan meningkatkan kapabilitas. Juga diperlukan mekanisme koordinasi yang cepat dalam mendeteksi ancaman serangan siber yang kian masif. Hanya dengan itu serangan siber menjelang Pemilu 2019 dapat ditangani dengan baik dan tidak meluas.
(whb)