Mentalitas Pejabat dan Efisiensi Anggaran
A
A
A
MENTERI Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyoroti penggunaan anggaran oleh pemerintah daerah yang tidak efektif. Sebagai pemangku pengelolaan keuangan negara, tentu Kementerian Keuangan ingin anggaran yang sudah dialokasikan bisa dikelola dengan efektif untuk pertumbuhan daerah. Salah satu yang membuat Menkeu geram adalah kebiasaan pejabat daerah yang banyak menggunakan anggaran untuk perjalanan dinas. Kemenkeu meyakini perjalanan dinas dari pejabat daerah selama ini, terutama ke Jakarta, tidak berjalan dengan efektif dan efisien. Menkeu mencontohkan kunjungan pejabat daerah ke kantornya.
Setelah ditelusuri, banyak kunjungan tersebut tak memiliki agenda jelas. Pihaknya mencatat selama ini menerima 46 kunjungan dari daerah dengan dalih mengurus isu atau yang lain. Ke depan, Kemenkeu akan membuat solusi agar hal ini tak terulang sehingga anggaran lebih hemat dengan pengembangan laman dan penggunaan telekonferensi.
Menkeu menilai ini diakibatkan karena rendahnya mental pejabat daerah. Mereka menganggap jika tidak ada kunjungan ke daerah maka tidak akan ada uang SPJ. Padahal dengan banyaknya kunjungan luar daerah, justru membuat anggaran tidak berjalan efektif. Belum lagi masih banyak daerah yang menggunakan pola anggaran tidak berimbang antara belanja tetap (gaji pegawai) dan belanja pembangunan ataupun program. Kondisi ini yang membuat anggaran belanja di daerah semakin tidak efektif untuk pembangunan. Alhasil, daerah-daerah tersebut sulit berkembang secara ekonomi.
Bak gayung bersambut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Daftar Alokasi Transfer ke Daerah serta Dana Desa Tahun 2019 di Istana Negara, kemarin juga menyinggung hal yang sama. Presiden meminta kementerian, lembaga, dan kepala daerah bisa menggunakan anggaran 2019 untuk program-program utama, bukan dihabiskan untuk kegiatan pendukung. Presiden mencontohkan, rapat perjalanan dinas dan honor tim adalah kegiatan pendukung yang selama ini justru memakan banyak anggaran. Presiden berharap anggaran 2019 ini nantinya bisa untuk pembangunan SDM, peningkatan daya saing, serta penguatan ekspor dan investasi.
Agar efisien, perlu ada konsolidasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pembangunan nasional. Jika pada tahun-tahun sebelumnya lebih fokus pada infrastruktur, ke depan pemerintah akan lebih memfokuskan pada pembangunan SDM. Anggaran belanja negara pada 2019 mencapai Rp2.461,1 triliun. Perincian dari anggaran tersebut adalah belanja pemerintah pusat yang dialokasikan melalui kementerian/lembaga sebesar Rp855,4 triliun, nonkementerian/lembaga sebesar Rp778,9 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp826,8 triliun.
Dua peringatan di atas semestinya bisa menjadi bahan koreksi pemerintah daerah. Para kepala daerah perlu melakukan kaji ulang tentang kegiatan pemerintah daerah agar pengelolaan anggaran bisa berjalan lebih efektif dan efisien. Para kepala daerah perlu merenungkan lagi tentang pengelolaan anggaran yang efektif. Beberapa kepala daerah bahkan telah melakukan inovasi anggaran untuk bisa membangun daerahnya. Mentalitas kepala daerah dan pejabat di lingkungannya perlu dibenahi. Sikap-sikap yang kontraproduktif terhadap efisiensi anggaran perlu dicermati agar anggaran di daerah bisa digunakan secara maksimal untuk pembangunan.
Perjalanan dinas kepala daerah tidak perlu menggunakan rombongan yang besar seperti yang sering kita lihat. Jika memang kepentingan hanya kepala daerah, tentu hanya dikawal 1-3 orang. Begitu juga dengan pejabat daerah yang lain. Jika sebuah urusan bisa dilakukan hanya menggunakan pelaporan melalui laman atau telekonferensi, tentu akan lebih menghemat anggaran. Mengubah mentalitas ini seperti mengubah kultur kerja di pemerintah daerah.
Kunci perubahan ini ada pada pemimpinnya atau kepala daerahnya. Jika pemimpinnya bisa memerintahkan jajarannya untuk melakukan efektivitas anggaran, pola-pola lama yang dikritik Presiden dan Menkeu di atas tidak akan terulang lagi. Sekali lagi, perubahan mental para pejabat daerah akan sangat bergantung kepada kepala daerahnya. Hal ini adalah sesuatu yang urgen dibenahi di pemerintahan daerah. Dan, kepala daerah menjadi penentu perubahan ini.
Setelah ditelusuri, banyak kunjungan tersebut tak memiliki agenda jelas. Pihaknya mencatat selama ini menerima 46 kunjungan dari daerah dengan dalih mengurus isu atau yang lain. Ke depan, Kemenkeu akan membuat solusi agar hal ini tak terulang sehingga anggaran lebih hemat dengan pengembangan laman dan penggunaan telekonferensi.
Menkeu menilai ini diakibatkan karena rendahnya mental pejabat daerah. Mereka menganggap jika tidak ada kunjungan ke daerah maka tidak akan ada uang SPJ. Padahal dengan banyaknya kunjungan luar daerah, justru membuat anggaran tidak berjalan efektif. Belum lagi masih banyak daerah yang menggunakan pola anggaran tidak berimbang antara belanja tetap (gaji pegawai) dan belanja pembangunan ataupun program. Kondisi ini yang membuat anggaran belanja di daerah semakin tidak efektif untuk pembangunan. Alhasil, daerah-daerah tersebut sulit berkembang secara ekonomi.
Bak gayung bersambut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Daftar Alokasi Transfer ke Daerah serta Dana Desa Tahun 2019 di Istana Negara, kemarin juga menyinggung hal yang sama. Presiden meminta kementerian, lembaga, dan kepala daerah bisa menggunakan anggaran 2019 untuk program-program utama, bukan dihabiskan untuk kegiatan pendukung. Presiden mencontohkan, rapat perjalanan dinas dan honor tim adalah kegiatan pendukung yang selama ini justru memakan banyak anggaran. Presiden berharap anggaran 2019 ini nantinya bisa untuk pembangunan SDM, peningkatan daya saing, serta penguatan ekspor dan investasi.
Agar efisien, perlu ada konsolidasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pembangunan nasional. Jika pada tahun-tahun sebelumnya lebih fokus pada infrastruktur, ke depan pemerintah akan lebih memfokuskan pada pembangunan SDM. Anggaran belanja negara pada 2019 mencapai Rp2.461,1 triliun. Perincian dari anggaran tersebut adalah belanja pemerintah pusat yang dialokasikan melalui kementerian/lembaga sebesar Rp855,4 triliun, nonkementerian/lembaga sebesar Rp778,9 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp826,8 triliun.
Dua peringatan di atas semestinya bisa menjadi bahan koreksi pemerintah daerah. Para kepala daerah perlu melakukan kaji ulang tentang kegiatan pemerintah daerah agar pengelolaan anggaran bisa berjalan lebih efektif dan efisien. Para kepala daerah perlu merenungkan lagi tentang pengelolaan anggaran yang efektif. Beberapa kepala daerah bahkan telah melakukan inovasi anggaran untuk bisa membangun daerahnya. Mentalitas kepala daerah dan pejabat di lingkungannya perlu dibenahi. Sikap-sikap yang kontraproduktif terhadap efisiensi anggaran perlu dicermati agar anggaran di daerah bisa digunakan secara maksimal untuk pembangunan.
Perjalanan dinas kepala daerah tidak perlu menggunakan rombongan yang besar seperti yang sering kita lihat. Jika memang kepentingan hanya kepala daerah, tentu hanya dikawal 1-3 orang. Begitu juga dengan pejabat daerah yang lain. Jika sebuah urusan bisa dilakukan hanya menggunakan pelaporan melalui laman atau telekonferensi, tentu akan lebih menghemat anggaran. Mengubah mentalitas ini seperti mengubah kultur kerja di pemerintah daerah.
Kunci perubahan ini ada pada pemimpinnya atau kepala daerahnya. Jika pemimpinnya bisa memerintahkan jajarannya untuk melakukan efektivitas anggaran, pola-pola lama yang dikritik Presiden dan Menkeu di atas tidak akan terulang lagi. Sekali lagi, perubahan mental para pejabat daerah akan sangat bergantung kepada kepala daerahnya. Hal ini adalah sesuatu yang urgen dibenahi di pemerintahan daerah. Dan, kepala daerah menjadi penentu perubahan ini.
(wib)