Orde Baru, Catatan Terburuk

Selasa, 11 Desember 2018 - 08:01 WIB
Orde Baru, Catatan Terburuk
Orde Baru, Catatan Terburuk
A A A
HendardiKetua Badan Pengurus Setara Institute

BELAKANGAN sebagian orang memunculkan kerinduan pada Orde Baru, setidaknya mereka yang diuntungkan di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto, termasuk sejumlah mantan pejabat militer dan sipil. Namun, sebagian orang pernah hidup di bawah deraan Orde Baru bakal muak mengenang periode terburuk sepanjang sejarah Indonesia itu. Karena memang belum ada yang bisa menandingi kelamnya sejarah Orde Baru.

Catatan TerburukApa saja catatan buruk yang berlangsung selama pembentukan, konsolidasi, dan pertahanan Orde Baru? Mari kita papar catatan terburuknya. Hal ini penting untuk kita sebagai bangsa belajar dalam melangkah ke depan dan tidak mengulanginya kembali.Pertama, proses peralihan kekuasaan pemerintahan terjadi bertahap atau merangkak dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto dalam rentang Oktober 1965 hingga Maret 1967. Peristiwa "Gerakan 30 September 1965" (G30S) di Jakarta adalah pemicunya: pembunuhan Letjen Ahmad Yani dan kawan-kawan, seorang letnan, serta seorang anak. Dari peristiwa ini Mayjen Soeharto sukses menyingkirkan Mayjen Pranoto Reksosamudro sebagai pengganti Ahmad Yani untuk menduduki Panglima Angkatan Darat (AD) yang ditunjuk Presiden Soekarno.Sejak Oktober 1965, Soeharto merangkap tiga jabatan sekaligus di militer, yaitu Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Panglima AD, serta Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Dia juga menyelundup masuk ke Kabinet Dwikora II yang hanya berlangsung sebulan lebih, yaitu selama 24 Februari-28 Maret 1966 untuk membersihkan pendukung Soekarno.Dengan kekuasaannya seperti itu, Soeharto merangkak naik menjadi Wakil Perdana Menteri Pertahanan dan Keamanan dalam Kabinet Dwikora II (27 Maret-25 Juli 1966) dan memasukkan sejumlah jenderal pendukungnya. Dengan kekuasaan de facto itu, kekuatan kelompoknya juga sukses merombak dan merebut Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Gotong Royong. Melalui tangan MPRS, kekuasaan Presiden Soekarno dicabut dan diserahkan kepada Jenderal Soeharto secara de jure pada 12 Maret 1967.Kedua, peralihan kekuasaan bertahap dari Presiden Soekarno kepada Soeharto diiringi dengan pembantaian massal terhadap warga sipil yang diidentifikasi sebagai pimpinan dan pendukung revolusi yang dicanangkan Soekarno. Dengan modal kekuatan Kopkamtib, Kostrad, dan TNI-AD, yang didukung berbagai kelompok di masyarakat, mereka melancarkan aksi perburuan, penganiayaan, penyiksaan, dan pembunuhan secara massal, dimulai dari Jakarta hingga menyebar ke berbagai daerah, seperti Jawa, Bali, dan Sumatera Utara selama 1965-1966.G30S digunakan sebagai dalih perburuan dan pembunuhan massal (Roosa, 2008). Angka moderat mengenai jumlah korban diperkirakan sekitar 500.000 orang terbunuh serta 1,6 juta orang sebagai tahanan politik (Ricklefs,1991: 288; Vickers, 2005: 159; dan Cribb, 2002: 550-563). Pembunuhan dan penahanan massal ini tidak pernah dicatat dalam buku sejarah Indonesia, malah menimpakan kesalahan pada jutaan korban tersebut.Peristiwa 1965-1966 itu berlangsung sistematis dan meluas melalui aksi-aksi pembunuhan, penghilangan orang secara paksa, pemusnahan, penahanan dan perampasan kemerdekaan, perbudakan, penganiayaan, penyiksaan, perkosaan, serta pengusiran penduduk dengan paksa (Komnas HAM: 2012). Peristiwa ini tidak sekadar pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat, bahkan dapat dikualifikasi sebagai kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Cribb, ‎2001: 219-239).Kejahatan mereka yang terkonsolidasi dan bertahan sebagai Orde Baru juga berlangsung di Timor Timor (sekarang Republik Demokrasi Timor Leste), Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, serta berbagai peristiwa lainnya. Rezim politiknya bisa disebut otoriter dan karena ditopang oleh kekuatan militer, kadang dilabeli dengan rezim militer. Soeharto pun digolongkan sebagai penguasa diktator yang paling ditakuti.Ketiga, masalah terburuk juga diwariskan hingga kini adalah korupsi. Pola korupsi dalam pemupukan kekayaan yang terbentuk adalah hasil persilangan antara kekuasaan politik, birokrasi, dan bisnis dalam suatu jaringan patronase. Soeharto dan pejabat militernya berperan sebagai patron politik didukung lapisan birokrasi sebagai pengabdi serta pengusaha domestik kroni-kroninya yang menjalankan bisnis monopoli atau oligopoli dengan "modal" adalah sumber daya negara.Sumber daya negara yang diisap dan digerogoti adalah APBN, BUMN (Pertamina, Bulog, Telkom, PLN, bank pemerintah, dan Bank Indonesia), proyek pemerintah, konsesi pengusahaan hutan dan tambang serta perkebunan, lisensi impor pasokan pangan dan komoditas lainnya, kredit dan subsidi, serta dilengkapi dengan kebijakan proteksi atau perlindungan untuk beroperasinya pasar monopoli atau oligopoli.Bentuk korupsi patron politik lainnya adalah kepemilikan saham di perusahaan asing raksasa, seperti PT Freeport Indonesia, pembentukan aliansi bisnis keluarga dengan sejumlah pengusaha besar domestik, serta pungutan iuran lapisan pegawai negara untuk menimbun kekayaan untuk yayasan-yayasannya.Dengan pola korupsi seperti itu banyak muncul keluarga superkaya yang berkuasa dan memerintah disebut oligarki. Mereka memiliki "kerajaan-kerajaan bisnis" yang bercokol dengan menguasai berbagai komoditas untuk mengeruk untung sebanyak mungkin dalam tempo sesingkat mungkin. Para patron politik pun membiarkan korupsi tumbuh subur dalam lapisan birokrasi sebagai imbalan atas pengabdiannya.Sejak dasawarsa 1970-an sudah muncul dugaan korupsi seperti keterlibatan pejabat dalam kasus penyelundupan mobil mewah dan skandal utang Pertamina yang mencapai USD10,5 miliar. Mantan menteri dalam kabinet Soeharto, Sumitro Djojohadikusumo mengungkapkan, lebih 30% anggaran pembangunan mengalami kebocoran atau dikorupsi. Ujungnya, pada 1998, Orde Baru masih mewarisi timbunan kredit macet puluhan triliun rupiah dan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rp144,5 triliun.Dengan tiga catatan itu, maka bisa ditarik pelajaran bahwa Orde Baru dipenuhi kejahatan bersifat politis. Terlalu banyak orang yang tidak bersalah menjadi korbannya. Kumpulan orang yang diprovokasi ikut terlibat dalam serangkaian penganiayaan dan pembunuhan. Penguasa juga dapat mengirimkan kekuatan militer untuk menyerbu Timor Timur, memberlakukan DOM, serta beberapa pembantaian lainnya.Kejahatan yang hingga kini masih diingat adalah korupsi dalam menimbun kekayaan bersumber dari negara. Karena itu, keluarga Soeharto tercatat sebagai keluarga superkaya di Indonesia. Majalah Time (1999) mengindikasikan keluarganya memiliki kekayaan berbagai bentuk bernilai lebih USD73 miliar atau lebih Rp1.044 triliun. Salah satu kekayaannya digugat ganti rugi Kejaksaan Agung adalah Yayasan Supersemar sebesar Rp4,389 triliun. Ia pun dinobatkan sebagai penguasa terkorup abad ke-20.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0778 seconds (0.1#10.140)