Utang BUMN Menumpuk Jangan Kebablasan
A
A
A
BICARA soal utang memang selalu mengundang sensitivitas. Ketika utang badan usaha milik negara (BUMN) dipublikasikan dengan nilai menggunung yang mencapai Rp5.271 triliun hingga kuartal ketiga 2018, hal itu mendapat berbagai respons yang penuh kekhawatiran.Para wakil rakyat yang bermarkas di Senayan pun langsung mengundang rapat dengar pendapat para Kementerian BUMN beserta sejumlah direksi BUMN untuk mendapatkan kejelasan atas menumpuknya utang perusahaan pelat merah itu.Pemerintah sendiri tidak tinggal diam, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam menyikapi utang BUMN yang mengundang kontroversi memastikan ikut memonitor. Sebagai agen pembangunan, kinerja BUMN tidak boleh lepas dari pantauan. Apalagi, sejumlah perusahaan pelat merah dapat suntikan dana pemerintah melalui penyertaan modal negara (PMN) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).Total angka utang BUMN yang mencengangkan itu dibeberkan sendiri oleh Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aloysius Kiik Ro pekan lalu. Data resmi yang telah beredar di publik menunjukkan jumlah utang seluruh BUMN sebesar Rp5.271 triliun hingga kuartal ketiga 2018. Dan, total aset tercatat sebesar Rp7.718 triliun dengan laba bersih sebesar Rp79 triliun hingga triwulan ketiga 2018.Adapun rincian utang terdiri atas utang BUMN sektor keuangan senilai Rp3.311 triliun di mana sekitar 74% berupa simpanan dana pihak ketiga (DPK), sedangkan utang BUMN sektor nonkeuangan mencapai Rp 1.960 triliun, meliputi utang BUMN sektor listrik sekitar 26% dan utang BUMN sektor minyak dan gas (migas) sekitar 27%. Meski utang BUMN jumlahnya sangat besar, pihak Kementerian BUMN meminta masyarakat tak perlu khawatir sebab kesanggupan perusahaan negara melunasi utang masih dalam kondisi aman.Melihat total angka utang BUMN yang menggunung, itu memang wajar bila menimbulkan pertanyaan mengapa bisa sebesar itu dan utang dialokasikan untuk apa saja. Dalam penjelasan rinci Kementerian BUMN disebutkan bahwa jumlah utang dari 143 BUMN hanya mencapai Rp2.488 triliun. Namun bila digabung dengan DPK dan dana premi di BUMN perbankan, memang jumlahnya membengkak menjadi Rp5.271 triliun yang disumbangkan 10 BUMN sebesar Rp4.478 triliun atau 84,9%, sedangkan utang dari BUMN lain tercatat Rp793 triliun.Adapun 10 BUMN pencetak utang terbesar terdiri atas BRI Rp1.008 triliun, disusul Bank Mandiri Rp997 triliun, lalu BNI Rp660 triliun diikuti PLN Rp543 triliun, Pertamina Rp522 triliun, BTN Rp249 triliun, Taspen Rp222 triliun, Waskita Karya Rp102 triliun, dan Telkom Rp99 triliun, serta Pupuk Indonesia Rp76 triliun. Sayangnya, data jumlah utang BUMN yang jatuh tempo untuk tahun depan belum dipublikasikan Kementerian BUMN.Namun, utang 10 BUMN secara riil berdasarkan penjelasan Aloysius dalam rapat dengar pendapat antara para direksi BUMN dan Komisi VI DPR RI, hanya mencapai Rp1.731 triliun.Utang terbesar disumbangkan PLN sebesar Rp543 triliun, diikuti utang Pertamina Rp522 triliun, disusul utang Bank Mandiri Rp166 triliun, dan BRI Rp135 triliun, utang BNI Rp111 triliun, utang Waskita Karya Rp102 triliun, utang BTN Rp54 triliun, utang Pupuk Indonesia Rp49 triliun, utang Telkom Rp47 triliun, dan utang Taspen Rp2 triliun.Saat ini pihak Kementerian BUMN meminta perusahaan milik negara agar tak fokus menumpuk utang, tetapi berinovasi mencari pendanaan. Jadi, jangan mengandalkan pendanaan konvensional.Meski pemerintah menjamin bahwa utang BUMN masih dalam batas aman, Komisi VI DPR RI tak bisa menerima begitu saja. Karena itu, dalam rapat dengar pendapat antara Kementerian BUMN bersama sejumlah direksi BUMN dengan Komisi VI DPR RI berakhir tanpa ada keputusan final.Dan, kembali mengagendakan rapat berikutnya yang masih fokus pada utang BUMN sebelum akhir tahun ini. Wajar kalau DPR begitu perhatian terhadap utang BUMN, apalagi dalam bentuk mata uang asing sebab bisa membahayakan perekonomian nasional. Memang, pemerintah wajib diingatkan jangan sampai BUMN menumpuk utang terus hingga kebablasan.
(maf)