Politik Akomodasi
A
A
A
Darwin
Staf Peneliti di Indonesian Society for Democrazy and
Peace (ISDP) Pekanbaru, Riau
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden RI dua periode (2004-2014) masuk ke memori kita lewat konsep politik akomodasi plus
citra dirinya. Koalisi gemuk dengan akomodasi besar-besaran terhadap partai kawan maupun lawan ditunaikan SBY sepanjang 10 tahun pemerintahannya. Ihwal demikian, bisa kita saksikan di masa pemerintahan SBY, atau buka kembali file digital dan surat kabar yang terbit di era politisi Partai Demokrat itu!
SBY juga sering ragu-ragu dalam memutuskan kebijakan populis sebab takut citra dirinya luntur di mata rakyat. Citra yang berguna saat pemilu bertandang. Padahal, kita semua tahu, akibat dari politik model ini adalah pertaruhan nasib rakyat seantero negeri. Nasib rakyat yang terlunta-lunta karena kebijakan nan salah kaprah.
Mirip-mirip dengan SBY, Joko Widodo (Jokowi), suksesor berikutnya, sebagai presiden RI ke-7 (periode 2014-2019) juga melakukan hal serupa: politik akomodasi, tetapi dengan ciri khas Jokowi sendiri. Politik merangkul lawan atau orang-orang yang berseberangan dengannya dilakukan, setidaknya selama empat tahun masa pemerintahan Jokowi hingga saat ini.
Jika SBY menjalankan politik akomodasinya dengan merangkul partai dan para elitenya sehingga hampir tak ada lagi partai oposisi, Jokowi mempunyai langgam tersendiri. Yang dilakukan oleh pemimpin asal Solo ini adalah mengakomodasi kepentingan beberapa pihak di dalam
masyarakat.
Masyarakat di sini tentu saja tergabung dalam organisasi massa atau ideologi-ideologi tertentu, berdasar profesi, letak geografis, dan lainnya. Tentunya begitu beragam permintaan (request ) atau harapan mereka terhadap kebijakan negara. Kebijakan yang diharapkan mengabulkan aspirasi mereka.
Politik akomodasi pertama (tidak berdasar urutan waktu terjadi) dilakukan oleh Jokowi dengan mendengarkan keluhan dari kelompok kepentingan (interest group ) yang tergabung dalam kaum atau komunitas santri. Jalannya adalah dengan menetapkan
Hari Santri, 22 Oktober, lewat Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015.
Kita tahu, santri merupakan salah satu kelompok kepentingan di negara kita. Mereka dianggap mempunyai peran menancapkan panji keindonesiaan, apalagi setelah Resolusi Jihad dikumandangkan KH Hasyim Asyari pada Oktober 1945.
Masih terkait santri, atau dalam perbincangan para intelektual terkait relasinya dengan negara kelompok ini adalah bagian dari Islam
politik tepat pada November 2017 setahun lalu, Jokowi kembali membuat kaum “sarungan” tersenyum.
Sang Presiden menetapkan Lafran Pane dari organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebagai salah satu pahlawan nasional. Ia dianggap sebagai tokoh bangsa yang berjuang semata demi terpacaknya NKRI. Selain itu, dari rahim HMI tumbuh para pemimpin-pemimpin bangsa.
Alumni HMI ikut berkontribusi terhadap jalannya mesin keindonesiaan, bahkan hingga zaman digital saat ini pun. Di kalangan santri, kita tentu ingat seorang Nurcholis Madjid yang pernah menjadi ketua umum PB HMI selama dua periode di akhir tahun ‘60-an.
Pemikiran-pemikiran cendekiawan muslim ini tentu tak bisa dipisahkan dari wadah tempatnya berproses, yakni HMI. Dari HMI juga lahir nama-nama besar seperti Deliar Noer, Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Jusuf Kalla, Mahfud MD, hingga generasi Anies Baswedan.
Politik merangkul kelompok Islam ala Jokowi ini sempat terusik oleh Gerakan 212 pada 2016. Berbagai elemen ormas Islam mengadakan demonstrasi menuntut Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk dihukum. Ahok dianggap menista agama.
Agak sulit membedakan apakah kelompok 212 ini murni bergerak karena faktor Ahok atau ada embel-embel lain, seperti antipemerintahan Jokowi, atau agenda terselubung terkait Pilkada Jakarta, misalnya.
Yang jelas, dari aksi demonstrasi ini terselip agenda (keinginan) yang didesakkan pada negara. Kelompok 212 mendesakkan kepentingan mereka dengan jalan demonstrasi anti-Ahok. Salah satu eksponen dari gerakan ini adalah organisasi Islam kanan, Front Pembela Islam (FPI). Kelompok yang getol menyuarakan tentang sistem dan kepemimpinan Islam, dalam arti mereka anti dengan pemimpin dari agama lain. Kebetulan Jakarta ketika itu dipimpin Ahok yang nonmuslim.
Jokowi, sebagai presiden, dan para koleganya di pemerintahan ikut mendukung mobilisasi ala Gerakan 212 ini. Padahal, kita tahu seperti apa dekatnya Jokowi dan Ahok. “Pasangan sejoli” dalam Pilkada Jakarta 2012. Hanya demi sebuah citra agar terlihat tak memusuhi kelompok Islam, Jokowi memutuskan mendukung mobilisasi besar-besaran sebelum Pilkada Jakarta 2017 itu.
Selama pemerintahannya, oleh para lawan politiknya, pemerintahan Jokowi dianggap menafikan kelompok Islam. Bukti nyatanya, menurut mereka, adalah kriminalisasi para ulama yang dilakukan rezim Jokowi. Salah satu yang populer adalah kriminalisasi terhadap Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab.
Nah, untuk mengcounter bahwa Jokowi tidak seburuk anggapan para lawan politiknya, menjelang Pemilu 2019, ia dan tim langsung membuat sebuah kejutan. KH Ma’ruf Amin, seorang ulama yang sebelumnya memfatwa Ahok, ulama yang menjadi panutan kelompok 212, dirangkul oleh Jokowi dan menjadikannya sebagai calon wakil presidennya. Sebuah strategi “jitu” untuk memulihkan citra dirinya yang telanjur distigmatisasi sebagai rezim anti-Islam (ulama).
Masih bertalian dengan hal di atas, pemerintahan Jokowi juga memasukkan banyak aktivis serta akademisi ke dalam lingkaran kekuasaannya. Di kalangan aktivis, salah satunya adalah Teten Masduki yang diangkat oleh Jokowi menjadi staf kepresidenan. Di kalangan akademisi, ada Rektor Universitas Gadjah Mada Pratikno, yang ditunjuk menjadi menteri sekretaris negara, ada pula Anies Baswedan yang diangkat menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan, dan banyak lagi aktivis plus akademisi lainnya.
Belasan Jenderal
Kelompok kepentingan berikutnya yang “diamini” aspirasi mereka oleh Jokowi adalah kalangan militer. Setidaknya, ada belasan jenderal yang diberi tempat oleh Jokowi di Istana. Di antara mereka adalah nama-nama beken seperti Luhut Binsar Panjaitan, Ryamizard Ryacudu, Wiranto, Subagio Hadi Siswoyo, Agum Gumelar, Budi Gunawan, dan Moeldoko.
Inilah kesempatan bagi kalangan militer untuk memuluskan agenda kepentingan mereka di pemerintahan. Alat yang mereka gunakan adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) dan UU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Dua UU ini membuat ideal demokrasi kita agak sedikit terusik.
Tidak sedikit masyarakat kita yang ditangkap dan dipenjarakan oleh rezim hanya karena salah omong. Masyarakat sipil ketakutan
mengeluarkan pendapat setelah UU ITE ini berlaku. Puncak pengekangan berbicara atau berpendapat terjadi pada 2017 saat organisasi massa Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan oleh pemerintah.
Kebetulan yang berwenang dan mempunyai legitimasi membubarkannya adalah Wiranto, menteri koordinator bidang politik hukum dan keamanan. Dari peristiwa ini, seolah gaya Orde Baru yang identik dengan militeristiknya muncul kembali di rezim Jokowi.
Tidak menutup kemungkinan juga adanya agenda tersembunyi lain, misalnya ihwal bisnis para tentara yang telah purnatugas. Untuk yang satu ini, bisa kita lihat pada jalin kelindan pemodal dan tentara, atau tepatnya mantan tentara. Jalin kelindan yang lumrah di zaman Orde Baru.
Kita tentu ingat perseteruan Luhut Binsar Panjaitan dengan Amien Rais, atau antara Luhut dan Rizal Ramli terkait reklamasi Teluk Jakarta. Luhut proreklamasi, sementara Amien Rais dan Rizal anti dengan pembangunan “pulau” di pesisir utara Jakarta itu. Kemarahan Luhut mengindikasikan ia membela kepentingan pemodal di Teluk Jakarta. Dan Luhut, kita tahu, ia adalah bagian dari rezim, dan pasti ada agenda tersembunyi lain yang kita tidak tahu.
Masih terkait pemodal, ya tentu saja kepentingan mereka sangat banyak demi mengamankan berbagai usaha yang dijalani. Media-media
berpengaruh di Indonesia yang dikuasai pemodal besar sekelas Surya Paloh atau Aburizal Bakrie, hanya salah satu contoh. Kita bisa melihat pemberitaan media-media para konglomerat ini arahnya ke mana.
Para pemilik media ini adalah kelompok “militan” pembela Jokowi karena berbasis dari partai politik. Tentu sekali lagi, ujung-ujungnya adalah demi mengamankan ragam usaha mereka yang bertebaran di seluruh penjuru negeri.
Kelompok lain yang tak lepas dari rangkulan berbalut citra ala Jokowi adalah orang-orang yang tergabung dalam profesi guru atau kalangan aparatur sipil negara (ASN) secara umum. Kebijakan Jokowi yang membuat para ASN tersenyum, di antarnya tunjangan hari raya, tunjangan pensiun, gaji ke-13, apartemen bagi pensiunan ASN. Selain itu, ratusan ribu guru honorer diangkat pula menjadi ASN.
Politik Tol Madura
Selain mengakomodasi kelompok kepentingan di luar dirinya, Jokowi juga menggubris kemauan internal kubu sendiri. Hal ini terlihat dalam
penetapan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni, yang di-kepreskan sejak 2016. Penetapan ini agak berbau ideologis. Soekarno yang dianggap penggagas Pancasila adalah orang tua dari Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDIP, partai pengusung Jokowi. Jadi, kepentingan kelompok sendiri juga hal pokok untuk diperhatikan, mumpung masih berkuasa, bukan?
Terakhir, yang paling anyar–meski masih ada bentuk politik akomodasi lain adalah pembebasan tarif tol bagi penyeberang jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya-Madura. Secara resmi, Jokowi mengumumkan itu saat berpidato di atas jembatan Suramadu pada akhir Oktober lalu.
Nah , demikian kilasan gaya berpolitik khas Presiden Jokowi, yakni politik akomodasi. Saya pernah berdiskusi dengan salah satu tokoh Riau, Fauzi Kadir, beliau mengatakan: jika kalian ada unek-unek yang hendak disampaikan kepada Jokowi, hampir pasti unek-unek itu akan dikabulkan karena Jokowi mempunyai kepentingan juga, yakni terkait Pilpres 2019. Jadi, politik akomodasi tak lain adalah jalan untuk mengamankan kuasa.
Begitulah strategi sebuah rezim dalam menjalankan pemerintahannya. Beda rezim, beda gaya, kesamaannya hanya satu, tujuan akhir berupa kursi istana.
Staf Peneliti di Indonesian Society for Democrazy and
Peace (ISDP) Pekanbaru, Riau
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden RI dua periode (2004-2014) masuk ke memori kita lewat konsep politik akomodasi plus
citra dirinya. Koalisi gemuk dengan akomodasi besar-besaran terhadap partai kawan maupun lawan ditunaikan SBY sepanjang 10 tahun pemerintahannya. Ihwal demikian, bisa kita saksikan di masa pemerintahan SBY, atau buka kembali file digital dan surat kabar yang terbit di era politisi Partai Demokrat itu!
SBY juga sering ragu-ragu dalam memutuskan kebijakan populis sebab takut citra dirinya luntur di mata rakyat. Citra yang berguna saat pemilu bertandang. Padahal, kita semua tahu, akibat dari politik model ini adalah pertaruhan nasib rakyat seantero negeri. Nasib rakyat yang terlunta-lunta karena kebijakan nan salah kaprah.
Mirip-mirip dengan SBY, Joko Widodo (Jokowi), suksesor berikutnya, sebagai presiden RI ke-7 (periode 2014-2019) juga melakukan hal serupa: politik akomodasi, tetapi dengan ciri khas Jokowi sendiri. Politik merangkul lawan atau orang-orang yang berseberangan dengannya dilakukan, setidaknya selama empat tahun masa pemerintahan Jokowi hingga saat ini.
Jika SBY menjalankan politik akomodasinya dengan merangkul partai dan para elitenya sehingga hampir tak ada lagi partai oposisi, Jokowi mempunyai langgam tersendiri. Yang dilakukan oleh pemimpin asal Solo ini adalah mengakomodasi kepentingan beberapa pihak di dalam
masyarakat.
Masyarakat di sini tentu saja tergabung dalam organisasi massa atau ideologi-ideologi tertentu, berdasar profesi, letak geografis, dan lainnya. Tentunya begitu beragam permintaan (request ) atau harapan mereka terhadap kebijakan negara. Kebijakan yang diharapkan mengabulkan aspirasi mereka.
Politik akomodasi pertama (tidak berdasar urutan waktu terjadi) dilakukan oleh Jokowi dengan mendengarkan keluhan dari kelompok kepentingan (interest group ) yang tergabung dalam kaum atau komunitas santri. Jalannya adalah dengan menetapkan
Hari Santri, 22 Oktober, lewat Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015.
Kita tahu, santri merupakan salah satu kelompok kepentingan di negara kita. Mereka dianggap mempunyai peran menancapkan panji keindonesiaan, apalagi setelah Resolusi Jihad dikumandangkan KH Hasyim Asyari pada Oktober 1945.
Masih terkait santri, atau dalam perbincangan para intelektual terkait relasinya dengan negara kelompok ini adalah bagian dari Islam
politik tepat pada November 2017 setahun lalu, Jokowi kembali membuat kaum “sarungan” tersenyum.
Sang Presiden menetapkan Lafran Pane dari organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebagai salah satu pahlawan nasional. Ia dianggap sebagai tokoh bangsa yang berjuang semata demi terpacaknya NKRI. Selain itu, dari rahim HMI tumbuh para pemimpin-pemimpin bangsa.
Alumni HMI ikut berkontribusi terhadap jalannya mesin keindonesiaan, bahkan hingga zaman digital saat ini pun. Di kalangan santri, kita tentu ingat seorang Nurcholis Madjid yang pernah menjadi ketua umum PB HMI selama dua periode di akhir tahun ‘60-an.
Pemikiran-pemikiran cendekiawan muslim ini tentu tak bisa dipisahkan dari wadah tempatnya berproses, yakni HMI. Dari HMI juga lahir nama-nama besar seperti Deliar Noer, Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Jusuf Kalla, Mahfud MD, hingga generasi Anies Baswedan.
Politik merangkul kelompok Islam ala Jokowi ini sempat terusik oleh Gerakan 212 pada 2016. Berbagai elemen ormas Islam mengadakan demonstrasi menuntut Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk dihukum. Ahok dianggap menista agama.
Agak sulit membedakan apakah kelompok 212 ini murni bergerak karena faktor Ahok atau ada embel-embel lain, seperti antipemerintahan Jokowi, atau agenda terselubung terkait Pilkada Jakarta, misalnya.
Yang jelas, dari aksi demonstrasi ini terselip agenda (keinginan) yang didesakkan pada negara. Kelompok 212 mendesakkan kepentingan mereka dengan jalan demonstrasi anti-Ahok. Salah satu eksponen dari gerakan ini adalah organisasi Islam kanan, Front Pembela Islam (FPI). Kelompok yang getol menyuarakan tentang sistem dan kepemimpinan Islam, dalam arti mereka anti dengan pemimpin dari agama lain. Kebetulan Jakarta ketika itu dipimpin Ahok yang nonmuslim.
Jokowi, sebagai presiden, dan para koleganya di pemerintahan ikut mendukung mobilisasi ala Gerakan 212 ini. Padahal, kita tahu seperti apa dekatnya Jokowi dan Ahok. “Pasangan sejoli” dalam Pilkada Jakarta 2012. Hanya demi sebuah citra agar terlihat tak memusuhi kelompok Islam, Jokowi memutuskan mendukung mobilisasi besar-besaran sebelum Pilkada Jakarta 2017 itu.
Selama pemerintahannya, oleh para lawan politiknya, pemerintahan Jokowi dianggap menafikan kelompok Islam. Bukti nyatanya, menurut mereka, adalah kriminalisasi para ulama yang dilakukan rezim Jokowi. Salah satu yang populer adalah kriminalisasi terhadap Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab.
Nah, untuk mengcounter bahwa Jokowi tidak seburuk anggapan para lawan politiknya, menjelang Pemilu 2019, ia dan tim langsung membuat sebuah kejutan. KH Ma’ruf Amin, seorang ulama yang sebelumnya memfatwa Ahok, ulama yang menjadi panutan kelompok 212, dirangkul oleh Jokowi dan menjadikannya sebagai calon wakil presidennya. Sebuah strategi “jitu” untuk memulihkan citra dirinya yang telanjur distigmatisasi sebagai rezim anti-Islam (ulama).
Masih bertalian dengan hal di atas, pemerintahan Jokowi juga memasukkan banyak aktivis serta akademisi ke dalam lingkaran kekuasaannya. Di kalangan aktivis, salah satunya adalah Teten Masduki yang diangkat oleh Jokowi menjadi staf kepresidenan. Di kalangan akademisi, ada Rektor Universitas Gadjah Mada Pratikno, yang ditunjuk menjadi menteri sekretaris negara, ada pula Anies Baswedan yang diangkat menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan, dan banyak lagi aktivis plus akademisi lainnya.
Belasan Jenderal
Kelompok kepentingan berikutnya yang “diamini” aspirasi mereka oleh Jokowi adalah kalangan militer. Setidaknya, ada belasan jenderal yang diberi tempat oleh Jokowi di Istana. Di antara mereka adalah nama-nama beken seperti Luhut Binsar Panjaitan, Ryamizard Ryacudu, Wiranto, Subagio Hadi Siswoyo, Agum Gumelar, Budi Gunawan, dan Moeldoko.
Inilah kesempatan bagi kalangan militer untuk memuluskan agenda kepentingan mereka di pemerintahan. Alat yang mereka gunakan adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) dan UU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Dua UU ini membuat ideal demokrasi kita agak sedikit terusik.
Tidak sedikit masyarakat kita yang ditangkap dan dipenjarakan oleh rezim hanya karena salah omong. Masyarakat sipil ketakutan
mengeluarkan pendapat setelah UU ITE ini berlaku. Puncak pengekangan berbicara atau berpendapat terjadi pada 2017 saat organisasi massa Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan oleh pemerintah.
Kebetulan yang berwenang dan mempunyai legitimasi membubarkannya adalah Wiranto, menteri koordinator bidang politik hukum dan keamanan. Dari peristiwa ini, seolah gaya Orde Baru yang identik dengan militeristiknya muncul kembali di rezim Jokowi.
Tidak menutup kemungkinan juga adanya agenda tersembunyi lain, misalnya ihwal bisnis para tentara yang telah purnatugas. Untuk yang satu ini, bisa kita lihat pada jalin kelindan pemodal dan tentara, atau tepatnya mantan tentara. Jalin kelindan yang lumrah di zaman Orde Baru.
Kita tentu ingat perseteruan Luhut Binsar Panjaitan dengan Amien Rais, atau antara Luhut dan Rizal Ramli terkait reklamasi Teluk Jakarta. Luhut proreklamasi, sementara Amien Rais dan Rizal anti dengan pembangunan “pulau” di pesisir utara Jakarta itu. Kemarahan Luhut mengindikasikan ia membela kepentingan pemodal di Teluk Jakarta. Dan Luhut, kita tahu, ia adalah bagian dari rezim, dan pasti ada agenda tersembunyi lain yang kita tidak tahu.
Masih terkait pemodal, ya tentu saja kepentingan mereka sangat banyak demi mengamankan berbagai usaha yang dijalani. Media-media
berpengaruh di Indonesia yang dikuasai pemodal besar sekelas Surya Paloh atau Aburizal Bakrie, hanya salah satu contoh. Kita bisa melihat pemberitaan media-media para konglomerat ini arahnya ke mana.
Para pemilik media ini adalah kelompok “militan” pembela Jokowi karena berbasis dari partai politik. Tentu sekali lagi, ujung-ujungnya adalah demi mengamankan ragam usaha mereka yang bertebaran di seluruh penjuru negeri.
Kelompok lain yang tak lepas dari rangkulan berbalut citra ala Jokowi adalah orang-orang yang tergabung dalam profesi guru atau kalangan aparatur sipil negara (ASN) secara umum. Kebijakan Jokowi yang membuat para ASN tersenyum, di antarnya tunjangan hari raya, tunjangan pensiun, gaji ke-13, apartemen bagi pensiunan ASN. Selain itu, ratusan ribu guru honorer diangkat pula menjadi ASN.
Politik Tol Madura
Selain mengakomodasi kelompok kepentingan di luar dirinya, Jokowi juga menggubris kemauan internal kubu sendiri. Hal ini terlihat dalam
penetapan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni, yang di-kepreskan sejak 2016. Penetapan ini agak berbau ideologis. Soekarno yang dianggap penggagas Pancasila adalah orang tua dari Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDIP, partai pengusung Jokowi. Jadi, kepentingan kelompok sendiri juga hal pokok untuk diperhatikan, mumpung masih berkuasa, bukan?
Terakhir, yang paling anyar–meski masih ada bentuk politik akomodasi lain adalah pembebasan tarif tol bagi penyeberang jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya-Madura. Secara resmi, Jokowi mengumumkan itu saat berpidato di atas jembatan Suramadu pada akhir Oktober lalu.
Nah , demikian kilasan gaya berpolitik khas Presiden Jokowi, yakni politik akomodasi. Saya pernah berdiskusi dengan salah satu tokoh Riau, Fauzi Kadir, beliau mengatakan: jika kalian ada unek-unek yang hendak disampaikan kepada Jokowi, hampir pasti unek-unek itu akan dikabulkan karena Jokowi mempunyai kepentingan juga, yakni terkait Pilpres 2019. Jadi, politik akomodasi tak lain adalah jalan untuk mengamankan kuasa.
Begitulah strategi sebuah rezim dalam menjalankan pemerintahannya. Beda rezim, beda gaya, kesamaannya hanya satu, tujuan akhir berupa kursi istana.
(nag)