Politik Akomodasi

Sabtu, 08 Desember 2018 - 07:49 WIB
Politik Akomodasi
Politik Akomodasi
A A A
Darwin
Staf Peneliti di Indonesian Society for Democrazy and
Peace (ISDP) Pekanbaru, Riau

Susilo Bambang Yu­dho­­yono (SBY), pre­siden RI dua pe­riode (2004-2014) ma­suk ke memori kita lewat kon­sep politik akomodasi plus
citra di­ri­nya. Koalisi gemuk de­ngan ako­modasi besar-be­sar­an terhadap partai kawan mau­pun lawan di­tunaikan SBY se­panjang 10 ta­hun pemerin­ta­han­nya. Ihwal demikian, bisa kita saksikan di masa peme­rin­tahan SBY, atau buka kembali file digital dan surat kabar yang terbit di era politisi Partai Demokrat itu!

SBY juga sering ragu-ragu dalam memutuskan kebijakan populis sebab takut citra diri­nya luntur di mata rakyat. Citra yang berguna saat pemilu ber­tan­dang. Padahal, kita semua tahu, akibat dari politik model ini ada­lah pertaruhan nasib rak­yat sean­tero negeri. Nasib rak­yat yang terlunta-lunta ka­re­na kebi­jakan nan salah kaprah.

Mirip-mirip dengan SBY, Joko Widodo (Jokowi), suk­se­sor berikutnya, sebagai pre­si­den RI ke-7 (periode 2014-2019) juga melakukan hal se­rupa: politik akomodasi, tetapi dengan ciri khas Jokowi sen­diri. Politik me­rangkul lawan atau orang-orang yang berse­be­rangan dengannya dilaku­kan, setidaknya selama empat tahun masa pemerin­tah­an Jo­kowi hingga saat ini.

Jika SBY menjalankan po­li­tik akomodasinya dengan me­rang­kul partai dan para elite­nya se­hingga hampir tak ada lagi partai oposisi, Jokowi mem­punyai lang­gam ter­sen­diri. Yang dila­kukan oleh pe­mim­pin asal Solo ini adalah mengakomodasi ke­pen­tingan beberapa pihak di dalam
ma­sya­rakat.

Masyarakat di sini ten­tu saja tergabung da­lam orga­nisasi massa atau ideo­logi-ideologi tertentu, berdasar pro­fesi, letak geografis, dan lain­nya. Tentunya begitu be­ra­gam permintaan (request ) atau harap­an mereka terhadap ke­bi­jakan negara. Kebijakan yang diha­rap­kan mengabulkan aspi­rasi mereka.

Politik akomodasi pertama (tidak berdasar urutan waktu terjadi) dilakukan oleh Jokowi dengan mendengarkan keluh­an dari kelompok kepentingan (inte­rest group ) yang tergabung da­lam kaum atau komunitas san­tri. Jalannya adalah dengan me­netapkan
Hari Santri, 22 Okto­ber, lewat Keputusan Pre­siden Nomor 22 Tahun 2015.

Kita tahu, santri merupakan sa­lah satu kelompok kepen­ting­an di negara kita. Mereka dianggap mempunyai peran menan­cap­kan panji kein­do­ne­sia­an, apalagi setelah Resolusi Jihad diku­man­dangkan KH Hasyim Asyari pada Oktober 1945.

Masih terkait santri, atau da­lam perbincangan para inte­lek­tual terkait relasinya de­ngan ne­ga­ra kelompok ini ada­­lah ba­gian dari Islam
poli­tik tepat pa­da November 2017 setahun lalu, Jokowi kem­bali membuat kaum “sa­rung­an” tersenyum.

Sang Pre­siden me­ne­tapkan Lafran Pane dari orga­nisasi maha­sis­wa terbesar di Indonesia, Him­pun­an Ma­ha­siswa Islam (HMI), seba­gai salah satu pah­la­wan na­sio­nal. Ia dianggap se­bagai tokoh bangsa yang ber­juang semata demi terpa­cak­nya NKRI. Selain itu, dari rahim HMI tum­buh para pemimpin-pe­mim­pin bang­­sa.

Alumni HMI ikut ber­kontribusi terha­dap jalannya mesin kein­do­ne­siaan, bahkan hingga zaman di­gital saat ini pun. Di kalangan santri, kita tentu ingat seorang Nurcholis Madjid yang pernah menjadi ketua umum PB HMI selama dua periode di akhir ta­hun ‘60-an.

Pemikiran-pemi­kir­an cen­de­kiawan muslim ini ten­tu tak bisa dipisahkan dari wadah tem­patnya berproses, yakni HMI. Dari HMI juga lahir nama-nama besar seperti De­liar Noer, Ahmad Wahib, Da­wam Ra­hardjo, Jusuf Kalla, Mah­fud MD, hing­ga generasi Anies Baswedan.

Politik merangkul kelom­pok Islam ala Jokowi ini sempat terusik oleh Gerakan 212 pada 2016. Berbagai elemen ormas Islam mengadakan demons­tra­si menuntut Basuki Tjahaja Pur­na­ma alias Ahok untuk dihukum. Ahok dianggap me­nis­ta agama.

Agak sulit mem­be­dakan apakah kelompok 212 ini murni ber­ge­rak karena fak­tor Ahok atau ada embel-embel lain, seperti anti­pe­merintahan Jokowi, atau agenda terse­lu­bung terkait Pilkada Ja­karta, misalnya.

Yang jelas, dari aksi demonstrasi ini terselip agen­­da (keinginan) yang dide­sak­­kan pada negara. Kelompok 212 mendesakkan kepen­ting­an mereka dengan jalan de­mons­trasi anti-Ahok. Salah satu eks­ponen dari gerakan ini adalah organisasi Islam kanan, Front Pembela Islam (FPI). Ke­lompok yang getol menyua­ra­kan ten­tang sistem dan ke­pe­mimpinan Islam, dalam arti me­reka anti de­ngan pemimpin dari agama lain. Kebetulan Ja­karta ketika itu di­pimpin Ahok yang non­mus­lim.

Jokowi, sebagai presiden, dan para koleganya di peme­rin­tahan ikut mendukung mo­bi­li­sasi ala Gerakan 212 ini. Pa­dahal, kita tahu seperti apa de­katnya Jokowi dan Ahok. “Pa­sangan se­joli” dalam Pilkada Jakarta 2012. Hanya demi se­buah citra agar ter­lihat tak me­mu­suhi kelom­pok Islam, Jo­ko­wi memutuskan men­du­kung mobilisasi besar-be­saran sebe­lum Pilkada Jakarta 2017 itu.

Selama pemerintahannya, oleh para lawan politiknya, pe­merintahan Jokowi dianggap me­nafikan kelompok Islam. Bukti nyatanya, menurut me­re­ka, adalah kriminalisasi para ula­ma yang dilakukan rezim Joko­wi. Salah satu yang po­pu­ler ada­lah kriminalisasi ter­ha­dap Imam Besar FPI Habib Ri­zieq Shihab.

Nah, untuk mengcounter bahwa Jokowi tidak se­buruk anggapan para lawan po­litiknya, menje­lang Pemilu 2019, ia dan tim lang­sung mem­buat sebuah kejutan. KH Ma’ruf Amin, seorang ulama yang sebelumnya memfatwa Ahok, ulama yang menjadi pa­nutan kelompok 212, dirang­kul oleh Jokowi dan menja­di­kan­nya sebagai calon wakil presidennya. Sebuah strategi “jitu” untuk me­mulihkan citra dirinya yang telanjur disti­g­ma­tisasi sebagai rezim anti-Islam (ulama).

Masih bertalian dengan hal di atas, pemerintahan Jokowi juga memasukkan banyak ak­ti­vis serta akademisi ke dalam ling­karan kekuasaannya. Di ka­lang­an aktivis, salah satunya adalah Teten Masduki yang di­angkat oleh Jokowi menjadi staf kepre­sidenan. Di kalangan akademisi, ada Rektor Univer­si­tas Gadjah Mada Pratikno, yang ditunjuk menjadi menteri sekretaris ne­gara, ada pula Anies Baswedan yang diangkat menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan, dan banyak lagi aktivis plus aka­demisi lainnya.

Belasan Jenderal

Kelompok kepentingan ber­ikut­nya yang “diamini” aspi­rasi mereka oleh Jokowi adalah ka­langan militer. Seti­dak­nya, ada belasan jenderal yang diberi tempat oleh Jokowi di Istana. Di antara mereka adalah nama-nama beken se­perti Luhut Bin­sar Panjaitan, Ryamizard Rya­cudu, Wiranto, Subagio Hadi Si­s­woyo, Agum Gumelar, Budi Gu­nawan, dan Moeldoko.

Inilah kesempatan bagi ka­langan militer untuk me­mu­lus­kan agenda kepentingan me­reka di pemerintahan. Alat yang me­reka gunakan adalah Undang-Undang Informasi dan Tran­saksi Elektronik (UU-ITE) dan UU Organisasi Kema­sya­­rakatan (Ormas). Dua UU ini membuat ideal demokrasi kita agak sedikit terusik.

Tidak sedikit masya­ra­kat kita yang di­tangkap dan di­penjarakan oleh rezim hanya karena salah omong. Masyarakat sipil keta­kut­an
me­nge­luarkan pendapat setelah UU ITE ini ber­laku. Puncak penge­kang­an ber­bi­­ca­ra atau berpen­da­pat terjadi pa­da 2017 saat orga­ni­sasi massa Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan oleh peme­rin­tah.

Kebetulan yang ber­we­nang dan mem­pu­nyai legi­ti­masi mem­bu­bar­kan­nya adalah Wi­ran­to, menteri koor­dinator bi­dang politik hu­kum dan ke­amanan. Dari peris­ti­wa ini, se­olah gaya Orde Baru yang identik dengan mili­te­ris­tik­nya muncul kembali di rezim Jokowi.

Tidak menutup kemung­kin­an juga adanya agenda ter­sem­bunyi lain, misalnya ihwal bisnis para tentara yang telah pur­na­tugas. Untuk yang satu ini, bisa kita lihat pada jalin kelindan pe­mo­dal dan tentara, atau tepatnya mantan tentara. Jalin kelindan yang lumrah di zaman Orde Baru.

Kita tentu ingat perse­te­ru­an Luhut Binsar Panjaitan de­ngan Amien Rais, atau antara Luhut dan Rizal Ramli terkait reklamasi Teluk Jakarta. Luhut pro­rek­la­masi, sementara Amien Rais dan Rizal anti de­ngan pembangunan “pulau” di pesisir utara Jakarta itu. Ke­ma­rahan Luhut mengin­di­ka­sikan ia membela kepen­tingan pe­mo­dal di Teluk Jakarta. Dan Lu­hut, kita tahu, ia adalah ba­gian dari rezim, dan pasti ada agenda tersembunyi lain yang kita tidak tahu.

Masih terkait pemodal, ya tentu saja kepentingan mereka sangat banyak demi meng­aman­kan berbagai usaha yang dijalani. Media-media
ber­pe­ngaruh di Indonesia yang di­kua­sai pemo­dal besar sekelas Sur­ya Paloh atau Aburizal Bakrie, hanya salah satu con­toh. Kita bisa melihat pem­be­ri­ta­an media-media para kong­lo­merat ini arahnya ke ma­na.

Para pemilik media ini adalah ke­lompok “militan” pembela Jo­kowi karena berbasis dari partai politik. Tentu sekali lagi, ujung-ujungnya adalah demi meng­amankan ragam usaha mereka yang bertebaran di se­lu­ruh pen­juru negeri.

Kelompok lain yang tak le­pas dari rangkulan berbalut citra ala Jokowi adalah orang-orang yang tergabung dalam profesi guru atau kalangan apa­ratur sipil negara (ASN) secara umum. Ke­bi­jakan Jokowi yang mem­buat para ASN ter­se­nyum, di antar­nya tunjangan ha­ri raya, tun­jang­an pensiun, gaji ke-13, apar­te­men bagi pen­siunan ASN. Selain itu, ratusan ribu guru honorer diangkat pula menjadi ASN.

Politik Tol Madura
Selain mengakomodasi ke­lom­pok kepentingan di luar di­rinya, Jokowi juga menggubris kemauan internal kubu sen­diri. Hal ini terlihat dalam
pe­ne­tapan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni, yang di-kepreskan sejak 2016. Pene­tap­an ini agak ber­bau ideologis. Soekarno yang dianggap peng­ga­gas Pancasila adalah orang tua dari Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDIP, partai pengu­sung Joko­wi. Jadi, kepentingan kelom­pok sendiri juga hal pokok un­tuk diperhatikan, mumpung masih berkuasa, bukan?

Terakhir, yang paling anyar–meski masih ada bentuk politik akomodasi lain adalah pembebasan tarif tol bagi pe­nye­berang jembatan Sura­ma­du yang menghubungkan Su­ra­ba­ya-Madura. Secara resmi, Jokowi mengumumkan itu saat berpi­da­to di atas jembatan Suramadu pada akhir Oktober lalu.

Nah , demikian kilasan gaya berpolitik khas Presiden Jokowi, yakni politik akomodasi. Saya pernah berdiskusi dengan salah satu tokoh Riau, Fauzi Kadir, beliau mengatakan: jika kalian ada unek-unek yang hendak disampaikan kepada Jokowi, hampir pasti unek-unek itu akan dikabulkan karena Jokowi mem­punyai kepentingan juga, yakni terkait Pilpres 2019. Jadi, politik akomodasi tak lain adalah jalan untuk mengamankan kuasa.

Begitulah strategi sebuah rezim dalam menjalankan pe­me­rintahannya. Beda rezim, beda gaya, kesamaannya hanya satu, tujuan akhir berupa kursi istana.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6179 seconds (0.1#10.140)