Diplomasi Poros Maritim Indonesia
A
A
A
DAVE AKBARSHAH FIKARNO LAKSONO Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai Golkar
MEMBICARAKAN peran Indonesia dalam hubungan internasional tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan politik luar negeri, yaitu politik luar negeri bebas-aktif.Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif dan tekad dalam memperkuat jati diri Indonesia sebagai negara maritim sesuai konsep Nawacita tampaknya terus diperkuat dalam setiap kebijakan luar negeri.
Terpilihnya Indonesia untuk kali keempat menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa periode 2019-2020 menjadi prestasi yang sangat membanggakan dalam sejarah diplomasi Indonesia. Indonesia dipercaya mewakili Asia-Pasifik mengalahkan Maladewa. Lebih dari 2/3 negara Anggota PBB memercayai bahwa Indonesia mampu membangun jembatan perdamaian dan memajukan perdamaian dunia dengan cara-cara yang lebih diplomatis.
Diplomasi Ekonomi
Perekonomian dunia yang masih dipengaruhi oleh krisis global membuat Pemerintah Indonesia terus mengoptimalkan diplomasi ekonomi, termasuk mendukung diseminasi paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah dengan menjadi bagian Satgas Percepatan dan Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi (PEPKE). Melalui diplomasi ekonomi berdasarkan prinsip politik luar negeri bebas-aktif dan zero enemy, Indonesia mendorong terbukanya pasar-pasar baru nontradisional agar produk Indonesia dapat dirasakan manfaatnya bagi negara lain.
Dalam pidato yang disampaikan pada acara Annual Meeting IMF-World Bank2018di Bali, Presiden Joko Widodo mengajak para pembuat kebijakan fiskal dan moneter dunia untuk mengesampingkan tujuan kejayaan negaranya dan lebih mengutamakan kerja sama global demi terciptanya kehidupan dunia yang harmonis. Menariknya, Presiden Joko Widodo menganalogikan situasi pertarungan ekonomi global seperti dalam film serial Game of Thrones, di mana konfrontasi dan perselisihan dalam bentuk apa pun hanya akan mengakibatkan penderitaan.
Dalam pertemuan yang menelan biaya sekitar Rp566 miliar itu, Indonesia menerima sejumlah manfaat langsung, yakni investasi untuk BUMN sebesar Rp200 triliun dan penerimaan pajak yang diprediksi mencapai Rp800 miliar rupiah hingga Rp1 triliun.
Diplomasi Maritim dan Perbatasan
Dalam upaya menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, Indonesia berkepentingan menjadikan kawasan maritim di Asia-Pasifik dan Samudera Hindia sebagai zona damai, bebas, netral, serta membawa kemakmuran bagi semua yang akan dicapai melalui kerja sama East Asia Summit (EAS) dan Indian Ocean Rim Association (IORA). Meski Indonesia berada pada posisi negara yang tidak ikut membuat klaim (non-claimant state) atas wilayah Laut China Selatan (LCS), Indonesia mendorong negara-negara yang bersengketa untuk menyelesaikan masalah dengan cara damai. Dalam hal ini, Indonesia telah berupaya mendorong ASEAN dan China untuk menyelesaikan code of conduct (CoC) di Laut China Selatan.
Sengketa berkepanjangan di Laut China Selatan (LCS) yang melibatkan China dan negara-negara ASEAN yang berbatasan langsung dengan kawasan LCS sekaligus menjadi sinyal peringatan bagi Indonesia untuk waspada terhadap ancaman konflik di wilayah perairan tersebut. Indonesia yang juga masuk dalam sengketa tersebut telah mengambil langkah tegas untuk mempertahankan kedaulatan wilayah Republik Indonesia dengan mengganti nama perairan LCS yang masuk wilayah Indonesia menjadi Laut Natuna Utara.
Perubahan nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara di perairan utara Pulau Natuna diumumkan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Maritim pada 14 Juli 2017 bersamaan dengan peluncuran peta baru NKRI. Nama perairan itu diubah mengiringi penyelesaian sengketa batas wilayah antara Indonesia dengan Malaysia dan Vietnam. Peta baru NKRI tersebut menekankan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna telah diberi nama “Laut Natuna Utara”. Selain mengubah garis biru putus-putus menjadi garis biru utuh, Kemenko Kemaritiman juga menuliskan nama Laut Natuna Utara di utara Pulau Natuna yang masuk dalam wilayah perairan Indonesia.
Laut Natuna Utara dan Peta Baru NKRI
Langkah agresifPemerintah Indonesia mengganti nama perairan Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara terjadi bukan tanpa alasan. Dua insiden beruntun terkait tertangkapnya kapal nelayan China di perairan Nusantara pada Maret 2016 dan Mei 2016 dengan cepat menjadi masalah nasional. Akibatnya, Pemerintah Indonesia dipandang perlu untuk segera mengambil langkah tegas kepada China dalam rangka membela kedaulatan wilayah di perairan Natuna. Kendati menuai kontroversi dan mendapat protes keras dari China, Pemerintah Indonesia tetapmendaftarkan perubahan nama Laut Natuna Utara ke Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya Organisasi Hidrografik Internasional.
Meski penggantian nama tersebut masih harus melalui proses yang panjang, langkah Pemerintah Indonesia menamakan Laut Natuna Utara adalah tepat untuk menegaskan wilayah kedaulatan Indonesia karena penamaan Laut Natuna Utara dilakukan di wilayah yurisdiksi laut Indonesia dan bukan wilayah Laut China Selatan secara keseluruhan. Selain itu, hal tersebut juga sesuai dengan pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan di dalamUnited Nations Convention on the Law of the Sea(UNCLOS) 1982, yang menegaskan hak-hak Indonesia dalam menentukan batas dan menamai wilayah lautnya. Dengan begitu, penamaan wilayah laut merupakan hak Indonesia yang telah diakui secara sah oleh dunia internasional sebagai negara kepulauan yang sudah seharusnya dihormati oleh negara lain.
MEMBICARAKAN peran Indonesia dalam hubungan internasional tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan politik luar negeri, yaitu politik luar negeri bebas-aktif.Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif dan tekad dalam memperkuat jati diri Indonesia sebagai negara maritim sesuai konsep Nawacita tampaknya terus diperkuat dalam setiap kebijakan luar negeri.
Terpilihnya Indonesia untuk kali keempat menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa periode 2019-2020 menjadi prestasi yang sangat membanggakan dalam sejarah diplomasi Indonesia. Indonesia dipercaya mewakili Asia-Pasifik mengalahkan Maladewa. Lebih dari 2/3 negara Anggota PBB memercayai bahwa Indonesia mampu membangun jembatan perdamaian dan memajukan perdamaian dunia dengan cara-cara yang lebih diplomatis.
Diplomasi Ekonomi
Perekonomian dunia yang masih dipengaruhi oleh krisis global membuat Pemerintah Indonesia terus mengoptimalkan diplomasi ekonomi, termasuk mendukung diseminasi paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah dengan menjadi bagian Satgas Percepatan dan Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi (PEPKE). Melalui diplomasi ekonomi berdasarkan prinsip politik luar negeri bebas-aktif dan zero enemy, Indonesia mendorong terbukanya pasar-pasar baru nontradisional agar produk Indonesia dapat dirasakan manfaatnya bagi negara lain.
Dalam pidato yang disampaikan pada acara Annual Meeting IMF-World Bank2018di Bali, Presiden Joko Widodo mengajak para pembuat kebijakan fiskal dan moneter dunia untuk mengesampingkan tujuan kejayaan negaranya dan lebih mengutamakan kerja sama global demi terciptanya kehidupan dunia yang harmonis. Menariknya, Presiden Joko Widodo menganalogikan situasi pertarungan ekonomi global seperti dalam film serial Game of Thrones, di mana konfrontasi dan perselisihan dalam bentuk apa pun hanya akan mengakibatkan penderitaan.
Dalam pertemuan yang menelan biaya sekitar Rp566 miliar itu, Indonesia menerima sejumlah manfaat langsung, yakni investasi untuk BUMN sebesar Rp200 triliun dan penerimaan pajak yang diprediksi mencapai Rp800 miliar rupiah hingga Rp1 triliun.
Diplomasi Maritim dan Perbatasan
Dalam upaya menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, Indonesia berkepentingan menjadikan kawasan maritim di Asia-Pasifik dan Samudera Hindia sebagai zona damai, bebas, netral, serta membawa kemakmuran bagi semua yang akan dicapai melalui kerja sama East Asia Summit (EAS) dan Indian Ocean Rim Association (IORA). Meski Indonesia berada pada posisi negara yang tidak ikut membuat klaim (non-claimant state) atas wilayah Laut China Selatan (LCS), Indonesia mendorong negara-negara yang bersengketa untuk menyelesaikan masalah dengan cara damai. Dalam hal ini, Indonesia telah berupaya mendorong ASEAN dan China untuk menyelesaikan code of conduct (CoC) di Laut China Selatan.
Sengketa berkepanjangan di Laut China Selatan (LCS) yang melibatkan China dan negara-negara ASEAN yang berbatasan langsung dengan kawasan LCS sekaligus menjadi sinyal peringatan bagi Indonesia untuk waspada terhadap ancaman konflik di wilayah perairan tersebut. Indonesia yang juga masuk dalam sengketa tersebut telah mengambil langkah tegas untuk mempertahankan kedaulatan wilayah Republik Indonesia dengan mengganti nama perairan LCS yang masuk wilayah Indonesia menjadi Laut Natuna Utara.
Perubahan nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara di perairan utara Pulau Natuna diumumkan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Maritim pada 14 Juli 2017 bersamaan dengan peluncuran peta baru NKRI. Nama perairan itu diubah mengiringi penyelesaian sengketa batas wilayah antara Indonesia dengan Malaysia dan Vietnam. Peta baru NKRI tersebut menekankan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna telah diberi nama “Laut Natuna Utara”. Selain mengubah garis biru putus-putus menjadi garis biru utuh, Kemenko Kemaritiman juga menuliskan nama Laut Natuna Utara di utara Pulau Natuna yang masuk dalam wilayah perairan Indonesia.
Laut Natuna Utara dan Peta Baru NKRI
Langkah agresifPemerintah Indonesia mengganti nama perairan Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara terjadi bukan tanpa alasan. Dua insiden beruntun terkait tertangkapnya kapal nelayan China di perairan Nusantara pada Maret 2016 dan Mei 2016 dengan cepat menjadi masalah nasional. Akibatnya, Pemerintah Indonesia dipandang perlu untuk segera mengambil langkah tegas kepada China dalam rangka membela kedaulatan wilayah di perairan Natuna. Kendati menuai kontroversi dan mendapat protes keras dari China, Pemerintah Indonesia tetapmendaftarkan perubahan nama Laut Natuna Utara ke Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya Organisasi Hidrografik Internasional.
Meski penggantian nama tersebut masih harus melalui proses yang panjang, langkah Pemerintah Indonesia menamakan Laut Natuna Utara adalah tepat untuk menegaskan wilayah kedaulatan Indonesia karena penamaan Laut Natuna Utara dilakukan di wilayah yurisdiksi laut Indonesia dan bukan wilayah Laut China Selatan secara keseluruhan. Selain itu, hal tersebut juga sesuai dengan pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan di dalamUnited Nations Convention on the Law of the Sea(UNCLOS) 1982, yang menegaskan hak-hak Indonesia dalam menentukan batas dan menamai wilayah lautnya. Dengan begitu, penamaan wilayah laut merupakan hak Indonesia yang telah diakui secara sah oleh dunia internasional sebagai negara kepulauan yang sudah seharusnya dihormati oleh negara lain.
(kri)