Sakit Hati dan Pembunuhan
A
A
A
ADA fenomena mencengangkan sepanjang 2018 mengenai kasus-kasus pembunuhan yang terjadi di Tanah Air. Dari hasil analisis pihak kepolisian terungkap bahwa motif ratusan kasus pembunuhan ternyata lebih banyak didasari masalah sepele, yakni sakit hati, ketersinggungan, dan dendam. Tentu ini harus menjadi perhatian kita bersama agar jumlah kasus pembunuhan bisa terus ditekan.
Data Mabes Polri menyebut sampai Oktober 2018 telah terjadi 625 kasus pembunuhan. Dari jumlah tersebut, 92% atau 574 kasus berhasil diungkap. Yang memprihatinkan adalah hampir 80% motif pembunuhan baik dilakukan secara berkelompok, melalui pembunuh bayaran maupun perseorangan dipicu oleh rasa dendam, ketersinggungan, dan sakit hati. Sisanya, 20%, tidak diketahui motifnya karena antara pelaku dan korban tidak saling kenal seperti kasus perampokan.
Dari total kejadian, memang terjadi tren penurunan jumlah daripada tahun-tahun sebelumnya. Misalnya pada 2017 total kasus pembunuhan mencapai 783 kasus dan terungkap 99% atau 773 kasus. Adapun pada 2016 sebanyak 1.197 kasus. Dari jumlah tersebut terungkap 1.156 kasus atau 97%. Meski angkanya menurun, secara total kasus pembunuhan tahun ini masih sangat tinggi jumlahnya. Apakah kasus pembunuhan tersebut bisa dicegah atau diantisipasi? Untuk menjawab ini tentu kita harus melihat motifnya. Pembunuhan dengan motif sakit hati sulit untuk dicegah. Karena terjadi secara spontan dan sulit diprediksi. Berbeda dengan kasus perampokan yang bisa diantisipasi dengan penjagaan atau imbauan untuk tidak menggunakan perhiasan secara berlebihan. Meski begitu, bagaimanapun caranya, kita harus terus berupaya untuk mencari solusi dari maraknya pembunuhan yang terjadi di masyarakat.
Upaya di atas tentu tidak mudah karena faktor-faktor yang melatarbelakangi begitu kompleks. Yang perlu menjadi perhatian bersama adalah mangapa semakin mudahnya masyarakat melakukan pembunuhan. Bayangkan hanya gara-gara tersinggung, orang tak berpikir panjang menghabisi nyawa orang lain. Kalau di rata-rata berarti satu hari terjadi dua kasus pembunuhan. Sehingga tak mengherankan kalau kita setiap hari mendengar ada berita kasus pembuhan di media massa. Fenomena ini sungguh mengkhawatirkan. Kalau ini dibiarkan pasti akan menjadi teror menakutkan di tengah-tengah masyarakat.
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi mengapa masyarakat kita begitu mudahnya membunuh. Di antaranya: Pertama, persaingan dan tekanan hidup yang semakin tinggi menyebabkan tingkat stres yang juga tinggi baik menyangkut masalah ekonomi atau lainnya. Hal inilah yang membuat orang gampang emosi dan berbuat nekad. Kedua, seiring dengan kemajuan teknologi banyak pengaruh asing masuk tanpa ada kontrol. Dengan gadget yang dimiliki orang bisa mengakses tontonan apapun ataupun bermain media sosial. Belum lagi tayangan-tayangan di media kita yang banyak mempertontonkan adegan kekerasan. Orang yang tak punya dasar iman yang kuat, pasti akan gampang sekali terpengaruh. Ketiga, tidak adanya role model atau teladan yang baik dari para pemimpin-pemimpin kita. Yang kita saksikan setiap hari adalah kegaduhan politik karena perang antar elite. Tentu ini lambat laun hal ini juga memengaruhi psikologis masyarakat.
Yang jelas, untuk mengatasi maraknya pembunuhan ini kita atak bisa hanya mengandalkan pada aparat penegak hukum. Hanya saja, penegakan hukum yang tegas dan tak pandang bulu memang harus dilakukan secara konsisten. Hal ini penting untuk menimbulkan efek jera agar masyarakat berpikir panjang ketika akan melakukan pembunuhan karena melihat hukuman yang tinggi.
Selain hukum, masalah ini juga sangat berkaitan dengan etika dan moral masyarakat. Karena itu solusinya adalah bagaimana kita melibatkan tokoh-tokoh masyarakat terutama tokoh agama untuk memberikan pencerahan bahwa membunuh itu perbuatan sangat biadab yang harus dihindari. Salah satu caranya adalah para tokoh tersebut bertanggung jawab terhadap perilaku masyarakatnya. Para tokoh harus proaktif untuk terus melakukan pengawasan di lingkungannya. Dengan begitu diharapkan konflik yang terjadi di masyarakat bisa dikurangi. Yang tak kalah penting adalah para elite juga harus memberikan teladan yang baik di masyarakat. Jangan hanya mempertontonkan konflik yang bisa ditiru masyarakat bawah.
Data Mabes Polri menyebut sampai Oktober 2018 telah terjadi 625 kasus pembunuhan. Dari jumlah tersebut, 92% atau 574 kasus berhasil diungkap. Yang memprihatinkan adalah hampir 80% motif pembunuhan baik dilakukan secara berkelompok, melalui pembunuh bayaran maupun perseorangan dipicu oleh rasa dendam, ketersinggungan, dan sakit hati. Sisanya, 20%, tidak diketahui motifnya karena antara pelaku dan korban tidak saling kenal seperti kasus perampokan.
Dari total kejadian, memang terjadi tren penurunan jumlah daripada tahun-tahun sebelumnya. Misalnya pada 2017 total kasus pembunuhan mencapai 783 kasus dan terungkap 99% atau 773 kasus. Adapun pada 2016 sebanyak 1.197 kasus. Dari jumlah tersebut terungkap 1.156 kasus atau 97%. Meski angkanya menurun, secara total kasus pembunuhan tahun ini masih sangat tinggi jumlahnya. Apakah kasus pembunuhan tersebut bisa dicegah atau diantisipasi? Untuk menjawab ini tentu kita harus melihat motifnya. Pembunuhan dengan motif sakit hati sulit untuk dicegah. Karena terjadi secara spontan dan sulit diprediksi. Berbeda dengan kasus perampokan yang bisa diantisipasi dengan penjagaan atau imbauan untuk tidak menggunakan perhiasan secara berlebihan. Meski begitu, bagaimanapun caranya, kita harus terus berupaya untuk mencari solusi dari maraknya pembunuhan yang terjadi di masyarakat.
Upaya di atas tentu tidak mudah karena faktor-faktor yang melatarbelakangi begitu kompleks. Yang perlu menjadi perhatian bersama adalah mangapa semakin mudahnya masyarakat melakukan pembunuhan. Bayangkan hanya gara-gara tersinggung, orang tak berpikir panjang menghabisi nyawa orang lain. Kalau di rata-rata berarti satu hari terjadi dua kasus pembunuhan. Sehingga tak mengherankan kalau kita setiap hari mendengar ada berita kasus pembuhan di media massa. Fenomena ini sungguh mengkhawatirkan. Kalau ini dibiarkan pasti akan menjadi teror menakutkan di tengah-tengah masyarakat.
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi mengapa masyarakat kita begitu mudahnya membunuh. Di antaranya: Pertama, persaingan dan tekanan hidup yang semakin tinggi menyebabkan tingkat stres yang juga tinggi baik menyangkut masalah ekonomi atau lainnya. Hal inilah yang membuat orang gampang emosi dan berbuat nekad. Kedua, seiring dengan kemajuan teknologi banyak pengaruh asing masuk tanpa ada kontrol. Dengan gadget yang dimiliki orang bisa mengakses tontonan apapun ataupun bermain media sosial. Belum lagi tayangan-tayangan di media kita yang banyak mempertontonkan adegan kekerasan. Orang yang tak punya dasar iman yang kuat, pasti akan gampang sekali terpengaruh. Ketiga, tidak adanya role model atau teladan yang baik dari para pemimpin-pemimpin kita. Yang kita saksikan setiap hari adalah kegaduhan politik karena perang antar elite. Tentu ini lambat laun hal ini juga memengaruhi psikologis masyarakat.
Yang jelas, untuk mengatasi maraknya pembunuhan ini kita atak bisa hanya mengandalkan pada aparat penegak hukum. Hanya saja, penegakan hukum yang tegas dan tak pandang bulu memang harus dilakukan secara konsisten. Hal ini penting untuk menimbulkan efek jera agar masyarakat berpikir panjang ketika akan melakukan pembunuhan karena melihat hukuman yang tinggi.
Selain hukum, masalah ini juga sangat berkaitan dengan etika dan moral masyarakat. Karena itu solusinya adalah bagaimana kita melibatkan tokoh-tokoh masyarakat terutama tokoh agama untuk memberikan pencerahan bahwa membunuh itu perbuatan sangat biadab yang harus dihindari. Salah satu caranya adalah para tokoh tersebut bertanggung jawab terhadap perilaku masyarakatnya. Para tokoh harus proaktif untuk terus melakukan pengawasan di lingkungannya. Dengan begitu diharapkan konflik yang terjadi di masyarakat bisa dikurangi. Yang tak kalah penting adalah para elite juga harus memberikan teladan yang baik di masyarakat. Jangan hanya mempertontonkan konflik yang bisa ditiru masyarakat bawah.
(pur)