Menantikan PP Kewenangan Laut

Senin, 26 November 2018 - 07:07 WIB
Menantikan PP Kewenangan...
Menantikan PP Kewenangan Laut
A A A
Witjaksono
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pemuda Maritim Indonesia


DESENTRALISASI pengelolaan laut merupakan kunci utama dalam mewujudkan pembangunan kelautan yang berkelanjutan. Oleh karenanya, pasca-Orde Baru tumbang dikeluarkanlah UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian disempurnakan oleh UU Nomor 32/2009. Kehadiran kedua undang-undang itu merupakan jawaban atas kegagalan pengelolaan sumber daya berbasis pemerintah (centralized government management/CGM).Dengan kata lain, pemberian kewenangan pada daerah adalah solusi cerdas atas pembelajaran kegagalan model pengelolaan sumber daya laut di masa lalu yang menunjukkan penguasaan mutlak negara dan mengabaikan kepentingan masyarakat. Bahkan, kuatnya hegemoni negara (pemerintah pusat) dalam sistem pemerintahan Indonesia di era Orde Baru mempunyai andil sangat besar dalam menciptakan kerusakan kawasan pesisir dan laut yang ditandai dengan tiga ciri utama, yaitu (1) didasarkan pada doktrin milik bersama (common property), (2) sentralistik (proses produksi dan substansinya), dan (3) mengabaikan atau anti-pluralisme hukum (Dahuri, 1999).

Namun ironisnya, kegagalan pengelolaan sentralistik tersebut kembali dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mencabut kewenangan kabupaten/kota di wilayah laut. Penghapusan kewenangan kabupaten/kota itu telah menghancurkan tatanan pengelolaan sumber daya laut yang selama ini sudah ajeg. Hal ini karena pengelolaan sumber daya yang baik adalah mendekatkan pengelola (pemerintah) dengan masyarakat atau sumber daya. Bukan sebaliknya, menarik kewenangan pengelolaan sumber daya laut ke tingkat provinsi yang jaraknya sangat jauh dengan kabupaten/kota pesisir.

Implikasi Hukum UU Otda

Beberapa permasalahan krusial yang ditimbulkan pascapengesahan UU Nomor 23/2014, yaitu antara lain, pertama, menciptakan nelayan kecil sebagai pelaku illegal fishing. UU Nomor 23/2014 tidak menyebutkan siapa yang berwenang terhadap pengelolaan nelayan kecil (baca: pendaftaran). Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, nelayan kecil tidak diwajibkan memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Namun, pengecualian tersebut wajib digantikan dengan Bukti Pendaftaran Kapal Perikanan (BPKP). Hal ini bertujuan untuk kepentingan statistik dan pemberdayaan.

Ketiadaan mandat dalam UU Nomor 23/2014 menimbulkan ijtihad berbeda-beda antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Beberapa pemerintah provinsi mengeluarkan peraturan daerah (perda) yang berkaitan dengan nelayan kecil, tapi lebih banyak lagi nelayan kecil dihadapkan ketidakjelasan kepada siapa mereka harus mengurus BPKP. Akibatnya, banyak nelayan kecil tidak memiliki BPKP. Mengingat pemerintah kabupaten/kota tidak berani mengeluarkan itu karena kewenangannya hanya pemberdayaan nelayan kecil, sebab pengurusan BPKP bukan tindakan pemberdayaan sebagaimana dimuat dalam UU Nomor 7/2016. Sementara pemerintah provinsi dengan segala keterbatasannya, tidak memiliki landasan hukum (baca: perda) dan keterbatasan SDM serta minimnya anggaran, tidak mampu mengurus nelayan kecil yang tersebar di pelosok-pelosok pesisir bahkan terisolasi di pulau-pulau kecil.

Ketiadaan BPKP sebagai legalitas kegiatan penangkapan nelayan kecil diperparah dengan konflik hukum mengenai batasan nelayan kecil. Secara tersirat, nelayan kecil dalam pengertian UU Nomor 23/2014 adalah di bawah 5 GT mengacu pada UU Nomor 45/2009. Namun, dalam perkembangannya, diterbitkannya UU Nomor 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, diatur bahwa batasan nelayan kecil di bawah 10 GT. Artinya, ketidakjelasan pemerintah dalam mengelola nelayan kecil hanya akan menjadikan mereka sebagai pelaku illegal fishing, akankah nelayan kecil menjadi korban kriminalisasi?

Kedua, menghancurkan kawasan konservasi perairan daerah (KKPD). Kehadiran UU Nomor 23/2014 secara tidak langsung mendukung penghancuran KKPD yang sudah ditetapkan dan dikelola pemerintah kabupaten/kota bertahun-tahun. Pencabutan kewenangan ini menjadikan kabupaten/kota sebagai penonton atas pelanggaran/tindakan hukum dilakukan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap merusak, seperti bom dan potasium, baik di dalam maupun di luar KKPD. Karena pemerintah kabupaten/kota tidak lagi memiliki wewenang atas KKPD dan fungsi pengawasan, meski pelanggaran terjadi di depan mata mereka.Ancaman terhadap keberlanjutan KKPD yang memiliki fungsi spillover atas sumber daya ikan dihadapkan pada permasalahan lainnya, yaitu sulitnya pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Pihak Kementerian Dalam Negeri memahami pengelolaan KKPD hanya layak oleh pembentukan kantor cabang dinas (KCD). Padahal, konservasi bukannya kegiatan pelayanan, melainkan pengelolaan yang fungsinya melakukan rehabilitasi dan konservasi, pengawasan dan pengendalian, serta pemberdayaan masyarakat sekitar.

Dengan demikian, pelaksanaan komitmen Indonesia pada Our Ocean Conference 2018 di Bali mengenai kawasan konservasi, dihadapkan pada permasalahan jauhnya rentang kendali pengelola dengan KKPD serta unit organisasi pengelola yang hingga saat ini baru KKPD Raja Ampat yang sudah disahkan. Artinya, sepanjang 2014 hingga 2018 kekosongan unit organisasi pengelola pemerintah provinsi di KKPD menjadi ancaman bagi kelestarian sumber daya laut yang selama ini dikelola dengan baik. Betapa tidak, fakta di lapangan menunjukkan bahwa ketiadaan unit pengelola tersebut mengakibatkan nelayan mampu “memanen” ikan di zona inti KKPD, suatu wilayah terlarang untuk kegiatan penangkapan ikan. Namun, akankah kelestarian KKPD terjamin dengan kondisi seperti ini?

Ketiga, pokmaswas kehilangan induk semang. Ancaman kelestarian sumber daya laut disebabkan juga hilangnya kelompok-kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas). Selama ini karena kedekatan wilayah antara pokmaswas dengan pemerintah kabupaten/kota yang dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan secara aktif melakukan pembinaan, baik pengadaan sarana patroli maupun peningkatan kapasitas pengawasan berbasis masyarakat. Namun, pencabutan kewenangan ini peran pokmaswas mati suri karena pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Pemerintah Provinsi dihadapkan pada permasalahan keterbatasan anggaran dan kapasitas SDM yang mumpuni. Oleh karena itu, perlu upaya keras membangkitkan kembali peran masyarakat dalam kegiatan konservasi.

Kepastian PP

Kekosongan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kewenangan Laut mengakibatkan pengelolaan sumber daya laut di daerah tidak optimal. Hal ini karena pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tidak berani melakukan ijtihad secara sendiri-sendiri atas pelaksanaan UU Nomor 23/2014. Mengingat kesalahan administrasi dapat mengakibatkan pejabat daerah menjadi pesakitan di meja hijau.Dengan kata lain, kreativitas pejabat daerah terkurung oleh kekosongan PP Kewenangan Laut yang berlarut-larut. Selain itu, pihak kementerian juga tidak kunjung mengeluarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) karena ketiadaan cantolan hukumnya. Padahal, Pasal 30 UU Nomor 23/2014 mengamanatkan pembentukan PP kewenangan daerah provinsi di laut dan daerah provinsi yang berciri. Bahkan, Pasal 410 UU Nomor 23/2014 memandatkan untuk pembentukan peraturan pelaksanaan ini harus ditetapkan paling lama dua tahun terhitung sejak UU Nomor 23/2014 diundangkan pada 24 Oktober 2014. Dengan demikian, seharusnya PP Kewenangan Laut ini terbit paling lama pada 2016, tapi hingga saat ini PP tersebut tak kunjung hadir.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9317 seconds (0.1#10.140)