Vonis Baiq Nuril, Kado Pahit Perjuangan Para Perempuan
A
A
A
JAKARTA - Vonis Mahkamah Agung (MA) terhadap mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Baiq Nuril Maknun dianggap menjadi kado pahit Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence), di bulan November ini.
Maka itu, Politikus Partai Gerindra Rahayu Saraswati mengkritik vonis tersebut. "Ini kado pahit untuk perjuangan perempuan. Sangat disayangkan sepertinya keputusan MA tidak mempertimbangkan aspek kekerasan verbal yang diterima Nuril," ujar Anggota Komisi VIII DPR RI ini kepada SINDOnews, Senin (19/11/2018).
Baiq Nuril divonis hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan bui oleh MA. Nuril dinilai melanggar Pasal 27 Ayat 1 Undang-undang (UU) ITE karena menyebarkan informasi elektronik bermuatan materi asusila. (Baca juga: Ribuan Orang Teken Petisi Minta Tangguhkan Eksekusi Baiq Nuril)
Di sisi lain, Nuril dinilai sejumlah pihak merupakan korban pelecehan seksual secara verbal oleh eks kepala sekolah SMAN 7 Kota Mataram, Muslim, saat keduanya bertemu ataupun melalui saluran telefon.
"Nuril merekam itu sebagai bukti adanya perilaku kekerasan oleh atasannya bilamana nanti terjadi perkara hukum di masa mendatang, dia memiliki satu bukti, selain kesaksiannya," kata keponakan dari Calon Presiden Prabowo Subianto itu.
Sedangkan rekaman Nuril tersebar saat rekan sekantornya HIM dan NA meminjam telepon gengamnya. Nuril tidak menyadari ternyata isi rekaman dalam teleponnya dikemudian hari tersebar dan berujung pada pelaporan Muslim ke kepolisian. (Baca juga: Kasus Baiq Nuril, Pakar Pidana: Negara Harus Lindungi Korban)
Sara pun berpendapat, kuatnya Undang-undang ITE dalam menjerat Nuril tidak sepadan dengan upaya negara melindungi perempuan dari segala aksi kekerasan. Sebab, hukuman terhadap Nuril ini akan memasung kembali semangat para perempuan di Indonesia dalam upaya melindungi diri dari ancaman kekerasan yang dapat menimpa mereka.
"Dengan segala hormat kepada MA, saya tidak melihat negara hadir dalam putusan tersebut. Seorang perempuan yang berani bersuara karena mendapatkan kekerasan, itu sudah sesuatu yang luar biasa di Indonesia, karena mayoritas memilih diam," katanya.
Selain itu, dia menilai perlu adanya revisi terhasap UU ITE dalam perpesktif upaya seseorang melindungi hak-haknya. Dia pun berharap Komisi VIII dan pemerintah bisa segera merampungkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai langkah maju perlindungan terhadap perempuan.
"Salah satunya mengatur mengenai terjadinya kekerasan seksual karena relasi kuasa. Dimana kasus itu terjadi karena pelaku memanfaatkan kekuasaannya kepada korban, seperti kasus bu Nuril ini," pungkasnya.
Maka itu, Politikus Partai Gerindra Rahayu Saraswati mengkritik vonis tersebut. "Ini kado pahit untuk perjuangan perempuan. Sangat disayangkan sepertinya keputusan MA tidak mempertimbangkan aspek kekerasan verbal yang diterima Nuril," ujar Anggota Komisi VIII DPR RI ini kepada SINDOnews, Senin (19/11/2018).
Baiq Nuril divonis hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan bui oleh MA. Nuril dinilai melanggar Pasal 27 Ayat 1 Undang-undang (UU) ITE karena menyebarkan informasi elektronik bermuatan materi asusila. (Baca juga: Ribuan Orang Teken Petisi Minta Tangguhkan Eksekusi Baiq Nuril)
Di sisi lain, Nuril dinilai sejumlah pihak merupakan korban pelecehan seksual secara verbal oleh eks kepala sekolah SMAN 7 Kota Mataram, Muslim, saat keduanya bertemu ataupun melalui saluran telefon.
"Nuril merekam itu sebagai bukti adanya perilaku kekerasan oleh atasannya bilamana nanti terjadi perkara hukum di masa mendatang, dia memiliki satu bukti, selain kesaksiannya," kata keponakan dari Calon Presiden Prabowo Subianto itu.
Sedangkan rekaman Nuril tersebar saat rekan sekantornya HIM dan NA meminjam telepon gengamnya. Nuril tidak menyadari ternyata isi rekaman dalam teleponnya dikemudian hari tersebar dan berujung pada pelaporan Muslim ke kepolisian. (Baca juga: Kasus Baiq Nuril, Pakar Pidana: Negara Harus Lindungi Korban)
Sara pun berpendapat, kuatnya Undang-undang ITE dalam menjerat Nuril tidak sepadan dengan upaya negara melindungi perempuan dari segala aksi kekerasan. Sebab, hukuman terhadap Nuril ini akan memasung kembali semangat para perempuan di Indonesia dalam upaya melindungi diri dari ancaman kekerasan yang dapat menimpa mereka.
"Dengan segala hormat kepada MA, saya tidak melihat negara hadir dalam putusan tersebut. Seorang perempuan yang berani bersuara karena mendapatkan kekerasan, itu sudah sesuatu yang luar biasa di Indonesia, karena mayoritas memilih diam," katanya.
Selain itu, dia menilai perlu adanya revisi terhasap UU ITE dalam perpesktif upaya seseorang melindungi hak-haknya. Dia pun berharap Komisi VIII dan pemerintah bisa segera merampungkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai langkah maju perlindungan terhadap perempuan.
"Salah satunya mengatur mengenai terjadinya kekerasan seksual karena relasi kuasa. Dimana kasus itu terjadi karena pelaku memanfaatkan kekuasaannya kepada korban, seperti kasus bu Nuril ini," pungkasnya.
(maf)