Belajar dari Brasil
A
A
A
Wim Tohari Daniealdi Dosen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Pasundan, Bandung
PADA senin 29 Oktober lalu, kabar mengejutkan datang dari Brasil. Jair Bolsonaro, calon presiden (capres) yang diusung kubu sayap kanan, berhasil mengalahkan Fernando Haddad dari kubu sayap kiri melalui pemilu yang demokratis. Jair Bolsonaro berhasil memenangkan lebih dari 55% suara dan berhak secara konstitusional menduduki kursi presiden.Akan tetapi, hasil pemilihan presiden (pilpres) ini ternyata banyak ditentang oleh masyarakat Brasil pendukung sayap kiri. Kekhawatiran akan terbelenggunya hak demokrasi hingga lahirnya rezim fasisme pun merebak, meski Bolsonaro dalam pidato kemenangannya sudah menyatakan bahwa dia akan "menenangkan" Brasil setelah kampanye pemilihan yang berulang kali dirusaki oleh kekerasan.
Namun terlepas dari kontroversi yang berkembang di Brasil pascapilpres yang dilaluinya, kemenangan kubu sayap kanan ini sebenarnya menarik dijadikan sebagai diskursus penting bagi pengamat politik di seluruh dunia. Mengingat dalam beberapa dekade terakhir, massa akar rumput Brasil adalah pendukung utama kubu sayap kiri. Tidak hanya itu, kelompok sayap kiri yang pernah berkuasa di Brasil telah berhasil membuktikan kinerjanya dan mengangkat taraf hidup masyarakat menjadi salah satu yang paling maju di dunia.
Sebut saja Presiden Luiz Inácio Lula da Silva, yang dulu berhasil melakukan proses penanggulangan terhadap kesenjangan antara miskin dan kaya secara sistematis dan terencana melalui kebijakan pemerintah yang ketat dan prorakyat. Tercatat dalam kurun waktu antara 2003 sampai 2009, sekitar 20 juta orang telah terangkat dari jurang kemiskinan yang ekstrem. Melalui program Fome Zero (Zero Hunger) yang digagas oleh Lula da Silva pada 2003, Brasil saat ini telah menjadi salah satu negara dengan progresivitas paling tinggi dalam menanggulangi kesenjangan sosial ekonomi di antara negara-negara berkembang lainnya di dunia. Oleh PBB, program Fome Zero dijadikan sebagai role model keberhasilan program Millenium Development Goal’s (MDG’s).
Tidak sampai di sana, salah satu keberhasilan kubu sayap kiri dalam memimpin Brasil juga telah berhasil menghadirkan sosok presiden perempuan pertama yang memimpin Negeri Samba tersebut, yaitu Dilma Vana Rousseff. Pada masa pemerintahan Da Silva pada 2005-2010, Dilma pernah menjabat sebagai kepala staf presiden. Setelah itu, dia menjabat sebagai presiden sejak 2010 selama dua periode, hingga akhirnya pada 31 Agustus 2016 dimakzulkan oleh senat karena terbukti melanggar undang-undang.
Meski demikian, keputusan yang diambil oleh senat juga tetap mengundang kontroversi yang melahirkan ketidakpuasan dari masyarakat pendukung sayap kiri. Namun, keputusan sudah inkrah; dan ketika pemilu dilaksanakan, kubu sayap kiri sudah mulai kehilangan pamornya, dan harus mengakui kekalahannya setelah lebih dari dua dekade berkuasa.
Arus Kemenangan Konservatisme
Bila kita telaah secara luas, sebenarnya alur perjalanan Jair Bolsonaro, presiden terpilih Brasil, sedang mengikuti arus besar kemenangan kelompok konservatif di hampir semua belahan dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, gelombang kemenangan ini sudah menyelimuti hampir semua negara di Eropa, bahkan kelompok ini sekarang mendominasi Uni Eropa. Terakhir jejak kemenangan kelompok Brexit dalam referendum di Inggris menunjukkan betapa ide-ide konservatif ini semakin menuai dukungan. Bahkan akhir 2016 lalu, kelompok konservatif ini juga berhasil mendudukan sosok kontroversial seperti Donald Trump ke kursi presiden Amerika Serikat. Dalam nuansa ideologis yang sama, kemenangan Bolsonaro dalam pilpres di Brasil kemarin, dianggap memiliki korelasinya dengan arus kemenangan konservatisme ini.
Konservatisme saat ini sudah sangat berbeda dengan selama ini kita kenal. Mereka sudah jauh lebih progresif bahkan radikal. Anthony Giddens menyatakan bahwa saat ini jalur politik radikal sudah dimotori bukan lagi oleh kelompok sosialis, melainkan justru konservatif. (Anthony Giddens: 2012) Akan tetapi, meski sudah lebih radikal, kerangka dasar pemikiran kelompok konservatif tidak hilang. Sebaliknya, fundamen-fundamen ini yang menstimulusi gerakan konservatisme di seluruh dunia. Teori-teori konservatif didasarkan pada pemahaman bahwa manusia secara alami jahat, dimotivasi oleh nurani dan impuls yang rendah, dan senantiasa siap untuk berbalik kepada keadaan kebuasan primitif. (Maurice Duverger: 2003)
Dalam hiruk-pikuk keamanan global yang semakin tidak menentu sekarang, perspektif kelompok konservatif terhadap sifat alami manusia, seperti menemukan pembenarannya. Bagaimana tidak, terorisme dan kekerasan acak terjadi hampir setiap pekan di seluruh negara di berbagai belahan dunia. Konflik antarnegara, krisis energi dan pangan, hingga ancaman kerusakan ekosistem global, telah menghadirkan kecemasan yang merata di semua negara. Dalam kerangka inilah ideologi konservatif menemukan momentumnya. Konservatisme yang saat ini begitu progresif dan radikal, sudah dianggap sebagai solusi dalam menyelesaikan semua persoalan keamanan. Jargon-jargon tentang nasionalisme, primordialisme, dan fundamentalisme agama menjadi ide yang sangat populis untuk dijadikan landasan pemikiran yang solutif. Pasalnya, jargon-jargon ini menawarkan sebuah justifikasi untuk melakukan segala tindakan yang dianggap perlu untuk mempertahankan diri.
Di Brasil, dalam beberapa tahun terakhir, tingkat kekerasan dan kriminalitas meningkat tajam, disusul dengan krisis ekonomi yang tak kunjung usai. Bila kita perhatikan, tumpuan isu yang dimainkan oleh kelompok konservatif di banyak negara, sudah berhasil mengambil alih isu-isu kelompok moderat dan sayap kiri. Isu-isu ekonomi kerakyatan, nasionalisme, dan keadilan, serta kesenjangan ekonomi adalah isu-isu kelompok sosialis yang berhasil diambil alih oleh mereka. Sementara kelompok sosialis dan moderat sendiri, sebagaimana menurut Anthony Giddens, saat ini justru terjebak dalam upaya mengamankan institusi-institusi kesejahteraan daripada terus menerus melanjutkan perjuangan yang progresif bagi masyarakat (Anthony Giddens: 2012).
Berkaca dari Brasil dan sejumlah negara lain yang berhasil direbut oleh kubu konservatif atau sayap kanan, banyak pelajaran penting yang bisa petik untuk Indonesia yang juga akan menyenggarakan pilpres pada 2019 nanti. Bagaimanapun, skema pertarungan pilpres yang akan datang, secara umum merefleksikan dinamika yang juga terjadi di sejumlah negara. Tinggal kita lihat, siapa yang lebih cepat belajar dari kasus yang sudah ada, dialah pemenangnya. Wallahu’alam bi sawab
PADA senin 29 Oktober lalu, kabar mengejutkan datang dari Brasil. Jair Bolsonaro, calon presiden (capres) yang diusung kubu sayap kanan, berhasil mengalahkan Fernando Haddad dari kubu sayap kiri melalui pemilu yang demokratis. Jair Bolsonaro berhasil memenangkan lebih dari 55% suara dan berhak secara konstitusional menduduki kursi presiden.Akan tetapi, hasil pemilihan presiden (pilpres) ini ternyata banyak ditentang oleh masyarakat Brasil pendukung sayap kiri. Kekhawatiran akan terbelenggunya hak demokrasi hingga lahirnya rezim fasisme pun merebak, meski Bolsonaro dalam pidato kemenangannya sudah menyatakan bahwa dia akan "menenangkan" Brasil setelah kampanye pemilihan yang berulang kali dirusaki oleh kekerasan.
Namun terlepas dari kontroversi yang berkembang di Brasil pascapilpres yang dilaluinya, kemenangan kubu sayap kanan ini sebenarnya menarik dijadikan sebagai diskursus penting bagi pengamat politik di seluruh dunia. Mengingat dalam beberapa dekade terakhir, massa akar rumput Brasil adalah pendukung utama kubu sayap kiri. Tidak hanya itu, kelompok sayap kiri yang pernah berkuasa di Brasil telah berhasil membuktikan kinerjanya dan mengangkat taraf hidup masyarakat menjadi salah satu yang paling maju di dunia.
Sebut saja Presiden Luiz Inácio Lula da Silva, yang dulu berhasil melakukan proses penanggulangan terhadap kesenjangan antara miskin dan kaya secara sistematis dan terencana melalui kebijakan pemerintah yang ketat dan prorakyat. Tercatat dalam kurun waktu antara 2003 sampai 2009, sekitar 20 juta orang telah terangkat dari jurang kemiskinan yang ekstrem. Melalui program Fome Zero (Zero Hunger) yang digagas oleh Lula da Silva pada 2003, Brasil saat ini telah menjadi salah satu negara dengan progresivitas paling tinggi dalam menanggulangi kesenjangan sosial ekonomi di antara negara-negara berkembang lainnya di dunia. Oleh PBB, program Fome Zero dijadikan sebagai role model keberhasilan program Millenium Development Goal’s (MDG’s).
Tidak sampai di sana, salah satu keberhasilan kubu sayap kiri dalam memimpin Brasil juga telah berhasil menghadirkan sosok presiden perempuan pertama yang memimpin Negeri Samba tersebut, yaitu Dilma Vana Rousseff. Pada masa pemerintahan Da Silva pada 2005-2010, Dilma pernah menjabat sebagai kepala staf presiden. Setelah itu, dia menjabat sebagai presiden sejak 2010 selama dua periode, hingga akhirnya pada 31 Agustus 2016 dimakzulkan oleh senat karena terbukti melanggar undang-undang.
Meski demikian, keputusan yang diambil oleh senat juga tetap mengundang kontroversi yang melahirkan ketidakpuasan dari masyarakat pendukung sayap kiri. Namun, keputusan sudah inkrah; dan ketika pemilu dilaksanakan, kubu sayap kiri sudah mulai kehilangan pamornya, dan harus mengakui kekalahannya setelah lebih dari dua dekade berkuasa.
Arus Kemenangan Konservatisme
Bila kita telaah secara luas, sebenarnya alur perjalanan Jair Bolsonaro, presiden terpilih Brasil, sedang mengikuti arus besar kemenangan kelompok konservatif di hampir semua belahan dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, gelombang kemenangan ini sudah menyelimuti hampir semua negara di Eropa, bahkan kelompok ini sekarang mendominasi Uni Eropa. Terakhir jejak kemenangan kelompok Brexit dalam referendum di Inggris menunjukkan betapa ide-ide konservatif ini semakin menuai dukungan. Bahkan akhir 2016 lalu, kelompok konservatif ini juga berhasil mendudukan sosok kontroversial seperti Donald Trump ke kursi presiden Amerika Serikat. Dalam nuansa ideologis yang sama, kemenangan Bolsonaro dalam pilpres di Brasil kemarin, dianggap memiliki korelasinya dengan arus kemenangan konservatisme ini.
Konservatisme saat ini sudah sangat berbeda dengan selama ini kita kenal. Mereka sudah jauh lebih progresif bahkan radikal. Anthony Giddens menyatakan bahwa saat ini jalur politik radikal sudah dimotori bukan lagi oleh kelompok sosialis, melainkan justru konservatif. (Anthony Giddens: 2012) Akan tetapi, meski sudah lebih radikal, kerangka dasar pemikiran kelompok konservatif tidak hilang. Sebaliknya, fundamen-fundamen ini yang menstimulusi gerakan konservatisme di seluruh dunia. Teori-teori konservatif didasarkan pada pemahaman bahwa manusia secara alami jahat, dimotivasi oleh nurani dan impuls yang rendah, dan senantiasa siap untuk berbalik kepada keadaan kebuasan primitif. (Maurice Duverger: 2003)
Dalam hiruk-pikuk keamanan global yang semakin tidak menentu sekarang, perspektif kelompok konservatif terhadap sifat alami manusia, seperti menemukan pembenarannya. Bagaimana tidak, terorisme dan kekerasan acak terjadi hampir setiap pekan di seluruh negara di berbagai belahan dunia. Konflik antarnegara, krisis energi dan pangan, hingga ancaman kerusakan ekosistem global, telah menghadirkan kecemasan yang merata di semua negara. Dalam kerangka inilah ideologi konservatif menemukan momentumnya. Konservatisme yang saat ini begitu progresif dan radikal, sudah dianggap sebagai solusi dalam menyelesaikan semua persoalan keamanan. Jargon-jargon tentang nasionalisme, primordialisme, dan fundamentalisme agama menjadi ide yang sangat populis untuk dijadikan landasan pemikiran yang solutif. Pasalnya, jargon-jargon ini menawarkan sebuah justifikasi untuk melakukan segala tindakan yang dianggap perlu untuk mempertahankan diri.
Di Brasil, dalam beberapa tahun terakhir, tingkat kekerasan dan kriminalitas meningkat tajam, disusul dengan krisis ekonomi yang tak kunjung usai. Bila kita perhatikan, tumpuan isu yang dimainkan oleh kelompok konservatif di banyak negara, sudah berhasil mengambil alih isu-isu kelompok moderat dan sayap kiri. Isu-isu ekonomi kerakyatan, nasionalisme, dan keadilan, serta kesenjangan ekonomi adalah isu-isu kelompok sosialis yang berhasil diambil alih oleh mereka. Sementara kelompok sosialis dan moderat sendiri, sebagaimana menurut Anthony Giddens, saat ini justru terjebak dalam upaya mengamankan institusi-institusi kesejahteraan daripada terus menerus melanjutkan perjuangan yang progresif bagi masyarakat (Anthony Giddens: 2012).
Berkaca dari Brasil dan sejumlah negara lain yang berhasil direbut oleh kubu konservatif atau sayap kanan, banyak pelajaran penting yang bisa petik untuk Indonesia yang juga akan menyenggarakan pilpres pada 2019 nanti. Bagaimanapun, skema pertarungan pilpres yang akan datang, secara umum merefleksikan dinamika yang juga terjadi di sejumlah negara. Tinggal kita lihat, siapa yang lebih cepat belajar dari kasus yang sudah ada, dialah pemenangnya. Wallahu’alam bi sawab
(mhd)