Telah Capai 22%

Selasa, 13 November 2018 - 07:01 WIB
Telah Capai 22%
Telah Capai 22%
A A A
KENAIKAN harga beras berpengaruh pada angka kemiskinan di Indonesia. Setiap kenaikan harga beras sekitar 10% menghadirkan 1,2 juta orang miskin baru. Tentu muncul pertanyaan mengapa harga beras bisa menjadi pemicu kemiskinan? Sejauh mana kevalidan data tersebut? Bukankah persoalan data di negeri ini selalu berujung pada perdebatan tiada kejelasan? Pernyataan soal kenaikan harga beras memicu kemiskinan bukan dirilis dari pemerintah, melainkan bersumber dari data Bank Dunia (World Bank).Lonjakan harga beras yang mendongkrak kemiskinan, oleh ekonom senior World Bank, Vivi Alatas, dianggap wajar karena ¾ dari 263 juta penduduk Indonesia mengonsumsi beras. Vivi, yang menjadi salah seorang narasumber dalam sebuah diskusi di kampus Universitas Indonesia, pada awal pekan ini mengungkapkan bahwa di saat harga beras melonjak, sebanyak tiga orang yang dirugikan dan hanya satu orang yang diuntungkan. Hal yang lebih mencengangkan, ternyata harga beras di Indonesia jauh di atas harga rata-rata internasional yang mencapai 70%.
Masalah kemiskinan di Indonesia bisa berubah cepat setiap saat. Merujuk versi Bank Dunia, hal itu dipicu faktor bencana. Dicontohkan dengan mudah bencana alam membuat orang masuk dalam kategori miskin. Jadi, ada orang yang sudah lepas dari kemiskinan, tetapi miskin lagi karena bencana. Berdasarkan data World Bank, penduduk Indonesia yang tercatat masuk kelas atas sekitar 5%, lalu sekitar 22% sebagai kelas menengah. Adapun 45% berada di level sparing middle class, yakni di antara rentan miskin dan menengah, serta 9% masuk kategori miskin.
Dari analisis Bank Dunia, kelompok sparing middle class harus ditangani secara serius karena berpotensi besar turun menjadi rentan miskin. Idealnya, tugas pemerintah mendongkrak kelompok yang berada di level antara rentan miskin dan menengah untuk naik kelas menempati kategori menengah. Sebab kelompok menengah adalah salah satu motor pertumbuhan ekonomi. Dalam 16 tahun terakhir, pertumbuhan kelas menengah di Indonesia cukup melesat. Pada 2002, persentase kelompok menengah baru sekitar 7% dari populasi, dan 15 tahun kemudian tepatnya 2017 kelompok menengah sudah menembus sekitar 22%.
Kelas menengah sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi, mengutip versi Bank Dunia, dapat dilihat dari empat indikator. Pertama, kelas menengah adalah konsumen utama perekonomian. Data Bank Dunia menunjukkan sekitar 44% konsumsi berasal dari kelas menengah. Kedua , kelas menengah berinvestasi pada pendidikan, baik untuk diri sendiri maupun anaknya. Ketiga, pendapatan paling besar dari perempuan yang bekerja, meski angka partisipasi perempuan yang bekerja masih rendah dari populasi perempuan. Keempat , kelas menengah menciptakan lapangan pekerjaan. Bila dikaitkan dengan kondisi di Indonesia, maka pekerjaan besar pemerintah adalah bagaimana mendongkrak persentase kelas menengah.
Selama ini, berbagai upaya pemerintah dalam mengatasi kemiskinan di negeri ini, namun baru pada awal 2018 persentase angka kemiskinan berada di titik terendah (single digit) sebagaimana diakui pihak Badan Pusat Statistik (BPS) pada kisaran 9,82% atau setara dengan 25,95 juta penduduk miskin. Berdasarkan data BPS, angka kemiskinan mengalami fluktuasi dari 1970 hingga 2018 dengan kecenderungan menurun. BPS mencatat angka kemiskinan tertinggi pada 1970 dengan persentase penduduk miskin 60% atau sekitar 70 juta orang miskin.
Sukses pemerintah menekan persentase kemiskinan hingga di bawah 10%, sebagaimana diakui Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro karena dipengaruhi sejumlah faktor. Mulai dari bantuan sosial dari pemerintah mengucur tepat waktu, berupa bantuan pangan nontunai, beras sejahtera, Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar. Lalu, pengendalian inflasi yang terjaga sepanjang dari September 2017 hingga Maret 2018 pada level 1,92%. Untuk tahun depan pemerintah mematok persentase angka kemiskinan semakin melandai pada level 8,5% hingga 9,5%.
Karena itu, wajar pemerintah bereaksi keras ketika sejumlah pihak, dalam hal ini pihak oposisi, menuduh bahwa angka masyarakat miskin semakin bertambah, dan kekayaan negeri ini hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Pernyataan itu diklaim sebagai publikasi dari Bank Dunia yang dijadikan rujukan. Namun, pihak Bank Dunia justru membantah tak pernah merilis data seperti itu.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0828 seconds (0.1#10.140)