Jubir TKN: Politik Genderuwo, Cara Jokowi Ingatkan Rakyat
A
A
A
JAKARTA - Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal politik genderuwo adalah cara untuk membesarkan hati sekaligus meyakinkan masyarakat bahwa tak perlu jadi pesimis dan takut dengan upaya pihak tertentu yang terus berusaha menebar ketakutan.
Menurut Juru Bicara TKN Jokowi-KH Ma'ruf Amin, Arya Sinulingga, 'politik genderuwo' adalah bahasa lain dari firehose of falsehood, sebuah istilah asing yang belum tentu awam bagi masyarakat. Jokowi membumikannya menjadi 'politik genderuwo'. Dengan menyebutnya, Jokowi ingin membangkitkan optimisme dan keberanian rakyat Indonesia.
"Bahwa rakyat jangan mau ditakut-takuti. Ini seperti, ada orang yang menakut-nakuti, jangan lewat jalan itu karena ada genderuwo di sana. Pak Jokowi datang dan bilang jangan takut. Karena memang tak ketakutan itu, tak ada apa-apa di sana sebenarnya. Jadi jangan mau ditakut-takuti, mereka tak bicara fakta, hanya bluffing," beber Arya Sinulingga, Jumat (9/11/2018).
Dalam konteks lebih luas, lanjut Arya, pernyataan Presiden itu juga sebagai peringatan kepada semua pihak yang suka memakai politik genderuwo. Wujud politik genderuwo adalah suka menghantui, menakut-nakuti, membuat seakan-akan ada situasi mengerikan. Politik demikian berbeda dengan yang suka membawa kedamaian dan membangun optimisme.
Politik genderuwo itu juga suka mengada-adakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Sebagai contoh, kata Arya, berusaha membangun kepanikan dan kebencian lewat omongan bahwa harga barang-barang naik.
Atau pernyataan yang menyebut bahwa Indonesia di ambang kehancuran. Lalu pernyataan 90 persen rakyat Indonesia miskin. Niatnya tentu saja demi membangun ketakutan dan kecemasan soal masa depan Indonesia yang tak baik.
Padahal, faktanya, harga barang-barang sama sekali tidak naik. Indonesia pun sama sekali tak diambang kehancuran dan tak pula ada 90 persen masyarakat Indonesia berada dalam kemiskinan.
"Apa ada 90 persen masyarakat miskin? Padahal kemacetan ada dimana-mana karena mobil bertambah. Bukan hanya di Jakarta, tapi juga kota di daerah," ujar Arya.
"Lihat Lombok. Warga di sana bisa recovery dengan cepat. Aktivitas ekonomi sudah jalan lagi. Kalau miskin, kan tak mungkin bisa. Tak ada yang meminta-minta, jadi tak miskin," lanjutnya.
Namun, walau kondisi sebenarnya sudah jelas-jelas berbeda, para politisi itu terus menerus tanpa henti berusaha menyatakan kebohongannya. Mereka berusaha selalu meyakinkan sesuatu yang tak ada, menjadi ada di pikiran masyarakat.
"Itulah politik genderuwo. Genderuwo itu adalah hantu. Mereka berusaha menakut-nakuti. Yang tidak ada, berusaha diada-adakan," kata Arya.
Seharusnya, Arya mengatakan, kampanye yang baik adalah yang mendorong ide-ide baru, menjelaskan visi misi ke masyarakat dengan baik. Sehingga masyarakat berpikir memilih pemimpin yang bisa membawa kebaikan hidup bersama di masa mendatang.
"Jadi jangan ketakutan dibangun, supaya rakyat takut. Saya katakan, kalau yang bikin takut itu kan sebenarnya genderuwo," kata Arya.
Menurut Juru Bicara TKN Jokowi-KH Ma'ruf Amin, Arya Sinulingga, 'politik genderuwo' adalah bahasa lain dari firehose of falsehood, sebuah istilah asing yang belum tentu awam bagi masyarakat. Jokowi membumikannya menjadi 'politik genderuwo'. Dengan menyebutnya, Jokowi ingin membangkitkan optimisme dan keberanian rakyat Indonesia.
"Bahwa rakyat jangan mau ditakut-takuti. Ini seperti, ada orang yang menakut-nakuti, jangan lewat jalan itu karena ada genderuwo di sana. Pak Jokowi datang dan bilang jangan takut. Karena memang tak ketakutan itu, tak ada apa-apa di sana sebenarnya. Jadi jangan mau ditakut-takuti, mereka tak bicara fakta, hanya bluffing," beber Arya Sinulingga, Jumat (9/11/2018).
Dalam konteks lebih luas, lanjut Arya, pernyataan Presiden itu juga sebagai peringatan kepada semua pihak yang suka memakai politik genderuwo. Wujud politik genderuwo adalah suka menghantui, menakut-nakuti, membuat seakan-akan ada situasi mengerikan. Politik demikian berbeda dengan yang suka membawa kedamaian dan membangun optimisme.
Politik genderuwo itu juga suka mengada-adakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Sebagai contoh, kata Arya, berusaha membangun kepanikan dan kebencian lewat omongan bahwa harga barang-barang naik.
Atau pernyataan yang menyebut bahwa Indonesia di ambang kehancuran. Lalu pernyataan 90 persen rakyat Indonesia miskin. Niatnya tentu saja demi membangun ketakutan dan kecemasan soal masa depan Indonesia yang tak baik.
Padahal, faktanya, harga barang-barang sama sekali tidak naik. Indonesia pun sama sekali tak diambang kehancuran dan tak pula ada 90 persen masyarakat Indonesia berada dalam kemiskinan.
"Apa ada 90 persen masyarakat miskin? Padahal kemacetan ada dimana-mana karena mobil bertambah. Bukan hanya di Jakarta, tapi juga kota di daerah," ujar Arya.
"Lihat Lombok. Warga di sana bisa recovery dengan cepat. Aktivitas ekonomi sudah jalan lagi. Kalau miskin, kan tak mungkin bisa. Tak ada yang meminta-minta, jadi tak miskin," lanjutnya.
Namun, walau kondisi sebenarnya sudah jelas-jelas berbeda, para politisi itu terus menerus tanpa henti berusaha menyatakan kebohongannya. Mereka berusaha selalu meyakinkan sesuatu yang tak ada, menjadi ada di pikiran masyarakat.
"Itulah politik genderuwo. Genderuwo itu adalah hantu. Mereka berusaha menakut-nakuti. Yang tidak ada, berusaha diada-adakan," kata Arya.
Seharusnya, Arya mengatakan, kampanye yang baik adalah yang mendorong ide-ide baru, menjelaskan visi misi ke masyarakat dengan baik. Sehingga masyarakat berpikir memilih pemimpin yang bisa membawa kebaikan hidup bersama di masa mendatang.
"Jadi jangan ketakutan dibangun, supaya rakyat takut. Saya katakan, kalau yang bikin takut itu kan sebenarnya genderuwo," kata Arya.
(maf)