Berebut Dukungan Pesantren
A
A
A
Mohammad Nasih
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Pengasuh Pondok Pesantren Putra Fatahillah Jakarta dan Pondok Pesantren Darun Nashîhah MONÂSH INSTITUTE, Semarang.
PESANTREN merupakan salah satu basis politik yang sangat strategis. Sejak pemilu pertama, pesantren merupakan basis elektoral bagi partai politik (parpol) yang memiliki hubungan baik dengannya. Pada pemilu pertama 1955 di era Orde Lama, pesantren menjadi basis politik bagi Partai NU dan juga Partai Masyumi, bukan hanya karena keduanya merupakan partai politik Islam, tetapi juga karena tidak sedikit politisi dari kedua partai tersebut berlatar belakang dan bahkan pengasuh pesantren. Pada pemilu pertama itu, NU berhasil meraih 45 kursi, sehingga menjadi kekuatan politik yang tidak bisa diabaikan.
Setelah Masyumi dibubarkan pada 1960, sebagian pesantren mengalihkan dukungan kepada NU. Pada Orde Baru, peran tersebut juga tetap nampak, sehingga pada Pemilu 1971 NU meraih suara yang cukup besar. Dukungan suara tersebut tidak lepas dari keberhasilan NU dalam mengkonsolidasikan para santri. Setelah NU kembali kepada khiththah pada tahun 1983, dukungan para pemimpin pesantren yang berafiliasi dengan NU cukup solid untuk PPP. Hanya sebagian kecil saja yang menjadi pendukung Partai Golkar, seperti Kiai Ahmad Hamid Baidlawi Lasem.
Pascareformasi dan muncul partai-partai baru, yang paling dekat dengan pesantren adalah PPP dan PKB. Kehadiran PKB membuat elite politik dari kalangan pesantren terbelah. Tidak sedikit aktivis yang sudah sejak lama di PPP yang merupakan pengasuh pesantren-pesantren besar dan berpengaruh, pindah gerbong ke PKB, terutama karena pengaruh Gus Dur yang merupakan tokoh paling disegani di NU. Karena dukungan itulah, PKB mendapatkan dukungan suara yang signifikan, juga jumlah kursi di DPR, bahkan dengan segala dinamikanya menjadi modal untuk mengantarkan Gus Dur menjadi presiden, walaupun kemudian diturunkan di tengah jalan.
Perubahan mekanisme pemilihan pemimpin eksekutif yang semula dilakukan oleh anggota legislatif menjadi dipilih langsung oleh rakyat, dimulai dari pemilihan presiden secara langsung pada 2004, kemudian disusul dengan pilkada langsung, membuat pesantren menjadi rebutan para calon yang memang harus berburu dukungan elektoral. Di kantong-kantong PKB dan PPP, terutama di Jawa Timur dan beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat, tentu saja pesantren bisa dikatakan sudah pasti menjadi pendukung calon yang diusung oleh kedua partai tersebut. Namun, di daerah-daerah lain yang bukan basis kedua partai tersebut, calon-calon yang berasal dari berbagai partai selain keduanya berlomba untuk mendapatkan dukungan dari pesantren. Sebab, para calon merasa bahwa jarak mereka sebelumnya dengan pesantren sama, yakni sama-sama kurang dekat. Sebagian pesantren juga memanfaatkan momentum politik untuk mendapatkan "keuntungan" dari calon yang membutuhkan dukungan politik. Pesantren atau lebih tepatnya kiainya, diperhitungkan oleh para calon karena memiliki pengaruh kultural yang kuat dalam masyarakat.
Juga ketika pilpres diselenggarakan secara bersamaan dengan Pileg pada tahun 2019 nanti, pesantren masih dipandang sebagai basis politik yang tidak bisa diabaikan oleh para calon. Karena itulah, para calon seolah berlomba untuk menunjukkan kepada publik bahwa mereka memiliki kedekatan, atau bahkan mendapatkan dukungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari pengasuh-pengasuh pesantren. Sebab, dukungan dari para pengasuh pesantren dianggap masih bisa menghasilkan efek bola salju yang signifikan, berupa dukungan yang diberikan oleh para santri dan juga alumni pesantren beserta keluarga besarnya. Walaupun beberapa pemilu terakhir menunjukkan pengaruh kiai semakin menurun, para calon tetap tidak berani mengambil langkah meninggalkan begitu saja pesantren. Dengan kata lain, mengais dukungan dari pesantren tetap harus dilakukan, karena satu suara dalam pemilu secara langsung sangatlah menentukan.
Pada umumnya pesantren yang sudah berusia puluhan tahun memiliki jaringan yang kuat dalam masyarakat sampai tingkat akar rumput. Para kiai, karena peran sebagai pendidik di pesantren memiliki pengikut yang bisa dikatakan sangat fanatik. Mereka adalah para santri yang sudah menjalani kehidupan di bawah asuhan dan bimbingan kiai selama beberapa tahun. Kiai dianggap sebagai figur yang sangat berjasa dalam kehidupan mereka. Cara membalas jasa kiai di antaranya dengan menunjukkan ketaatan kepadanya, bahkan sebagian santri menunjukkan ketundukan dan kepatuhan sampai kepada pilihan politik. Ada pula bahkan yang bertanya kepada kiai tentang apa pilihan politik yang tepat pada satu waktu tertentu.
Selain itu, jaringan politik para kiai pesantren juga sangat mengakar, karena para kiai tidak hanya mengajar di pesantren. Mereka juga memenuhi permintaan untuk memberikan ceramah yang biasanya dilaksanakan dalam rangka memperingati hari-hari besar Islam, seperti maulid nabi, nuzulul qur’an , dan halal bi halal . Bahkan kiai juga sering diundang untuk memberikan mau’idhah hasanah dalam berbagai acara keluarga, mulai dari pernikahan, sunatan, kelahiran anak dan pemberian namannya. Acara-acara yang demikian secara tidak langsung menjadi semacam penjangkauan konstituen dengan posisi kiai sangat terhormat. Sebab, kiailah yang dibutuhkan oleh ummat atau masyarakat. Berbeda dengan politisi yang bukan kiai yang datang kepada masyarakat, justru berada pada posisi dengan tanpa daya tawar, bahkan sebaliknya masyarakatlah yang biasanya jual mahal, karena politisilah yang dianggap membutuhkan dukungan suara.
Terlebih jika kiai dikenal bukan aktivis partai tertentu, maka fatwanya untuk mendukung pihak tertentu bernilai sangat kuat. Sebab, jika sampai kiai yang dianggap netral memberikan pengarahan tertentu, itu dianggap telah melalui perenungan yang panjang mengenai efek baik dan buruknya. Walaupun sesungguhnya netralitas kiai pada politik tidak melulu karena benar-benar ingin netral, melainkan justru berdasarkan kalkulasi bahwa netralitas itulah yang bisa melahirkan pengaruh yang lebih besar dari ummat. Sebab, pada umumnya, ummat melihat kiai yang tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu sebagai kiai yang terbebas dari kepentingan dunia. Mereka tidak menganggap bahwa pengaruh kultural sesungguhnya juga merupakan kepentingan tersendiri. Sebab, dengan kekuatan pengaruh kultural, keuntungan-keuntungan duniawi juga bisa didapatkan. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Pengasuh Pondok Pesantren Putra Fatahillah Jakarta dan Pondok Pesantren Darun Nashîhah MONÂSH INSTITUTE, Semarang.
PESANTREN merupakan salah satu basis politik yang sangat strategis. Sejak pemilu pertama, pesantren merupakan basis elektoral bagi partai politik (parpol) yang memiliki hubungan baik dengannya. Pada pemilu pertama 1955 di era Orde Lama, pesantren menjadi basis politik bagi Partai NU dan juga Partai Masyumi, bukan hanya karena keduanya merupakan partai politik Islam, tetapi juga karena tidak sedikit politisi dari kedua partai tersebut berlatar belakang dan bahkan pengasuh pesantren. Pada pemilu pertama itu, NU berhasil meraih 45 kursi, sehingga menjadi kekuatan politik yang tidak bisa diabaikan.
Setelah Masyumi dibubarkan pada 1960, sebagian pesantren mengalihkan dukungan kepada NU. Pada Orde Baru, peran tersebut juga tetap nampak, sehingga pada Pemilu 1971 NU meraih suara yang cukup besar. Dukungan suara tersebut tidak lepas dari keberhasilan NU dalam mengkonsolidasikan para santri. Setelah NU kembali kepada khiththah pada tahun 1983, dukungan para pemimpin pesantren yang berafiliasi dengan NU cukup solid untuk PPP. Hanya sebagian kecil saja yang menjadi pendukung Partai Golkar, seperti Kiai Ahmad Hamid Baidlawi Lasem.
Pascareformasi dan muncul partai-partai baru, yang paling dekat dengan pesantren adalah PPP dan PKB. Kehadiran PKB membuat elite politik dari kalangan pesantren terbelah. Tidak sedikit aktivis yang sudah sejak lama di PPP yang merupakan pengasuh pesantren-pesantren besar dan berpengaruh, pindah gerbong ke PKB, terutama karena pengaruh Gus Dur yang merupakan tokoh paling disegani di NU. Karena dukungan itulah, PKB mendapatkan dukungan suara yang signifikan, juga jumlah kursi di DPR, bahkan dengan segala dinamikanya menjadi modal untuk mengantarkan Gus Dur menjadi presiden, walaupun kemudian diturunkan di tengah jalan.
Perubahan mekanisme pemilihan pemimpin eksekutif yang semula dilakukan oleh anggota legislatif menjadi dipilih langsung oleh rakyat, dimulai dari pemilihan presiden secara langsung pada 2004, kemudian disusul dengan pilkada langsung, membuat pesantren menjadi rebutan para calon yang memang harus berburu dukungan elektoral. Di kantong-kantong PKB dan PPP, terutama di Jawa Timur dan beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat, tentu saja pesantren bisa dikatakan sudah pasti menjadi pendukung calon yang diusung oleh kedua partai tersebut. Namun, di daerah-daerah lain yang bukan basis kedua partai tersebut, calon-calon yang berasal dari berbagai partai selain keduanya berlomba untuk mendapatkan dukungan dari pesantren. Sebab, para calon merasa bahwa jarak mereka sebelumnya dengan pesantren sama, yakni sama-sama kurang dekat. Sebagian pesantren juga memanfaatkan momentum politik untuk mendapatkan "keuntungan" dari calon yang membutuhkan dukungan politik. Pesantren atau lebih tepatnya kiainya, diperhitungkan oleh para calon karena memiliki pengaruh kultural yang kuat dalam masyarakat.
Juga ketika pilpres diselenggarakan secara bersamaan dengan Pileg pada tahun 2019 nanti, pesantren masih dipandang sebagai basis politik yang tidak bisa diabaikan oleh para calon. Karena itulah, para calon seolah berlomba untuk menunjukkan kepada publik bahwa mereka memiliki kedekatan, atau bahkan mendapatkan dukungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari pengasuh-pengasuh pesantren. Sebab, dukungan dari para pengasuh pesantren dianggap masih bisa menghasilkan efek bola salju yang signifikan, berupa dukungan yang diberikan oleh para santri dan juga alumni pesantren beserta keluarga besarnya. Walaupun beberapa pemilu terakhir menunjukkan pengaruh kiai semakin menurun, para calon tetap tidak berani mengambil langkah meninggalkan begitu saja pesantren. Dengan kata lain, mengais dukungan dari pesantren tetap harus dilakukan, karena satu suara dalam pemilu secara langsung sangatlah menentukan.
Pada umumnya pesantren yang sudah berusia puluhan tahun memiliki jaringan yang kuat dalam masyarakat sampai tingkat akar rumput. Para kiai, karena peran sebagai pendidik di pesantren memiliki pengikut yang bisa dikatakan sangat fanatik. Mereka adalah para santri yang sudah menjalani kehidupan di bawah asuhan dan bimbingan kiai selama beberapa tahun. Kiai dianggap sebagai figur yang sangat berjasa dalam kehidupan mereka. Cara membalas jasa kiai di antaranya dengan menunjukkan ketaatan kepadanya, bahkan sebagian santri menunjukkan ketundukan dan kepatuhan sampai kepada pilihan politik. Ada pula bahkan yang bertanya kepada kiai tentang apa pilihan politik yang tepat pada satu waktu tertentu.
Selain itu, jaringan politik para kiai pesantren juga sangat mengakar, karena para kiai tidak hanya mengajar di pesantren. Mereka juga memenuhi permintaan untuk memberikan ceramah yang biasanya dilaksanakan dalam rangka memperingati hari-hari besar Islam, seperti maulid nabi, nuzulul qur’an , dan halal bi halal . Bahkan kiai juga sering diundang untuk memberikan mau’idhah hasanah dalam berbagai acara keluarga, mulai dari pernikahan, sunatan, kelahiran anak dan pemberian namannya. Acara-acara yang demikian secara tidak langsung menjadi semacam penjangkauan konstituen dengan posisi kiai sangat terhormat. Sebab, kiailah yang dibutuhkan oleh ummat atau masyarakat. Berbeda dengan politisi yang bukan kiai yang datang kepada masyarakat, justru berada pada posisi dengan tanpa daya tawar, bahkan sebaliknya masyarakatlah yang biasanya jual mahal, karena politisilah yang dianggap membutuhkan dukungan suara.
Terlebih jika kiai dikenal bukan aktivis partai tertentu, maka fatwanya untuk mendukung pihak tertentu bernilai sangat kuat. Sebab, jika sampai kiai yang dianggap netral memberikan pengarahan tertentu, itu dianggap telah melalui perenungan yang panjang mengenai efek baik dan buruknya. Walaupun sesungguhnya netralitas kiai pada politik tidak melulu karena benar-benar ingin netral, melainkan justru berdasarkan kalkulasi bahwa netralitas itulah yang bisa melahirkan pengaruh yang lebih besar dari ummat. Sebab, pada umumnya, ummat melihat kiai yang tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu sebagai kiai yang terbebas dari kepentingan dunia. Mereka tidak menganggap bahwa pengaruh kultural sesungguhnya juga merupakan kepentingan tersendiri. Sebab, dengan kekuatan pengaruh kultural, keuntungan-keuntungan duniawi juga bisa didapatkan. Wallahu a’lam bi al-shawab.
(mhd)