Polemik Dana Kelurahan
A
A
A
Polemik mengenai rencana pemerintah yang mengalokasikan dana kelurahan terus bergulir, bahkan cenderung bernuansa politis. Pasalnya kelompok partai politik pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam beberapa kesempatan menyampaikan penolakan terkait rencana pemerintah tersebut. Kebijakan itu dianggap sebagai bagian dari strategi politik menjelang Pemilu 2019.
Sebagaimana diketahui, pemerintah berencana mengalokasikan anggaran untuk kelurahan mulai 2019. Besaran dana yang dipersiapkan adalah sebesar Rp3 triliun. Dana kelurahan ini diusulkan pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan masuk dalam postur APBN 2019, dengan mengambil pos anggaran dari dana desa.
Dalam postur APBN 2019, Kementerian Keuangan mengusulkan dana desa dipangkas dari Rp73 triliun menjadi Rp70 triliun. Dana potongan itu dialihkan menjadi dana kelurahan.
Menurut Menteri Keuangan RI Sri Mulyani, usulan pengalokasian dana kelurahan awalnya mencuat saat rapat pemerintah dengan wali kota, pemerintah daerah, dan DPR. Ada keluhan dari kelurahan di kabupaten yang mengeluhkan tak mendapatkan jatah dari dana desa.
Kecemburuan muncul dari kelurahan terhadap pemerintahan desa lantaran tak mendapatkan anggaran. Muncullah ide untuk menganggarkan dana kelurahan agar menciptakan harmonisasi di daerah.
Belum Ada Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 6/2014 tentang Desa jelas memberikan dasar hukum bagi dana desa, dengan menggunakan instrumen APBDesa. Dasar hukum mengenai kelurahan tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18/2016 tentang Perangkat Daerah, yaitu Pasal 52 ayat (1) dengan jelas menyebutkan bahwa kelurahan merupakan perangkat kecamatan yang dibentuk untuk membantu atau melaksanakan sebagian tugas camat.
Mengenai alokasi dana untuk kelurahan dengan jelas juga tertuang dalam Pasal 230 Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Desa. Dalam undang-undang tersebut Pasal 230 ayat (1) disebut, "Pemerintah daerah kabupaten/kota mengalokasikan anggaran dalam APBN kabupaten/kota untuk pembangunan sarana dan prasarana lokal kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di kelurahan.
"Berikutnya ayat (2) menyebutkan, "Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimasukkan ke dalam anggaran kecamatan pada bagian anggaran kelurahan untuk dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk penentuan kegiatan-kegiatan sarana dan prasarana sebagaimana Pasal 230 ayat (3) ditentukan melalui mekanisme musyawarah pembangunan kelurahan.
Merujuk pada ketentuan peraturan perundangan tersebut di atas, jelas bahwa regulasi alokasi anggaran bagi kelurahan dan tata kelola keuangan kelurahan semuanya harus merujuk pada tata kelola keuangan daerah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23/2014.
Dengan skema rencana pembangunan daerah yang diatur mulai dari Pasal 260 sampai 266 Undang-Undang Pemda, dan tentunya harus tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah baik dalam bentuk RPJPD, RPJMD dan RKPD sebagaimana ketentuan dalam Pasal 263.
Dengan demikian, jika pemerintah berencana mengalokasikan dana kelurahan pada porsi APBN 2019, sebenarnya belum ada dasar hukumnya. Hal inilah yang seyogianya dilakukan pemerintah sebelum menggulirkan rencana alokasi dana kelurahan, yakni menyiapkan landasan hukum bagi alokasi dana kelurahan, yang antara lain mengatur mengenai sumber alokasi, besaran dana kelurahan, peruntukan, evaluasi, mekanisme pertanggungjawaban pengelolaan dananya dan sebagainya.
Belum adanya landasan hukum atau nomenklatur mengenai alokasi dana kelurahan, maka menjadi sangat wajar jika di tahun politik ini rencana pemerintah tersebut dianggap menjadi kebijakan politis, khususnya terkait dengan “agenda-agenda” terselubung terkait dengan Pemilu 2019.
Masih Banyak PR
Terlepas dari polemik tersebut, masih banyak PR yang harus dilakukan oleh pemerintah, khususnya mengenai tata kelola dan pengentasan kemiskinan di perdesaan.
Salah satu program unggulan yang kerap digaungkan oleh pemerintah adalah melalui optimalisasi dana desa yang menjadi salah satu instrumen pemerintah untuk menurunkan tingkat kemiskinan sekaligus mendongkrak daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah di lingkungan perdesaan.
Jika kita menilik ke belakang, terdapat tren kenaikan alokasi dana desa dalam postur APBN dari tahun ke tahun. Pada 2015 dana desa tercatat Rp21,7 triliun, pada 2016 naik menjadi Rp49,6 triliun dan di 2017 mencapai Rp60 triliun, dan pada 2018 masih sama, sekitar Rp60 triliun, dengan sasaran 74.958 desa.
Sejak UU Desa diundangkan, alokasi dana desa memang mengalami peningkatan cukup signifikan, sementara tren penurunan angka kemiskinan di perdesaan bisa dikatakan persentasenya cukup kecil.
Alhasil, banyak pihak yang kemudian mempertanyakan efektivitas dana desa, baik secara peruntukan maupun alokasi penggunaannya yang dianggap tidak tepat sasaran sehingga kurang berdampak pada pengurangan angka kemiskinan.
Dalam Permendes Nomor 5/2015 disebutkan bahwa prioritas penggunaan dana desa untuk pembangunan desa harus memenuhi empat prioritas utama, yakni pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Keempat prioritas utama tersebut memang menjawab berbagai studi yang sudah dilakukan mengenai faktor-faktor penyebab kemiskinan di perdesaan. Di antaranya adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat “tersumbatnya” aksesibilitas masyarakat perdesaan terhadap sumber-sumber daya ekonomi, seperti infrastruktur, telekomunikasi dan informasi, pasar dan sebagainya.
Sebab lainnya ialah adanya ketimpangan mengenai pelayanan dan pemberian hak-hak dasar masyarakat seperti hak atas akses pendidikan dan kesehatan yang sama.
Dengan demikian, pemerintah harus berani mengambil langkah-langkah strategis agar fungsi dana desa benar-benar menjadi stimulus dalam rangka mengurangi angka kemiskinan di perdesaan. Beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut.
Pertama, spasial ekonomi desa. Pemerintah perlu untuk membuat mapping skala ekonomi perdesaan dari semua desa yang ada di Indonesia. Output-nya adalah klusterisasi perdesaan berbasis potensi seperti desa wisata, desa pertanian, desa nelayan, serta kluster-kluster lain, sesuai potensi yang dimiliki oleh desa tersebut.
Kedua, menjadikan desa mandiri sebagai penopang utama kedaulatan pangan, kedaulatan energi dan kedaulatan ekonomi, yang semuanya berbasis potensi yang dimiliki desa.
Karena itu, hal ini harus direncanakan dengan matang oleh pemerintah pusat bersama pemerintah daerah dan pemerintah desa sehingga perencanaan pembangunan desa benar-benar dapat menyinergiskan dua arus utama kebutuhan masyarakat perdesaan, yakni sarana prasarana dalam rangka mendukung pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti pos kesehatan desa dan polindes, pengelolaan dan pembinaan posyandu, pembinaan dan pengelolaan pendidikan anak usia dini.
Semua perencanaan program pembangunan sebagaimana yang disebutkan di atas harus tetap fokus pada pembangunan masyarakat desa melalui mekanisme swakelola, pemanfaatan bahan baku lokal, dan skema padat karya yang produktif. Dengan begitu, partisipasi masyarakat tetap menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan kegiatan.
Sebagaimana diketahui, pemerintah berencana mengalokasikan anggaran untuk kelurahan mulai 2019. Besaran dana yang dipersiapkan adalah sebesar Rp3 triliun. Dana kelurahan ini diusulkan pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan masuk dalam postur APBN 2019, dengan mengambil pos anggaran dari dana desa.
Dalam postur APBN 2019, Kementerian Keuangan mengusulkan dana desa dipangkas dari Rp73 triliun menjadi Rp70 triliun. Dana potongan itu dialihkan menjadi dana kelurahan.
Menurut Menteri Keuangan RI Sri Mulyani, usulan pengalokasian dana kelurahan awalnya mencuat saat rapat pemerintah dengan wali kota, pemerintah daerah, dan DPR. Ada keluhan dari kelurahan di kabupaten yang mengeluhkan tak mendapatkan jatah dari dana desa.
Kecemburuan muncul dari kelurahan terhadap pemerintahan desa lantaran tak mendapatkan anggaran. Muncullah ide untuk menganggarkan dana kelurahan agar menciptakan harmonisasi di daerah.
Belum Ada Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 6/2014 tentang Desa jelas memberikan dasar hukum bagi dana desa, dengan menggunakan instrumen APBDesa. Dasar hukum mengenai kelurahan tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18/2016 tentang Perangkat Daerah, yaitu Pasal 52 ayat (1) dengan jelas menyebutkan bahwa kelurahan merupakan perangkat kecamatan yang dibentuk untuk membantu atau melaksanakan sebagian tugas camat.
Mengenai alokasi dana untuk kelurahan dengan jelas juga tertuang dalam Pasal 230 Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Desa. Dalam undang-undang tersebut Pasal 230 ayat (1) disebut, "Pemerintah daerah kabupaten/kota mengalokasikan anggaran dalam APBN kabupaten/kota untuk pembangunan sarana dan prasarana lokal kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di kelurahan.
"Berikutnya ayat (2) menyebutkan, "Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimasukkan ke dalam anggaran kecamatan pada bagian anggaran kelurahan untuk dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk penentuan kegiatan-kegiatan sarana dan prasarana sebagaimana Pasal 230 ayat (3) ditentukan melalui mekanisme musyawarah pembangunan kelurahan.
Merujuk pada ketentuan peraturan perundangan tersebut di atas, jelas bahwa regulasi alokasi anggaran bagi kelurahan dan tata kelola keuangan kelurahan semuanya harus merujuk pada tata kelola keuangan daerah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23/2014.
Dengan skema rencana pembangunan daerah yang diatur mulai dari Pasal 260 sampai 266 Undang-Undang Pemda, dan tentunya harus tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah baik dalam bentuk RPJPD, RPJMD dan RKPD sebagaimana ketentuan dalam Pasal 263.
Dengan demikian, jika pemerintah berencana mengalokasikan dana kelurahan pada porsi APBN 2019, sebenarnya belum ada dasar hukumnya. Hal inilah yang seyogianya dilakukan pemerintah sebelum menggulirkan rencana alokasi dana kelurahan, yakni menyiapkan landasan hukum bagi alokasi dana kelurahan, yang antara lain mengatur mengenai sumber alokasi, besaran dana kelurahan, peruntukan, evaluasi, mekanisme pertanggungjawaban pengelolaan dananya dan sebagainya.
Belum adanya landasan hukum atau nomenklatur mengenai alokasi dana kelurahan, maka menjadi sangat wajar jika di tahun politik ini rencana pemerintah tersebut dianggap menjadi kebijakan politis, khususnya terkait dengan “agenda-agenda” terselubung terkait dengan Pemilu 2019.
Masih Banyak PR
Terlepas dari polemik tersebut, masih banyak PR yang harus dilakukan oleh pemerintah, khususnya mengenai tata kelola dan pengentasan kemiskinan di perdesaan.
Salah satu program unggulan yang kerap digaungkan oleh pemerintah adalah melalui optimalisasi dana desa yang menjadi salah satu instrumen pemerintah untuk menurunkan tingkat kemiskinan sekaligus mendongkrak daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah di lingkungan perdesaan.
Jika kita menilik ke belakang, terdapat tren kenaikan alokasi dana desa dalam postur APBN dari tahun ke tahun. Pada 2015 dana desa tercatat Rp21,7 triliun, pada 2016 naik menjadi Rp49,6 triliun dan di 2017 mencapai Rp60 triliun, dan pada 2018 masih sama, sekitar Rp60 triliun, dengan sasaran 74.958 desa.
Sejak UU Desa diundangkan, alokasi dana desa memang mengalami peningkatan cukup signifikan, sementara tren penurunan angka kemiskinan di perdesaan bisa dikatakan persentasenya cukup kecil.
Alhasil, banyak pihak yang kemudian mempertanyakan efektivitas dana desa, baik secara peruntukan maupun alokasi penggunaannya yang dianggap tidak tepat sasaran sehingga kurang berdampak pada pengurangan angka kemiskinan.
Dalam Permendes Nomor 5/2015 disebutkan bahwa prioritas penggunaan dana desa untuk pembangunan desa harus memenuhi empat prioritas utama, yakni pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Keempat prioritas utama tersebut memang menjawab berbagai studi yang sudah dilakukan mengenai faktor-faktor penyebab kemiskinan di perdesaan. Di antaranya adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat “tersumbatnya” aksesibilitas masyarakat perdesaan terhadap sumber-sumber daya ekonomi, seperti infrastruktur, telekomunikasi dan informasi, pasar dan sebagainya.
Sebab lainnya ialah adanya ketimpangan mengenai pelayanan dan pemberian hak-hak dasar masyarakat seperti hak atas akses pendidikan dan kesehatan yang sama.
Dengan demikian, pemerintah harus berani mengambil langkah-langkah strategis agar fungsi dana desa benar-benar menjadi stimulus dalam rangka mengurangi angka kemiskinan di perdesaan. Beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut.
Pertama, spasial ekonomi desa. Pemerintah perlu untuk membuat mapping skala ekonomi perdesaan dari semua desa yang ada di Indonesia. Output-nya adalah klusterisasi perdesaan berbasis potensi seperti desa wisata, desa pertanian, desa nelayan, serta kluster-kluster lain, sesuai potensi yang dimiliki oleh desa tersebut.
Kedua, menjadikan desa mandiri sebagai penopang utama kedaulatan pangan, kedaulatan energi dan kedaulatan ekonomi, yang semuanya berbasis potensi yang dimiliki desa.
Karena itu, hal ini harus direncanakan dengan matang oleh pemerintah pusat bersama pemerintah daerah dan pemerintah desa sehingga perencanaan pembangunan desa benar-benar dapat menyinergiskan dua arus utama kebutuhan masyarakat perdesaan, yakni sarana prasarana dalam rangka mendukung pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti pos kesehatan desa dan polindes, pengelolaan dan pembinaan posyandu, pembinaan dan pengelolaan pendidikan anak usia dini.
Semua perencanaan program pembangunan sebagaimana yang disebutkan di atas harus tetap fokus pada pembangunan masyarakat desa melalui mekanisme swakelola, pemanfaatan bahan baku lokal, dan skema padat karya yang produktif. Dengan begitu, partisipasi masyarakat tetap menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan kegiatan.
(nag)