Polemik Sampah DKI Jakarta-Bekasi
A
A
A
Masalah persampahan kembali menyeret Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi ke dalam pusaran konflik. Kali ini pokok masalahnya adalah dana kemitraan yang diminta Pemkot Bekasi sebagai kompensasi sebagian wilayahnya dijadikan sebagai tempat pembuangan akhir sampah oleh Pemprov DKI Jakarta.
Polemik dua lembaga pemerintahan ini sesungguhnya tidak perlu terjadi jika dua pihak mampu melakukan komunikasi dengan baik. Alih-alih duduk bersama mencari solusi, yang terjadi justru polemik ini tiba-tiba mengemuka dan membesar melalui pemberitaan media massa.Akibat dari polemik ini, truk sampah milik Pemprov DKI sempat ditahan oleh Dishub Kota Bekasi saat menuju Bantargebang. Pencegatan tersebut dengan alasan Pemprov DKI tidak menunaikan kewajiban yang sudah diteken dengan Pemkot Bekasi terkait pengangkutan sampah.
Mau tak mau DKI sebagai pemilik sampah langsung mendapat sorotan karena dianggap lalai menunaikan kewajibannya. Sempat muncul isu seolah-olah sumber masalahnya adalah dana kompensasi bau sampah yang harus dibayarkan Pemprov DKI ke Pemkot Bekasi belum dilunasi. Selama ini DKI memang harus menyiapkan dana kompensasi bau sampah bagi warga Bekasi yang permukimannya dilewati truk-truk pengangkut sampah dari Ibu Kota. Setiap tahunnya DKI harus membayar hingga ratusan miliar untuk membayar dana kompensasi tersebut.
Namun, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan buru-buru menepis anggapan tersebut. Dia mengklaim masalah sesungguhnya bukan soal pembayaran dana kompensasi bau sampah karena kewajiban DKI itu sudah ditunaikan sejak Mei 2018. Akar masalah justru pada dana kemitraan yang diminta Pemkot Bekasi.
Dana kemitraan yang sifatnya hibah ini tidak berkaitan langsung dengan urusan sampah dan di luar perjanjian dana sampah. Dana kemitraan yang diminta Pemkot Bekasi ini tujuannya untuk pembangunan beberapa proyek. Nominal dana yang diminta mencapai Rp2 triliun untuk pembiayaan proyek flyover Rawa Panjang senilai Rp188 miliar, proyek flyover Cipendawa senilai Rp372 miliar, dan peningkatan fasilitas penerangan jalan umum Kota Bekasi senilai Rp5 miliar.
Sebelum membayar dana kemitraan ini, menurut Anies, pihak DKI terlebih dulu meminta Pemkot Bekasi agar menyiapkan perincian penggunaan dana tersebut. Perincian tersebut diminta ke Bekasi sejak Mei 2018, namun baru diserahkan pada 18 Oktober 2018. Namun, hampir berbarengan dengan diserahkannya rincian dana tersebut mendadak kasus ini ramai di media massa. Anies menyebut hal tersebut sebagai upaya penggiringan opini.
Di lain pihak, Pemkot Bekasi meradang karena menilai Anies dan jajarannya tidak kooperatif menyelesaikan persoalan penyaluran dana hibah tersebut. Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menyebut bantuan keuangan terkait pengelolaan sampah DKI Jakarta ke Kota Bekasi bukan masalah nominal, tapi menyangkut perjanjian yang pernah dibuat sehingga sepatutnya ditepati oleh kedua belah pihak.
Diakui atau tidak posisi tawar Pemprov DKI terkait masalah persampahan memang selalu lemah. Sebabnya, DKI sangat bergantung dengan Bekasi dalam urusan pembuangan sampah. Bisa dibayangkan betapa kelabakannya Pemprov DKI jika tiba-tiba Bekasi menolak untuk dijadikan “tempat sampah” oleh warga Ibu Kota. Pendeknya, DKI memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap daerah tetangganya tersebut. Sisi lemah DKI ini sepertinya cukup dimanfaatkan oleh Pemkot Bekasi untuk terus menaikkan posisi tawarnya.
Betapapun tajamnya polemik yang terjadi, proses pembuangan sampah di Bantargebang, Bekasi, diharapkan bisa terus berjalan. Jika pun Pemkot Bekasi memiliki aspirasi atau permintaan ke DKI, seyogianya itu disampaikan secara baik, bukan malah menciptakan polemik di media. Dua pihak perlu segera duduk bersama untuk merumuskan solusi yang sama-sama menguntungkan dua pihak. Aktif berkomunikasi jauh lebih baik ketimbang berpolemik di media yang malah kemungkinan melebar ke hal lain yang tidak lagi berkaitan dengan masalah sampah.
Selain itu, masalah ini harus dijauhkan dari urusan politis. Jangan sampai ada upaya penggiringan opini dengan memanfaatkan isu persampahan yang memang cukup sensitif dan kerap memicu polemik antara Pemrov DKI dengan Pemkot Bekasi.
Polemik dua lembaga pemerintahan ini sesungguhnya tidak perlu terjadi jika dua pihak mampu melakukan komunikasi dengan baik. Alih-alih duduk bersama mencari solusi, yang terjadi justru polemik ini tiba-tiba mengemuka dan membesar melalui pemberitaan media massa.Akibat dari polemik ini, truk sampah milik Pemprov DKI sempat ditahan oleh Dishub Kota Bekasi saat menuju Bantargebang. Pencegatan tersebut dengan alasan Pemprov DKI tidak menunaikan kewajiban yang sudah diteken dengan Pemkot Bekasi terkait pengangkutan sampah.
Mau tak mau DKI sebagai pemilik sampah langsung mendapat sorotan karena dianggap lalai menunaikan kewajibannya. Sempat muncul isu seolah-olah sumber masalahnya adalah dana kompensasi bau sampah yang harus dibayarkan Pemprov DKI ke Pemkot Bekasi belum dilunasi. Selama ini DKI memang harus menyiapkan dana kompensasi bau sampah bagi warga Bekasi yang permukimannya dilewati truk-truk pengangkut sampah dari Ibu Kota. Setiap tahunnya DKI harus membayar hingga ratusan miliar untuk membayar dana kompensasi tersebut.
Namun, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan buru-buru menepis anggapan tersebut. Dia mengklaim masalah sesungguhnya bukan soal pembayaran dana kompensasi bau sampah karena kewajiban DKI itu sudah ditunaikan sejak Mei 2018. Akar masalah justru pada dana kemitraan yang diminta Pemkot Bekasi.
Dana kemitraan yang sifatnya hibah ini tidak berkaitan langsung dengan urusan sampah dan di luar perjanjian dana sampah. Dana kemitraan yang diminta Pemkot Bekasi ini tujuannya untuk pembangunan beberapa proyek. Nominal dana yang diminta mencapai Rp2 triliun untuk pembiayaan proyek flyover Rawa Panjang senilai Rp188 miliar, proyek flyover Cipendawa senilai Rp372 miliar, dan peningkatan fasilitas penerangan jalan umum Kota Bekasi senilai Rp5 miliar.
Sebelum membayar dana kemitraan ini, menurut Anies, pihak DKI terlebih dulu meminta Pemkot Bekasi agar menyiapkan perincian penggunaan dana tersebut. Perincian tersebut diminta ke Bekasi sejak Mei 2018, namun baru diserahkan pada 18 Oktober 2018. Namun, hampir berbarengan dengan diserahkannya rincian dana tersebut mendadak kasus ini ramai di media massa. Anies menyebut hal tersebut sebagai upaya penggiringan opini.
Di lain pihak, Pemkot Bekasi meradang karena menilai Anies dan jajarannya tidak kooperatif menyelesaikan persoalan penyaluran dana hibah tersebut. Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menyebut bantuan keuangan terkait pengelolaan sampah DKI Jakarta ke Kota Bekasi bukan masalah nominal, tapi menyangkut perjanjian yang pernah dibuat sehingga sepatutnya ditepati oleh kedua belah pihak.
Diakui atau tidak posisi tawar Pemprov DKI terkait masalah persampahan memang selalu lemah. Sebabnya, DKI sangat bergantung dengan Bekasi dalam urusan pembuangan sampah. Bisa dibayangkan betapa kelabakannya Pemprov DKI jika tiba-tiba Bekasi menolak untuk dijadikan “tempat sampah” oleh warga Ibu Kota. Pendeknya, DKI memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap daerah tetangganya tersebut. Sisi lemah DKI ini sepertinya cukup dimanfaatkan oleh Pemkot Bekasi untuk terus menaikkan posisi tawarnya.
Betapapun tajamnya polemik yang terjadi, proses pembuangan sampah di Bantargebang, Bekasi, diharapkan bisa terus berjalan. Jika pun Pemkot Bekasi memiliki aspirasi atau permintaan ke DKI, seyogianya itu disampaikan secara baik, bukan malah menciptakan polemik di media. Dua pihak perlu segera duduk bersama untuk merumuskan solusi yang sama-sama menguntungkan dua pihak. Aktif berkomunikasi jauh lebih baik ketimbang berpolemik di media yang malah kemungkinan melebar ke hal lain yang tidak lagi berkaitan dengan masalah sampah.
Selain itu, masalah ini harus dijauhkan dari urusan politis. Jangan sampai ada upaya penggiringan opini dengan memanfaatkan isu persampahan yang memang cukup sensitif dan kerap memicu polemik antara Pemrov DKI dengan Pemkot Bekasi.
(rhs)