Lelucon yang Berbahaya
A
A
A
Semakin terbukti bahwa melucu itu tidak mudah. Maka KORAN SINDO edisi Kamis (04/10) memuat berita dengan judul 'Dagelan Tak Lucu Ratna Sarumpaet' di halaman nasionalnya, selain mengulas secara khusus 'dagelan' itu di rubrik editorial Tajuk.
Untuk bisa lucu dengan baik dan benar memang perlu ilmu. Itu mengapa Arwah Setiawan menciptakan adagium "Humor itu Serius". Adagium ini bahkan dijadikan sebuah kajian khusus sekaligus judul buku oleh M Agus Suhadi (1989). Disampaikan bahwa humor yang selalu identik dengan kelucuan memiliki dimensi yang serius. Dan ini paradoks: humor menawarkan sebuah dimensi kelucuan yang lekat dengan ketidakseriusan, namun harus sangat serius dalam proses penciptaannya.
Kelucuan tidak bisa serta-merta timbul tanpa perencanaan yang matang. Ia sedikit berbeda dengan kelucuan spontan, yang sering muncul dalam konteks dadakan, namun tepat momentum. Dalam kelucuan yang terencana, humor harus melibatkan berbagai disiplin ilmu lain, seperti ilmu pengetahuan ataupun ilmu sosial sebagai dasar eksplorasi konten utama humor.
Lalu, diperlukan juga ilmu komunikasi terkait dengan bagaimana menyajikan dan mentransfernya kepada orang lain sehingga sukses sebagaimana tujuan melucu. Tak ketinggalan juga ilmu psikologi karena materi dan cara penyampaian humor ke publik harus melihat siapa audience atau penerima pesan humornya.
Kisah tentang bagaimana sulitnya membuat lelucon diceritakan dengan sangat bagus oleh Agus Noor dalam Lelucon Para Koruptor. Cerita pendek ini berkisah tentang betapa “kewajiban” para tahanan korupsi menyiapkan lelucon yang akan ditampilkan di 'tadarus lelucon' sebuah pertemuan rutin mingguan para napi koruptor itu sangat menggelisahkan Pak Otok, tokoh utama cerita pendek itu.
“Forum” di rumah tahanan itu selalu membuat mual Pak Otok karena, selain memang tidak piawai melucu, ia tak pernah yakin bahwa lelucon yang dibawakannya akan dianggap lucu oleh para penghuni tahanan lain kendati dia memperolehnya dari sumber yang sangat kredibel kelucuannya. Apalagi, 'forum' setiap malam Rabu itu akan memilih seorang pemenang yang akan dinaikkan 'martabatnya', yaitu selama seminggu ke depan sang pemenang akan dilayani oleh tahanan korupsi yang dianggap paling tidak lucu.
Itu pula yang didapatkannya sebagai penghuni baru tahanan: menjadi jongos bagi Pak Hakil yang ketika itu ditetapkan sebagai pemenang. Pengalaman itu membuat Pak Otok selalu gelisah dan stres ketika harus menyiapkan lelucon di minggu-minggu berikutnya.
Anatomi Humor
Kembali ke betapa seriusnya proses penciptaan humor, kita bisa melihat berbagai anatomi humor sebagaimana disajikan Darminto M Sudarmo-kartunis yang juga kolumnis masalah sosial budaya di dalam bukunya, Anatomi Lelucon di Indonesia (2004).
Lelucon yang dipersiapkan secara serius dan 'sengaja' mengenal beberapa tipe kreasi atau stilisasi. Pertama, guyon parikena. Isi leluconnya agak nakal dan menyindir, meski sindirannya tidak tajam. Biasanya dilakukan untuk menyindir pihak lain yang lebih dihormati (atasan, orang yang lebih tua, dan lain-lain). Beberapa orang menyebutnya dengan lelucon persuasif.
Kedua, satire. Sama-sama menyindir atau mengkritik, namun muatan ejekannya lebih dominan. Ketiga, sinisme. Gaya lelucon yang cenderung merendahkan pihak lain yang berseberangan sikap atau pendapat. Targetnya lebih jelas: membuat pihak yang 'diserang' mati kutu.
Keempat, plesetan. Biasa disebut juga dengan parodi. Isinya memelesetkan segala sesuatu yang sudah mapan atau populer, dan biasa dipakai sebagai alat eskapisme dalam menyikapi kesumpekan keadaan. Sifatnya kerap spontan dan surprise, mengundang tawa, dan mencairkan suasana.
Kelima, slapstick. Lelucon yang kasar dan vulgar. Biasa ada di film kartun, atau ditampilkan dalam sebuah tontonan dengan latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial yang (maaf) rendah. Dalam tipe lelucon ini, penderitaan, kesakitan, dan nasib sial biasa menjadi bahan bercanda yang paling efektif memancing tawa.
Keenam, olah logika. Lelucon yang analitis dan bisosiatif. Transfer kelucuannya tidak vulgar dan butuh kecerdasan. Maka ia biasa ditampilkan dalam pertunjukan di hadapan kaum terdidik. Ketujuh, analogi: mempersamakan sebuah kondisi dengan cerita-cerita fiktif yang mirip.
Misal menyandingkan situasi politik kekinian dengan kisah dalam pewayangan. Kolom #TaliJiwo-nya Sujiwo Tejo, kolom Pigura-nya Ono Sarwono, Udar Rasa-nya Seno Gumira Ajidarma dengan tokoh Sukab-nya, lakon-lakon teater Butet Kertaradjasa dan (alm) Rendra adalah contoh lelucon-lelucon analogi.
Masih ada beberapa tipe lelucon lagi yang disampaikan Darminto, yakni unggul pecundang, surealisme (nirlogika), black humour atau sick joke, seks, dan apologisme. Lelucon unggul-pecundang lebih sering disebut dengan lelucon superioritas dan inferioritas.
Idenya didasari perasaan “unggul” karena melihat kecacatan, kebodohan, kemalasan, dan sejenisnya pada diri orang lain. Intinya, ia memanfaatkan kekurangan orang lain sebagai bahan lelucon. Sesuatu yang tentu tidak baik untuk dilakukan di kehidupan nyata.
Lelucon surealisme cenderung bersifat magic dan melompat dari makna yang sudah disepakati. Biasanya ada di film-film horor-thriller. Adapun black humour biasa disebut juga dengan lelucon 'kelam', karena isinya soal malapetaka, sadisme, kebrutalan. Sering kali penyajiannya dominan unsur kengeriannya dibanding unsur kelucuannya.
Model lainnya, disebut lelucon seks karena tema dominan lebih kepada hal-hal yang berbau porno. Sementara itu lelucon apologis sesungguhnya bukan peranti untuk melucu, ia lebih merupakan “senjata” para pecundang, pengecut, untuk menghindar dari tuntutan
pertanggungjawaban ketika sesuatu yang disampaikannya tak memiliki dasar atau argumentasi, sehingga di sisi lain memiliki konsekuensi hukum. Maka pelaku akan berdalih, 'Ah, itu kan cuma lelucon....”
Fitnah = Humor?
Anatomi humor menjadi sesuatu yang penting, ketika kita mencoba mencari kategori apa yang sesuai dengan “dagelan” ciptaan Ratna Sarumpaet. Beberapa tipe lelucon sekilas bisa “mewakili” tipe lelucon buatan seniman teater itu, seperti sinisme dan black humour , ataupun tipe apologisme yang bisa saja dipakainya untuk berlindung di balik lelucon ketika dagelan tak lucu itu memicu masalah bagi dirinya.
Tapi, rasanya kita harus mengembalikan arti dan fungsi “humor” ini pada khittah sebagaimana definisinya di Wikipedia: untuk membangkitkan rasa gembira dan memicu gelak tawa. Apa artinya? Ia hanya sekadar hiburan, yang tujuan seriusnya adalah menciptakan kegembiraan. Bukan menciptakan opini baru akan sesuatu, yang disampaikan melalui “humor” itu sendiri.
Apalagi upaya menciptakan fakta dan opini baru itu sumbernya adalah kebohongan. Ia lebih masuk kategori fitnah dibanding masuk kategori humor karena apabila kebohongan itu tak terkuak, akan banyak sekali potensi kerugian yang bisa timbul: tercemarnya nama baik seseorang dan institusi, keterpecahbelahan bangsa karena “sandiwara” yang provokatif, dan porak-porandanya bangunan kedamaian yang terus kita upayakan bersama dengan susah payah. Ini mengerikan sekali bagi demokrasi serta persatuan dan kesatuan bangsa, bahkan membahayakan keutuhan republik ini.
Maka, boleh saja jika rangkaian kasus Ratna Sarumpaet dianggap dagelan yang tak lucu. Tapi, konten dan tendensi spesifik dari apa yang dilakukan Ratna Sarumpaet sama sekali bukan lelucon. Itu adalah fitnah keji dan fitnah adalah salah satu anatomi kejahatan yang sangat berbahaya.
Untuk bisa lucu dengan baik dan benar memang perlu ilmu. Itu mengapa Arwah Setiawan menciptakan adagium "Humor itu Serius". Adagium ini bahkan dijadikan sebuah kajian khusus sekaligus judul buku oleh M Agus Suhadi (1989). Disampaikan bahwa humor yang selalu identik dengan kelucuan memiliki dimensi yang serius. Dan ini paradoks: humor menawarkan sebuah dimensi kelucuan yang lekat dengan ketidakseriusan, namun harus sangat serius dalam proses penciptaannya.
Kelucuan tidak bisa serta-merta timbul tanpa perencanaan yang matang. Ia sedikit berbeda dengan kelucuan spontan, yang sering muncul dalam konteks dadakan, namun tepat momentum. Dalam kelucuan yang terencana, humor harus melibatkan berbagai disiplin ilmu lain, seperti ilmu pengetahuan ataupun ilmu sosial sebagai dasar eksplorasi konten utama humor.
Lalu, diperlukan juga ilmu komunikasi terkait dengan bagaimana menyajikan dan mentransfernya kepada orang lain sehingga sukses sebagaimana tujuan melucu. Tak ketinggalan juga ilmu psikologi karena materi dan cara penyampaian humor ke publik harus melihat siapa audience atau penerima pesan humornya.
Kisah tentang bagaimana sulitnya membuat lelucon diceritakan dengan sangat bagus oleh Agus Noor dalam Lelucon Para Koruptor. Cerita pendek ini berkisah tentang betapa “kewajiban” para tahanan korupsi menyiapkan lelucon yang akan ditampilkan di 'tadarus lelucon' sebuah pertemuan rutin mingguan para napi koruptor itu sangat menggelisahkan Pak Otok, tokoh utama cerita pendek itu.
“Forum” di rumah tahanan itu selalu membuat mual Pak Otok karena, selain memang tidak piawai melucu, ia tak pernah yakin bahwa lelucon yang dibawakannya akan dianggap lucu oleh para penghuni tahanan lain kendati dia memperolehnya dari sumber yang sangat kredibel kelucuannya. Apalagi, 'forum' setiap malam Rabu itu akan memilih seorang pemenang yang akan dinaikkan 'martabatnya', yaitu selama seminggu ke depan sang pemenang akan dilayani oleh tahanan korupsi yang dianggap paling tidak lucu.
Itu pula yang didapatkannya sebagai penghuni baru tahanan: menjadi jongos bagi Pak Hakil yang ketika itu ditetapkan sebagai pemenang. Pengalaman itu membuat Pak Otok selalu gelisah dan stres ketika harus menyiapkan lelucon di minggu-minggu berikutnya.
Anatomi Humor
Kembali ke betapa seriusnya proses penciptaan humor, kita bisa melihat berbagai anatomi humor sebagaimana disajikan Darminto M Sudarmo-kartunis yang juga kolumnis masalah sosial budaya di dalam bukunya, Anatomi Lelucon di Indonesia (2004).
Lelucon yang dipersiapkan secara serius dan 'sengaja' mengenal beberapa tipe kreasi atau stilisasi. Pertama, guyon parikena. Isi leluconnya agak nakal dan menyindir, meski sindirannya tidak tajam. Biasanya dilakukan untuk menyindir pihak lain yang lebih dihormati (atasan, orang yang lebih tua, dan lain-lain). Beberapa orang menyebutnya dengan lelucon persuasif.
Kedua, satire. Sama-sama menyindir atau mengkritik, namun muatan ejekannya lebih dominan. Ketiga, sinisme. Gaya lelucon yang cenderung merendahkan pihak lain yang berseberangan sikap atau pendapat. Targetnya lebih jelas: membuat pihak yang 'diserang' mati kutu.
Keempat, plesetan. Biasa disebut juga dengan parodi. Isinya memelesetkan segala sesuatu yang sudah mapan atau populer, dan biasa dipakai sebagai alat eskapisme dalam menyikapi kesumpekan keadaan. Sifatnya kerap spontan dan surprise, mengundang tawa, dan mencairkan suasana.
Kelima, slapstick. Lelucon yang kasar dan vulgar. Biasa ada di film kartun, atau ditampilkan dalam sebuah tontonan dengan latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial yang (maaf) rendah. Dalam tipe lelucon ini, penderitaan, kesakitan, dan nasib sial biasa menjadi bahan bercanda yang paling efektif memancing tawa.
Keenam, olah logika. Lelucon yang analitis dan bisosiatif. Transfer kelucuannya tidak vulgar dan butuh kecerdasan. Maka ia biasa ditampilkan dalam pertunjukan di hadapan kaum terdidik. Ketujuh, analogi: mempersamakan sebuah kondisi dengan cerita-cerita fiktif yang mirip.
Misal menyandingkan situasi politik kekinian dengan kisah dalam pewayangan. Kolom #TaliJiwo-nya Sujiwo Tejo, kolom Pigura-nya Ono Sarwono, Udar Rasa-nya Seno Gumira Ajidarma dengan tokoh Sukab-nya, lakon-lakon teater Butet Kertaradjasa dan (alm) Rendra adalah contoh lelucon-lelucon analogi.
Masih ada beberapa tipe lelucon lagi yang disampaikan Darminto, yakni unggul pecundang, surealisme (nirlogika), black humour atau sick joke, seks, dan apologisme. Lelucon unggul-pecundang lebih sering disebut dengan lelucon superioritas dan inferioritas.
Idenya didasari perasaan “unggul” karena melihat kecacatan, kebodohan, kemalasan, dan sejenisnya pada diri orang lain. Intinya, ia memanfaatkan kekurangan orang lain sebagai bahan lelucon. Sesuatu yang tentu tidak baik untuk dilakukan di kehidupan nyata.
Lelucon surealisme cenderung bersifat magic dan melompat dari makna yang sudah disepakati. Biasanya ada di film-film horor-thriller. Adapun black humour biasa disebut juga dengan lelucon 'kelam', karena isinya soal malapetaka, sadisme, kebrutalan. Sering kali penyajiannya dominan unsur kengeriannya dibanding unsur kelucuannya.
Model lainnya, disebut lelucon seks karena tema dominan lebih kepada hal-hal yang berbau porno. Sementara itu lelucon apologis sesungguhnya bukan peranti untuk melucu, ia lebih merupakan “senjata” para pecundang, pengecut, untuk menghindar dari tuntutan
pertanggungjawaban ketika sesuatu yang disampaikannya tak memiliki dasar atau argumentasi, sehingga di sisi lain memiliki konsekuensi hukum. Maka pelaku akan berdalih, 'Ah, itu kan cuma lelucon....”
Fitnah = Humor?
Anatomi humor menjadi sesuatu yang penting, ketika kita mencoba mencari kategori apa yang sesuai dengan “dagelan” ciptaan Ratna Sarumpaet. Beberapa tipe lelucon sekilas bisa “mewakili” tipe lelucon buatan seniman teater itu, seperti sinisme dan black humour , ataupun tipe apologisme yang bisa saja dipakainya untuk berlindung di balik lelucon ketika dagelan tak lucu itu memicu masalah bagi dirinya.
Tapi, rasanya kita harus mengembalikan arti dan fungsi “humor” ini pada khittah sebagaimana definisinya di Wikipedia: untuk membangkitkan rasa gembira dan memicu gelak tawa. Apa artinya? Ia hanya sekadar hiburan, yang tujuan seriusnya adalah menciptakan kegembiraan. Bukan menciptakan opini baru akan sesuatu, yang disampaikan melalui “humor” itu sendiri.
Apalagi upaya menciptakan fakta dan opini baru itu sumbernya adalah kebohongan. Ia lebih masuk kategori fitnah dibanding masuk kategori humor karena apabila kebohongan itu tak terkuak, akan banyak sekali potensi kerugian yang bisa timbul: tercemarnya nama baik seseorang dan institusi, keterpecahbelahan bangsa karena “sandiwara” yang provokatif, dan porak-porandanya bangunan kedamaian yang terus kita upayakan bersama dengan susah payah. Ini mengerikan sekali bagi demokrasi serta persatuan dan kesatuan bangsa, bahkan membahayakan keutuhan republik ini.
Maka, boleh saja jika rangkaian kasus Ratna Sarumpaet dianggap dagelan yang tak lucu. Tapi, konten dan tendensi spesifik dari apa yang dilakukan Ratna Sarumpaet sama sekali bukan lelucon. Itu adalah fitnah keji dan fitnah adalah salah satu anatomi kejahatan yang sangat berbahaya.
(nag)