Asa Merpati Airlines

Sabtu, 06 Oktober 2018 - 06:28 WIB
Asa Merpati Airlines
Asa Merpati Airlines
A A A
Titik terang kebangkitan maskapai Merpati Nusantara Airlines (MNA) mulai tersibak. Bila tak ada aral melintang MNA kembali mengangkasa paling lambat pada 2020 mendatang dengan catatan segala yang berkaitan penyehatan perseroan berjalan lancar, terutama terkait dengan perdamaian para kreditur.

Benarkah? Kabar tersebut bukanlah isapan jempol karena sudah ada investor yang bersiap menyuntik modal maskapai milik negara itu sebesar Rp6,4 triliun. Dana segar yang siap digelontorkan oleh investor bukan untuk bayar utang, tetapi mem­perbaiki modal perseroan yang meraih kejayaan pada 1990-an itu.

Siapa gerangan investor yang siap menghidupkan MNA dari “mati suri”? Adalah PT Intra Asia Corpora (IAC) yang telah menandatangani perjanjian transaksi modal bersyarat dengan MNA pada 29 Agustus lalu. Sebagai mitra strategis terpilih, IAC menyiapkan modal Rp6,4 triliun dalam waktu dua tahun setelah seluruh persyaratan terpenuhi.

Penandatanganan perjanjian itu adalah bagian dari proses MNA untuk penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terkait penyusunan proposal perdamaian, berupa skema restrukturisasi utang sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Surabaya.

Kunci beroperasinya kembali MNA kini ada di tangan para kreditur. Sayangnya, sidang PKPU yang akan memutuskan hidup matinya MNA, yang dijadwalkan pada 3 Oktober lalu, ditunda hingga 17 Oktober mendatang. Kabar yang berkembang, sidang PKPU ditunda karena proposal perdamaian yang ditawarkan MNA belum bisa meyakinkan para kreditur.

Salah satu ganjalannya, sebagaimana dibeberkan Sekretaris Perusahaan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Edi Winarto, belum terpenuhinya kesepakatan soal utang subsidiary loan agreement (SLA) yang jumlahnya cukup besar. Pasalnya, investor yang siap menerbangkan MNA meminta bunga dan denda SLA ditiadakan.

Sekadar menyegarkan ingatan, maskapai pelat merah ini berhenti beroperasi sejak awal 2014, dilanjutkan pencabutan sertifikat izin usaha angkutan udara niaga berjadwal pada 2015. Sayap MNA tidak bisa berkepak karena terlilit utang Rp10,72 triliun, termasuk tunggakan bunga dan denda, sementara aset perseroan hanya tercatat sebesar Rp1,21 triliun. Kepada siapa saja MNA berutang? Berdasar­kan catatan PPA utang superjumbo tersebut berasal dari berbagai kreditur, termasuk kepada PT Pertamina.

Bagaimana seandainya kreditur tetap menolak proposal yang diajukan MNA? Tidak ada pilihan bagi MNA selain pailit dan seluruh aset akan dihitung dan dibagikan kepada kreditur. Namun, persoalannya tidak sesederhana yang dibayangkan karena aset perseroan sangat kecil dibanding kewajiban yang harus ditanggung.

Sebaliknya, apabila kreditur menerima proposal MNA tidak serta-merta masyarakat sudah bisa menikmati penerbangan oleh maskapai yang pernah dijuluki “jembatan Nusantara” itu. Pasalnya, sejumlah prosedur harus dilewati, dalam hal ini permintaan persetujuan pemerintah (Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan Kementerian Keuangan) hingga DPR.

Seandainya para kreditur menyetujui proposal MNA dan pemerintah serta DPR menyalakan lampu hijau secepatnya, mampukah MNA kembali mengepakkan sayap untuk menyambangi pelabuhan udara se-Nusantara yang pernah dikuasainya? MNA mencatat masa keemasan pada periode 1989 hingga 1992. Perusahaan pelat merah itu pernah mengoleksi sekitar 100 armada dari berbagai tipe, dari pesawat baling-baling berukuran kecil hingga pesawat jet canggih.

Kejayaan perusahaan penerbangan itu juga ditunjukkan dari kesejahteraan karyawan yang paling tinggi di antara karyawan BUMN pada saat itu. Sudahlah, itu hanya tinggal kenangan. Sekarang bagaimana seluruh stakeholder bisa bersatu padu menerbangkan kembali MNA? Jauhkanlah dulu ego masing-masing, mumpung ada investor yang sudah bersiap menanamkan modal.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1166 seconds (0.1#10.140)