Malnutrisi Ganda yang Terlupakan
A
A
A
Assyifa Szami Ilman
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies, Jakarta
GADUHNYA perdebatan impor pangan pada dasarnya tak akan membantu menyelesaikan satu masalah besar tersembunyi yang selama ini luput dari perhatian: malnutrisi ganda. Tak kurang dari seminggu yang lalu, pemberitaan di media arus utama diwarnai oleh adu argumen antara Kepala Bulog Budi Waseso dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita perihal impor beras. Di satu sisi, Bulog memperkirakan telah memiliki stok beras yang cukup hingga Juni 2019 sehingga impor tidak perlu dilakukan. Di sisi lain, Kementerian Perdagangan tetap mengeluarkan izin impor hingga 2 juta ton dengan mengacu pada keputusan rapat koordinasi yang dihadiri oleh pemerintah dan Bulog. Walaupun sudah berlalu, adu argumen tersebut ternyata tidak menghasilkan apa-apa.
Antara Kuantitas dan Harga Pangan
Menentukan jumlah beras atau komoditas pangan lainnya di pasaran menjadi hal yang penting dalam mengukur ketahanan pangan suatu negara. Namun, pada umumnya masyarakat sebagai konsumen akan lebih terfokus pada harga pangan. Berapa pun stok pangan yang dimiliki suatu pasar pada akhirnya tidak akan berguna apabila terlalu mahal untuk dibeli konsumen. Sayangnya, harga pangan di Indonesia hingga saat ini masih mahal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia, harga beras di Indonesia sudah hampir dua kali lebih mahal daripada harga beras dunia. Pada Januari 2016 – April 2018 rata-rata harga beras lokal eceran berada di kisaran Rp10.700 per kilogram pada saat harga beras internasional rata-rata hanya mencapai Rp5.400 per kilogram. Selain itu, Tim Nasional Percepatan Pemberantasan Kemiskinan (TNP2K) juga menyatakan bahwa komoditas makanan di Jakarta rata-rata 94% lebih mahal dibandingkan di New Delhi, India. TNP2K juga menambahkan bahwa harga buah dan sayuran di Indonesia juga lebih mahal daripada di Singapura.
Tingginya harga pangan pada akhirnya memengaruhi masyarakat, terutama masyarakat prasejahtera karena 74% pengeluaran rumah tangga prasejahtera hanya dialokasikan untuk komoditas makanan. Ketidakmampuan penduduk prasejahtera dalam membeli makan akan mendorong perubahan pada pola konsumsi, di mana pilihan jenis pangan semakin terbatasi oleh harga dan pada akhirnya memengaruhi asupan gizi masyarakat tersebut. Hal inilah yang pada akhirnya mendorong tumbuhnya kasus malnutrisi di Indonesia.
Beban Malnutrisi Ganda
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan, kasus malnutrisi di Indonesia cenderung lamban diatasi. Kasus kekurangan nutrisi pada anak seperti stunting (kerdil) dan wasting (kurus) masih berada dalam kondisi kronis dan akut mengingat dua kasus ini menimpa 37,2% dan 12,1% balita di Indonesia atau lebih dari sembilan juta balita. Apabila dibandingkan dengan kondisi di 2007, angka stunting berada pada 36,8% dan wasting berada pada 13,6%.
Di saat bersamaan, kasus kelebihan nutrisi seperti obesitas di penduduk dewasa Indonesia juga mengalami peningkatan dari 13,9% (2007) ke 19,7% (2013) untuk laki-laki dan 14,8% (2007) ke 32,9% (2013) untuk perempuan. Adanya kedua fenomena kekurangan dan kelebihan nutrisi yang terjadi pada suatu populasi seperti yang terjadi di Indonesia kemudian diistilahkan sebagai malnutrisi ganda. Lalu, apa saja yang bisa ditimbulkan dari malnutrisi ganda?
Berbagai studi membuktikan bahwa kekurangan nutrisi yang terjadi saat balita berhubungan dengan peluang seseorang tersebut menjadi kelebihan nutrisi saat dewasa. Mengutip contoh dari Bank Dunia, seorang ibu hamil dari keluarga prasejahtera tidak akan mampu memberikan nutrisi yang cukup bagi bayi yang sedang dikandung. Di dalam kandungan tubuh bayi akan ”terprogram” untuk bertahan hidup dengan kondisi gizi kurang. Bayi yang dikandung pun akhirnya akan lahir stunting.
Manusia yang lahir stunting acapkali dianggap sebagai suatu hal yang normal dan dikaitkan dengan peran genetik orang tua. Dengan begitu, kasus ini dan kasus malnutrisi pada umumnya dianggap hal yang wajar dan cenderung diabaikan. Padahal, stunting tidak hanya memengaruhi kondisi fisik, tapi juga perkembangan otak dan dalam jangka panjang berpengaruh pada penurunan produktivitas. Ketika tumbuh dewasa, bayi yang awalnya sudah terprogram tersebut akan lebih mudah menjadi obesitas dan akhirnya rentan terhadap penyakit degeneratif seperti diabetes, hipertensi, stroke, dan jantung. Penurunan produktivitas dan membengkaknya biaya kesehatan ini yang pada akhirnya akan semakin memberatkan taraf hidup masyarakat.
Mendorong Harga Pangan Terjangkau
Dalam meningkatkan asupan nutrisi bagi masyarakat, sepatutnya perlu kerja sama dan tindakan kolektif dari semua pihak. Masyarakat perlu mengubah pola makan agar lebih bernutrisi. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi mengenai pedoman gizi seimbang tersebut. Namun, akan sangat disayangkan apabila makanan bernutrisi yang dibutuhkan tersebut pada akhirnya tidak akan mampu terbeli oleh masyarakat. Di sinilah peran harga pangan menjadi penting untuk diperhatikan pemerintah.
Dalam kaidah ilmu ekonomi, menurunkan harga komoditas dapat dicapai dengan meningkatkan jumlah barang yang ada di pasar. Selama ini pemerintah masih kalang kabut dalam menyediakan data pangan yang benar, terutama beras dan jagung. Kementerian Pertanian selalu bangga dengan predikat surplus yang dicapai pada komoditas tersebut. Namun, realita di pasar tidak mencerminkan harga yang sesuai sehingga Kementerian Perdagangan membuka keran impor agar harga pangan terjangkau, tentunya atas hasil rapat koordinasi di Kemenko Perekonomian yang dihadiri kementerian terkait dan Bulog.
Dengan mengandalkan harga sebagai parameter kondisi pasar, permintaan barang akan lebih terukur dengan baik. Dalam mendukung pencapaian hal ini, Bulog perlu diberikan keleluasaan untuk menganalisis kondisi pasar secara independen. Bulog selama ini tak ayal selalu terpaku oleh instruksi rapat koordinasi yang cenderung tidak responsif dengan kondisi pasar yang sangat dinamis.
Selain itu, pemerintah juga perlu menyadari bahwa kondisi sektor agrikultur Indonesia saat ini belum mampu mewujudkan swasembada pangan yang dicita-citakan oleh Presiden Joko Widodo. Sampai saat ini Indonesia masih tetap bergantung dengan impor pangan. Atas dasar hal tersebut, sebaiknya pemerintah tidak perlu memperberat beban belanja masyarakat dengan mengenakan berbagai restriksi tarif dan nontarif terhadap impor pangan.
Secara bersamaan, pemerintah juga perlu mendukung sektor agrikultur dengan terus mendorong produksi dengan biaya produksi yang seefisien mungkin. Selain agar dapat menyajikan harga komoditas lokal yang bersaing dengan impor, juga agar harga pangan dapat lebih terjangkau bagi masyarakat. Satu di antara caranya dengan modernisasi teknologi pertanian, peningkatan kesejahteraan petani, dan peningkatan serapan benih melalui program kebijakan yang tepat sasaran.
Kebijakan kontradiktif antarlintas kementerian dan lembaga negara tidak akan membantu kita selangkah lebih ke depan terhadap pemberantasan malnutrisi ganda di Indonesia. Lebih-lebih apabila hal tersebut dihiasi oleh panggung drama penuh amarah seperti yang dipertontonkan Budi Waseso dan Enggartiasto Lukita beberapa waktu lalu. Perjalanan panjang masih harus ditempuh bangsa ini agar terbebas dari beban malnutrisi ganda dan ancaman yang menyertainya. Satu langkah pasti yang dapat dimulai adalah dengan fokus pada tujuan menurunkan harga pangan agar lebih terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies, Jakarta
GADUHNYA perdebatan impor pangan pada dasarnya tak akan membantu menyelesaikan satu masalah besar tersembunyi yang selama ini luput dari perhatian: malnutrisi ganda. Tak kurang dari seminggu yang lalu, pemberitaan di media arus utama diwarnai oleh adu argumen antara Kepala Bulog Budi Waseso dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita perihal impor beras. Di satu sisi, Bulog memperkirakan telah memiliki stok beras yang cukup hingga Juni 2019 sehingga impor tidak perlu dilakukan. Di sisi lain, Kementerian Perdagangan tetap mengeluarkan izin impor hingga 2 juta ton dengan mengacu pada keputusan rapat koordinasi yang dihadiri oleh pemerintah dan Bulog. Walaupun sudah berlalu, adu argumen tersebut ternyata tidak menghasilkan apa-apa.
Antara Kuantitas dan Harga Pangan
Menentukan jumlah beras atau komoditas pangan lainnya di pasaran menjadi hal yang penting dalam mengukur ketahanan pangan suatu negara. Namun, pada umumnya masyarakat sebagai konsumen akan lebih terfokus pada harga pangan. Berapa pun stok pangan yang dimiliki suatu pasar pada akhirnya tidak akan berguna apabila terlalu mahal untuk dibeli konsumen. Sayangnya, harga pangan di Indonesia hingga saat ini masih mahal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia, harga beras di Indonesia sudah hampir dua kali lebih mahal daripada harga beras dunia. Pada Januari 2016 – April 2018 rata-rata harga beras lokal eceran berada di kisaran Rp10.700 per kilogram pada saat harga beras internasional rata-rata hanya mencapai Rp5.400 per kilogram. Selain itu, Tim Nasional Percepatan Pemberantasan Kemiskinan (TNP2K) juga menyatakan bahwa komoditas makanan di Jakarta rata-rata 94% lebih mahal dibandingkan di New Delhi, India. TNP2K juga menambahkan bahwa harga buah dan sayuran di Indonesia juga lebih mahal daripada di Singapura.
Tingginya harga pangan pada akhirnya memengaruhi masyarakat, terutama masyarakat prasejahtera karena 74% pengeluaran rumah tangga prasejahtera hanya dialokasikan untuk komoditas makanan. Ketidakmampuan penduduk prasejahtera dalam membeli makan akan mendorong perubahan pada pola konsumsi, di mana pilihan jenis pangan semakin terbatasi oleh harga dan pada akhirnya memengaruhi asupan gizi masyarakat tersebut. Hal inilah yang pada akhirnya mendorong tumbuhnya kasus malnutrisi di Indonesia.
Beban Malnutrisi Ganda
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan, kasus malnutrisi di Indonesia cenderung lamban diatasi. Kasus kekurangan nutrisi pada anak seperti stunting (kerdil) dan wasting (kurus) masih berada dalam kondisi kronis dan akut mengingat dua kasus ini menimpa 37,2% dan 12,1% balita di Indonesia atau lebih dari sembilan juta balita. Apabila dibandingkan dengan kondisi di 2007, angka stunting berada pada 36,8% dan wasting berada pada 13,6%.
Di saat bersamaan, kasus kelebihan nutrisi seperti obesitas di penduduk dewasa Indonesia juga mengalami peningkatan dari 13,9% (2007) ke 19,7% (2013) untuk laki-laki dan 14,8% (2007) ke 32,9% (2013) untuk perempuan. Adanya kedua fenomena kekurangan dan kelebihan nutrisi yang terjadi pada suatu populasi seperti yang terjadi di Indonesia kemudian diistilahkan sebagai malnutrisi ganda. Lalu, apa saja yang bisa ditimbulkan dari malnutrisi ganda?
Berbagai studi membuktikan bahwa kekurangan nutrisi yang terjadi saat balita berhubungan dengan peluang seseorang tersebut menjadi kelebihan nutrisi saat dewasa. Mengutip contoh dari Bank Dunia, seorang ibu hamil dari keluarga prasejahtera tidak akan mampu memberikan nutrisi yang cukup bagi bayi yang sedang dikandung. Di dalam kandungan tubuh bayi akan ”terprogram” untuk bertahan hidup dengan kondisi gizi kurang. Bayi yang dikandung pun akhirnya akan lahir stunting.
Manusia yang lahir stunting acapkali dianggap sebagai suatu hal yang normal dan dikaitkan dengan peran genetik orang tua. Dengan begitu, kasus ini dan kasus malnutrisi pada umumnya dianggap hal yang wajar dan cenderung diabaikan. Padahal, stunting tidak hanya memengaruhi kondisi fisik, tapi juga perkembangan otak dan dalam jangka panjang berpengaruh pada penurunan produktivitas. Ketika tumbuh dewasa, bayi yang awalnya sudah terprogram tersebut akan lebih mudah menjadi obesitas dan akhirnya rentan terhadap penyakit degeneratif seperti diabetes, hipertensi, stroke, dan jantung. Penurunan produktivitas dan membengkaknya biaya kesehatan ini yang pada akhirnya akan semakin memberatkan taraf hidup masyarakat.
Mendorong Harga Pangan Terjangkau
Dalam meningkatkan asupan nutrisi bagi masyarakat, sepatutnya perlu kerja sama dan tindakan kolektif dari semua pihak. Masyarakat perlu mengubah pola makan agar lebih bernutrisi. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi mengenai pedoman gizi seimbang tersebut. Namun, akan sangat disayangkan apabila makanan bernutrisi yang dibutuhkan tersebut pada akhirnya tidak akan mampu terbeli oleh masyarakat. Di sinilah peran harga pangan menjadi penting untuk diperhatikan pemerintah.
Dalam kaidah ilmu ekonomi, menurunkan harga komoditas dapat dicapai dengan meningkatkan jumlah barang yang ada di pasar. Selama ini pemerintah masih kalang kabut dalam menyediakan data pangan yang benar, terutama beras dan jagung. Kementerian Pertanian selalu bangga dengan predikat surplus yang dicapai pada komoditas tersebut. Namun, realita di pasar tidak mencerminkan harga yang sesuai sehingga Kementerian Perdagangan membuka keran impor agar harga pangan terjangkau, tentunya atas hasil rapat koordinasi di Kemenko Perekonomian yang dihadiri kementerian terkait dan Bulog.
Dengan mengandalkan harga sebagai parameter kondisi pasar, permintaan barang akan lebih terukur dengan baik. Dalam mendukung pencapaian hal ini, Bulog perlu diberikan keleluasaan untuk menganalisis kondisi pasar secara independen. Bulog selama ini tak ayal selalu terpaku oleh instruksi rapat koordinasi yang cenderung tidak responsif dengan kondisi pasar yang sangat dinamis.
Selain itu, pemerintah juga perlu menyadari bahwa kondisi sektor agrikultur Indonesia saat ini belum mampu mewujudkan swasembada pangan yang dicita-citakan oleh Presiden Joko Widodo. Sampai saat ini Indonesia masih tetap bergantung dengan impor pangan. Atas dasar hal tersebut, sebaiknya pemerintah tidak perlu memperberat beban belanja masyarakat dengan mengenakan berbagai restriksi tarif dan nontarif terhadap impor pangan.
Secara bersamaan, pemerintah juga perlu mendukung sektor agrikultur dengan terus mendorong produksi dengan biaya produksi yang seefisien mungkin. Selain agar dapat menyajikan harga komoditas lokal yang bersaing dengan impor, juga agar harga pangan dapat lebih terjangkau bagi masyarakat. Satu di antara caranya dengan modernisasi teknologi pertanian, peningkatan kesejahteraan petani, dan peningkatan serapan benih melalui program kebijakan yang tepat sasaran.
Kebijakan kontradiktif antarlintas kementerian dan lembaga negara tidak akan membantu kita selangkah lebih ke depan terhadap pemberantasan malnutrisi ganda di Indonesia. Lebih-lebih apabila hal tersebut dihiasi oleh panggung drama penuh amarah seperti yang dipertontonkan Budi Waseso dan Enggartiasto Lukita beberapa waktu lalu. Perjalanan panjang masih harus ditempuh bangsa ini agar terbebas dari beban malnutrisi ganda dan ancaman yang menyertainya. Satu langkah pasti yang dapat dimulai adalah dengan fokus pada tujuan menurunkan harga pangan agar lebih terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
(pur)