Kolusi dan Nepotisme Dapat Dipidana?
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar (Em) Ilmu Hukum
Subjek di atas sudah dilupakan sejak Era Reformasi memasuki tahun kedua pemerintahan pasca-Habibie. Kolusi dan nepotisme juga sangat jarang dikumandangkan oleh para ahli hukum meskipun dua istilah tersebut telah merupakan norma undang-undang yang diancam pidana.
Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antarpenyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara. Sedangkan nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Kolusi dan nepotisme khusus ditujukan terhadap penyelenggara negara. Penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ancaman sanksi untuk kedua tindak pidana tersebut relatif berat dibandingkan dengan tindak pidana korupsi yang tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setiap penyelenggara negara atau anggota komisi pemeriksa yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Setiap penyelenggara negara atau anggota komisi pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Dalam praktik jaksa penuntut pada Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat langka menggunakan ketentuan sanksi pidana atas dakwaan kolusi atau nepotisme, sedangkan dalam praktik sering kesulitan penegak hukum untuk mengungkap tuntas jaringan formal dan informal dalam kasus korupsi, termasuk keluarga atau kroni pelaku korupsi.Keterbatasan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan perubahannya yaitu ketika orang lain, termasuk keluarga atau kroninya atau korporasi, diduga memperoleh keuntungan dari korupsi, cukup menempatkan mereka sebagai pelaku peserta (Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP).
Contoh kasus BLBI, Century, dan Pelindo. Belum hambatan normatif ketika menyasar korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Sedangkan KUHAP (Hukum Acara Pidana) yang merupakan dasar hukum acara peradilan pidana tidak menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Kolusi dan nepotisme merupakan sarana hukum yang dapat mengefektifkan sekaligus menuntaskan pemberantasan korupsi termasuk pencegahannya dengan ketentuan gratifikasi (Pasal 12B dan 12C UU Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999).
Guru Besar (Em) Ilmu Hukum
Subjek di atas sudah dilupakan sejak Era Reformasi memasuki tahun kedua pemerintahan pasca-Habibie. Kolusi dan nepotisme juga sangat jarang dikumandangkan oleh para ahli hukum meskipun dua istilah tersebut telah merupakan norma undang-undang yang diancam pidana.
Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antarpenyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara. Sedangkan nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Kolusi dan nepotisme khusus ditujukan terhadap penyelenggara negara. Penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ancaman sanksi untuk kedua tindak pidana tersebut relatif berat dibandingkan dengan tindak pidana korupsi yang tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setiap penyelenggara negara atau anggota komisi pemeriksa yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Setiap penyelenggara negara atau anggota komisi pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Dalam praktik jaksa penuntut pada Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat langka menggunakan ketentuan sanksi pidana atas dakwaan kolusi atau nepotisme, sedangkan dalam praktik sering kesulitan penegak hukum untuk mengungkap tuntas jaringan formal dan informal dalam kasus korupsi, termasuk keluarga atau kroni pelaku korupsi.Keterbatasan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan perubahannya yaitu ketika orang lain, termasuk keluarga atau kroninya atau korporasi, diduga memperoleh keuntungan dari korupsi, cukup menempatkan mereka sebagai pelaku peserta (Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP).
Contoh kasus BLBI, Century, dan Pelindo. Belum hambatan normatif ketika menyasar korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Sedangkan KUHAP (Hukum Acara Pidana) yang merupakan dasar hukum acara peradilan pidana tidak menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Kolusi dan nepotisme merupakan sarana hukum yang dapat mengefektifkan sekaligus menuntaskan pemberantasan korupsi termasuk pencegahannya dengan ketentuan gratifikasi (Pasal 12B dan 12C UU Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999).
(rhs)