B20 dan Defisit Neraca Perdagangan

Jum'at, 21 September 2018 - 13:26 WIB
B20 dan Defisit Neraca Perdagangan
B20 dan Defisit Neraca Perdagangan
A A A
KEBIJAKAN kewajiban penggunaan biodiesel 20% (B20) sudah diterapkan sejak awal September. Langkah tersebut dimaksudkan untuk menekan penggunaan solar impor.

Harapannya, selain menumbuhkan kinerja industri sawit nasional, juga untuk menekan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang terus membengkak. Mandatori bauran diesel dan 20% minyak kelapa sawit atau biodiesel 20% (B20) oleh PT Pertamina (Persero) telah mencapai 80%, terhitung sejak awal tahun. Perluasan atas program tersebut telah dilakukan sejak awal September untuk sektor-sektor tertentu seperti alat berat.

Namun alangkah baiknya jika perluasan ketentuan B20 tak hanya untuk public service obligation (PSO), tapi juga non-PSO. Sehingga upaya untuk menekan defisit transaksi berjalan secara jangka panjang bisa dicapai. Untuk menerapkan secara penuh kebijakan B20, pemerintah juga perlu memberikan stimulus semisal berupa insentif fiskal kepada industri yang terdampak pada kebijakan tersebut.

Sanksi berupa denda Rp6.000 per liter bagi perusahaan penyalur BBM solar yang tidak menerapkan aturan B20 per 1 September 2018 adalah upaya yang patut diapresiasi. Karena hal ini untuk menegaskan bahwa pemerintah serius menjalankan program tersebut.

Pemerintah, telah menerbitkan Perpres Nomor 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit sebagai payung hukumnya. Perpres ini memerintahkan perluasan penerapan B20, tak hanya untuk sektor PSO, tapi juga non-PSO.

Di sisi lain, pemerintah perlu memperhatikan industri-industri yang terdampak secara langsung atas kebijakan ini, misalnya industri automotif dan industri alat berat di mana keduanya mengambil porsi besar dalam penggunaan solar. Industri automotif misalnya, mereka adalah produsen yang menghasilkan produk-produk pengguna solar. Sehingga untuk menyesuaikan teknologi tersebut tentu perlu mendapat insentif.

Sebab, produsen mobil harus menjamin kendaran baru telah siap menggunakan bahan bakar B20. Selain itu, produsen juga penting melakukan sosialisasi kepada para pengguna kendaraan B20 untuk memperpendek jadwal servis berkala.

Program mandatori B20 yang dicanangkan pemerintah bertujuan untuk percepatan pemanfaatan green energy sekaligus menghemat devisa, dengan pengurangan potensi impor solar. Langkah yang dilakukan yakni mendorong pencampuran FAME (Fatty Acid Methyl Ester) baik untuk bahan bakar diesel baik PSO (Public Service Obligations/Subsidi) maupun non-PSO.

Sebenarnya, penggunaan B20 sendiri sudah dilakukan pada transportasi laut seperti armada-armada kapal Feri milik PT Pelni (Persero). Namun, untuk penggunaan di transportasi darat, termasuk logistik, tentu harus dilakukan terobosan, termasuk terkait dengan masalah transportasi.

Pemerintah mengklaim kebijakan B20 mengurangi defisit neraca perdagangan di sektor migas. Namun, B20 tak membuat neraca perdagangan migas menjadi surplus. B20 akan berkontribusi mengurangi defisit sebesar USD1 miliar sampai akhir tahun ini.

Biodesel merupakan campuran solar 80% dan minyak kelapa sawit atau CPO sebesar 20%. Penjualan B20 dilakukan ke seluruh lapisan masyarakat dan kategori. Baik dalam bentuk kewajiban penenuhan pasar domestik (PSO) maupun kalangan bersubsidi, transportasi non-PSO, industri, pertambangan, atau ketenagalistrikan.

Pengecualian konsumsi B20 hanya diberlakukan untuk pembangkit listrik yang menggunakan turbin aero-derivatif, sistem persenjataan (alutsista), dan perusahaan tambang yang beroperasi di dataran tinggi. Ini pun harus disertai pernyataan resmi dari lembaga bersangkutan.

Namun di lapangan, sebagian masyarakat masih belum sadar atau belum mengetahui bahwa mereka mengisi kendaraannya dengan B20. Mereka juga tidak menyadari pengaruhnya terhadap performa mesin kendaraan.

Penerapan B20 ini merupakan salah satu upaya pemerintah menekan impor minyak. Apalagi produksi kelapa sawit (CPO) Indonesia cukup melimpah sehingga perlu diserap oleh industri perminyakan di Tanah Air.

Apalagi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih lemah sehingga dinilai perlu mengurangi impor. Karena itulah B20 yang sebenarnya sudah ada sejak 2016 itu sudah sepantasnya digalakkan untuk ditingkatkan penggunaannya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3331 seconds (0.1#10.140)