Kontroversi Isu Keagamaan di Tahun Politik

Jum'at, 21 September 2018 - 13:08 WIB
Kontroversi Isu Keagamaan...
Kontroversi Isu Keagamaan di Tahun Politik
A A A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

AGAMA (Islam) dan politik tidak dapat dipisahkan. Memisahkan agama dari politik akan menghasilkan sistem politik dan kenegaraan sekuler seperti yang terjadi di Barat.

Dalam Islam, tidak ada pemisahan urusan agamawi dari urusan duniawi, keduanya harus terintegrasi. Agama bisa dilontarkan sebagai isu politik asalkan dalam melontarkan isu itu memakai etika agama dan cara rasional-proporsional. Misalnya, agama sangat mencela dan melarang perbuatan korupsi.

Perilaku korup dan perbuatan korupsi (sebagai larangan agama) dapat dilontarkan sebagai isu politik dalam kampanye pemilu. Para jurkam misalnya menyerukan kepada rakyat/calon pemilih agar tidak memilih calon anggota legislatif, gubernur, bupati, wali kota, dan pemimpin yang diketahui (pernah) melakukan korupsi.

Ini berarti, calon yang tidak melakukan korupsi harus dipilih. Dalam konteks ini (dan konteks sejenis), agama dapat dijadikan isu politik atau tema kampanye agar rakyat memilih wakil dan pemimpin yang memiliki rekam jejak yang baik demi terselenggaranya pemerintahan yang bersih.

Tersulut oleh luapan tensi politik yang memanas, dalam kampanye pemilu tidak jarang jurkam secara tidak proporsional menjadikan agama sebagai komoditas politik. Sudah pasti, tujuannya untuk memojokkan lawan politiknya agar dapat dikalahkan.

Kubu partainya hendak meraih keuntungan politik dengan cara menggunakan isu agama dan baginya cara apa pun halal asal tujuan tercapai. Praktik Machiavellistis pun mereka terapkan untuk meraih tujuan.

Fenomena seperti ini dapat dilihat di tahun politik atau di saat kampanye pemilu dilaksanakan. Secara ringkas, berikut ini dipaparkan kontroversi isu keagamaan yang mencuat di tahun politik.

Golkar dan Fatwa Haram

Kontroversi isu keagamaan sangat terasa dalam kampanye Pemilu 1971. Dalam upaya memojokkan Golkar, kalangan muslim dan jurkam Partai NU menyerukan kepada komunitas muslim agar “La taqrabu hadzihisy syajarah” (Jangan dekati pohon itu; maksudnya: Jangan dekati Pohon Beringin/jangan pilih Golkar). Kampanye ini ditujukan kepada kalangan muslim agar menjauhi Golkar dan memberikan suara mereka kepada NU.

Jurkam Golkar bereaksi dengan mengatakan, sebaik-baik manusia adalah orang yang paling banyak amal dan karyanya serta paling banyak memberikan manfaat kepada orang lain. Dengan menggunakan hadis ini, jurkam Golkar menyerukan agar orang-orang Islam memilih Golkar yang banyak amal dan karyanya bagi masyarakat dan bangsa.

Kontroversi isu keagamaan serupa muncul lagi dalam kampanye Pemilu 1977. Ketua Majelis Pertimbangan PPP dalam upayanya meraih dukungan politik dari umat Islam mengeluarkan fatwa yang menyatakan wajib hukumnya bagi umat Islam memilih PPP.

Ia mengatakan, demi menjunjung tinggi agama dan hukum Allah, setiap muslim yang berpartisipasi dalam Pemilu 1977, baik pria maupun wanita, terutama anggota PPP, wajib hukumnya memilih PPP. Umat Islam yang berpartisipasi dalam pemilu tetapi tidak memilih PPP, mereka telah meninggalkan hukum Allah.

Kontroversi isu keagamaan serupa mencuat lagi dalam kampanye Pemilu 1982. Jurkam PPP mengklaim, mencoblos tanda gambar PPP sama dengan memilih Islam, sedangkan mencoblos tanda gambar partai lain, khususnya Golkar, bukan pilihan yang islami.

Jurkam PPP bahkan melabel Golkar sebagai Golkur (Golongan Quraisy), yaitu golongan kafir Quraisy di Mekkah yang menentang dakwah Nabi Muhammad. Jurkam Golkar cepat menangkis “serangan” jurkam PPP.

Amir Moertono (ketum Golkar) angkat suara dengan menyatakan, mencoblos tanda gambar partai dalam pemilu semata-mata merupakan masalah politik dan tidak terkait dengan akidah, hukum agama, dan ketaatan kepada agama.

Perempuan Haram Jadi Capres
Menjelang Pemilu 1999, jenis kelamin capres menjadi isu keagamaan yang kontroversial. Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) di Jakarta mengeluarkan rekomendasi bahwa capres-cawapres (periode 2000-2004) harus laki-laki. Itu berarti, perempuan tidak direkomendasi untuk menjadi capres-cawapres.

Rekomendasi KUII ini jelas hendak mengganjal Megawati Soekarnoputri (ketum PDIP) untuk maju sebagai capres. Larangan perempuan menjadi kepala negara biasanya didasarkan pada pandangan fikih klasik dan penafsiran klasik Surah Annisa’ ayat 34: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena itu Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka.”

Para pakar muslim modern seperti Fatima Mernisi dan Riffat Hassan berpendapat, kalimat arrijalu qawwamu na alannisa (kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan) berlaku dalam konteks urusan rumah tangga, misalnya suami bertanggung jawab atas nafkah keluarga, mengayomi, dan memberikan perhatian kepada wanita (istri) dan keluarganya dalam urusan rumah tangga.

Pandangan klasik tersebut di atas telah terbantah dengan dipilihnya Benazir Bhutto menjadi PM Pakistan (1988–1990 dan 1993–1996), Begum Khalida Zia menjadi PM Bangladesh (1991¬–1996 dan 2001–2006), dan Hashina Wajeed menjadi PM Bangladesh (1996–2001 dan 2009–2014). Indonesia pada akhirnya mempunyai presiden perempuan (pertama) pada 2002 ketika Megawati Soekarnoputri menggantikan Abdurrahman Wahid.

Farhat Abbas (dikenal sebagai pengacara) adalah caleg Pemilu 2019 dari PKB. Sangat disayangkan isu kontroversial keagamaan yang dia pasang di akun Instagram-nya baru-baru ini.

Sebagai pendukung Jokowi (calon presiden petahana yang diusung oleh kubu Koalisi Kerja), Farhat mengunggah foto dirinya disertai tulisan “Pak Jokowi adalah Presiden yang menuntun Indonesia masuk surga. Yang pilih Pak Jokowi masuk surga! Yang gak pilih Pak Jokowi dan yang menghina, fitnah & nyinyirin Pak Jokowi bakal masuk neraka.”

Pernyataan Farhat ”Yang pilih Pak Jokowi masuk surga! Yang gak pilih Pak Jokowi ... bakal masuk neraka” sangat kental dengan muatan politik dan tidak sejalan dengan ajaran Islam. Dengan pernyataannya itu, Farhat telah ”mengambil alih” kekuasaan, kewenangan, dan otoritas mutlak Allah dalam menetapkan seseorang masuk surga atau masuk negara. Yang benar dan sesuai doktrin Islam, orang masuk surga atau neraka bergantung pada iman, ibadah, amal, dan takwanya kepada-Nya.

Sudah saatnya kontroversi isu-isu keagamaan yang bertujuan meraih dukungan politik dan hendak “menyudutkan” lawan politiknya dihindari. Lebih diutamakan adu gagasan dan program kerja yang bertujuan memakmurkan dan menyejahterakan rakyat.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5246 seconds (0.1#10.140)