Tiga Tahun SDGs, Kasus Perkawinan Anak Usia Dini Masih Marak
A
A
A
JAKARTA - Pernikahan anak terus terjadi di Indonesia. Agustus lalu di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan seorang anak lelaki yang baru lulus SD mempersunting remaja perempuan berusia 17 tahun. Berita itu memperpanjang daftar pernikahan anak yang terungkap ke publik. Menurut data Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Provinsi Sulsel, sepanjang Januari-Agustus 2018 sudah ada 720 kasus pernikahan anak.
Sulsel memang termasuk salah satu provinsi yang memiliki angka pernikahan anak tertinggi di Indonesia seperti disebut dalam laporan "Perkawinan Usia Anak di Indonesia". Laporan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dan United Nations Children's Fund (UNICEF) pada Januari 2017 lalu itu juga menyebut di antara perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun, 22,82% menikah sebelum usia 18 tahun. Angka tersebut diperoleh dari Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan BPS pada 2015.
Perkawinan usia anak ini tak hanya terjadi di daerah tertentu. Praktiknya terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Terdapat 20 provinsi dengan prevalensi perkawinan usia anak yang lebih tinggi dibanding angka nasional (22,82%). Lima provinsi dengan angka prevelensi terbesar yakni Sulawesi Barat (34,22%), Kalimantan Selatan (33,68%), Kalimantan Tengah (33,56%), Kalimantan Barat (33,21%), dan Sulawesi Tengah (31,91%).
Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Indry Oktaviani menyatakan tren perkawinan anak semakin menguat dengan semakin terbukanya praktik perkawinan anak di masyarakat. "Upaya masyarakat mempertahankan perkawinan anak ketika negara menolak untuk memberikan legitimasi juga mempertinggi tren tersebut," ujar Indry.
Zumrotin K Susilo, Dewan Pengawas International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) menyebutkan, untuk membangun bangsa yang sejahtera, berkualitas, dan bebas diskriminasi gender sebagaimana maksud dari Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, maka pernikahan anak di Indonesia harus diakhiri. Pernikahan anak, kata Zumrotin, berdampak pada kemiskinan, kematian ibu juga kualitas bayi yang dilahirkan. "Anak yang menikah dini juga akan putus sekolah sehingga wajib belajar 12 tahun tak terpenuhi," kata Zumrotin.
Di samping itu pernikahan anak membuat kekerasan seksual dan kekerasan rumah tangga rentan terjadi sekaligus merenggut hak anak, merujuk Undang-undang tentang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002. Lebih lanjut, menurut Zumrotin, penghentian pernikahan anak akan memberi kontribusi pada pencapaian SDGs Tujuan 1, 2, 3, 4 dan 5.
Penghapusan pernikahan anak merupakan salah satu indikator SDGs, sehingga seharusnya tidak sulit dicapai. Penghapusan pernikahan anak harus menjadi komitmen berbagai kementerian antara lain Kemenkes, Kemen PPPA, Kemendiknas, BKKOS Kemensos dan Kementerian Agama. "Selama ini pernikahan anak hanya dianggap urusan Kementerian Agama," ujarnya.
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan dengan memastikan bahwa anak-anak perempuan dapat mengejar pendidikan tinggi dan keterampilan kejuruan, dan menyiapkan peluang masa depan untuk memperoleh penghasilan. SDGs telah menetapkan tujuan dan target secara khusus untuk menghapus segala bentuk praktik-praktik perkawinan anak. Tujuan tersebut tertuang di tujuan 5 Target ketiga.
Siti Khoirun Ni'mah, Program Manager INFID menambahkan pelaksanaan SDGs sudah memasuki tahun ketiga. Masalah perkawinan anak semestinya bisa dipecahkan melalui pelaksanaan dan pencapaian SDGs. Untuk itu, penting adanya peta jalan pencapaian SDGs yang disusun dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. "Sehingga hambatan-hambatan yang terjadi terkait dengan perkawinan anak dapat dipecahkan bersama-sama," ujar Ni'mah.
Guna mendorong adanya kolaborasi para pihak, INFID akan menyelenggarakan Seminar Nasional SDGs di Jakarta pada 20 September 2018 yang akan dihadiri oleh 200 orang peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Tema seminar nasional adalah Konsolidasi Pemangku Kepentingan dalam Pelaksanaan dan Pencapaian SDGs di Indonesia. Melalui Seminar Nasional, diharapkan terjadi pertukaran informasi dan pembelajaran para pihak untuk pencapaian SDGs yang inklusif dan partisipatif.
Sulsel memang termasuk salah satu provinsi yang memiliki angka pernikahan anak tertinggi di Indonesia seperti disebut dalam laporan "Perkawinan Usia Anak di Indonesia". Laporan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dan United Nations Children's Fund (UNICEF) pada Januari 2017 lalu itu juga menyebut di antara perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun, 22,82% menikah sebelum usia 18 tahun. Angka tersebut diperoleh dari Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan BPS pada 2015.
Perkawinan usia anak ini tak hanya terjadi di daerah tertentu. Praktiknya terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Terdapat 20 provinsi dengan prevalensi perkawinan usia anak yang lebih tinggi dibanding angka nasional (22,82%). Lima provinsi dengan angka prevelensi terbesar yakni Sulawesi Barat (34,22%), Kalimantan Selatan (33,68%), Kalimantan Tengah (33,56%), Kalimantan Barat (33,21%), dan Sulawesi Tengah (31,91%).
Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Indry Oktaviani menyatakan tren perkawinan anak semakin menguat dengan semakin terbukanya praktik perkawinan anak di masyarakat. "Upaya masyarakat mempertahankan perkawinan anak ketika negara menolak untuk memberikan legitimasi juga mempertinggi tren tersebut," ujar Indry.
Zumrotin K Susilo, Dewan Pengawas International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) menyebutkan, untuk membangun bangsa yang sejahtera, berkualitas, dan bebas diskriminasi gender sebagaimana maksud dari Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, maka pernikahan anak di Indonesia harus diakhiri. Pernikahan anak, kata Zumrotin, berdampak pada kemiskinan, kematian ibu juga kualitas bayi yang dilahirkan. "Anak yang menikah dini juga akan putus sekolah sehingga wajib belajar 12 tahun tak terpenuhi," kata Zumrotin.
Di samping itu pernikahan anak membuat kekerasan seksual dan kekerasan rumah tangga rentan terjadi sekaligus merenggut hak anak, merujuk Undang-undang tentang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002. Lebih lanjut, menurut Zumrotin, penghentian pernikahan anak akan memberi kontribusi pada pencapaian SDGs Tujuan 1, 2, 3, 4 dan 5.
Penghapusan pernikahan anak merupakan salah satu indikator SDGs, sehingga seharusnya tidak sulit dicapai. Penghapusan pernikahan anak harus menjadi komitmen berbagai kementerian antara lain Kemenkes, Kemen PPPA, Kemendiknas, BKKOS Kemensos dan Kementerian Agama. "Selama ini pernikahan anak hanya dianggap urusan Kementerian Agama," ujarnya.
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan dengan memastikan bahwa anak-anak perempuan dapat mengejar pendidikan tinggi dan keterampilan kejuruan, dan menyiapkan peluang masa depan untuk memperoleh penghasilan. SDGs telah menetapkan tujuan dan target secara khusus untuk menghapus segala bentuk praktik-praktik perkawinan anak. Tujuan tersebut tertuang di tujuan 5 Target ketiga.
Siti Khoirun Ni'mah, Program Manager INFID menambahkan pelaksanaan SDGs sudah memasuki tahun ketiga. Masalah perkawinan anak semestinya bisa dipecahkan melalui pelaksanaan dan pencapaian SDGs. Untuk itu, penting adanya peta jalan pencapaian SDGs yang disusun dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. "Sehingga hambatan-hambatan yang terjadi terkait dengan perkawinan anak dapat dipecahkan bersama-sama," ujar Ni'mah.
Guna mendorong adanya kolaborasi para pihak, INFID akan menyelenggarakan Seminar Nasional SDGs di Jakarta pada 20 September 2018 yang akan dihadiri oleh 200 orang peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Tema seminar nasional adalah Konsolidasi Pemangku Kepentingan dalam Pelaksanaan dan Pencapaian SDGs di Indonesia. Melalui Seminar Nasional, diharapkan terjadi pertukaran informasi dan pembelajaran para pihak untuk pencapaian SDGs yang inklusif dan partisipatif.
(amm)