Perludem Sebut Perang Tagar Tidak Mendidik Masyarakat
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan #2019tetapjokowi dan #2019gantipresiden tidak mendidik dan hanya hanya membuat kegaduhan di masyarakat.
Tagar tersebut menjadi kontroversi yang mengundang pro dan kontra di masyarakat. Bahkan gerakan tagar tersebut telah menimbulkan perdebatan publik apakah makar atau bukan baik di kalangan sebagai masyarakat yang mendukung atau menolak maupun para ahli.
“Narasi #2019gantipresiden ataupun #2019tetapJokowi itu tidak mendidik. Karena sentimennya dibawa pada orang, kita itu dibawa pada sentimen untuk mendukung orang,” ujar saat diskusi #2019gantipresiden makar atau bukan di DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (12/9/2018).
Titi menyayangkan hadirnya kedua gerakan tagar tersebut. Pasalnya, gerakan tersebut tidak meninjau lebih jauh kepada visi misi dari masing-masing paslon.
“Itu yang kami sayangkan dari dua kelompok tersebut lebih dominan menonjolkan sentimen emosional, ketimbang kenapa harus itu, mengapa harus orang itu, jadi itu yang tidak dibangun,” jelasnya.
Selain itu, Titi menyebut hadirnya gerakan kedua tagar tersebut salah satu alasannya karena adanya ambang batas pemilihan presiden sesuai dengan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017.
“Mangkanya kemudian gerakan ini adalah gerakan yang paling mudah untuk membuat pembeda anatara kelompok presiden dengan kelompok presiden yang lain. Jadi dalam pandangan kami itu mungkin kita bisa hindari ke depan jika tidak ada ambang batas pencalonan presiden,” tutupnya.
Tagar tersebut menjadi kontroversi yang mengundang pro dan kontra di masyarakat. Bahkan gerakan tagar tersebut telah menimbulkan perdebatan publik apakah makar atau bukan baik di kalangan sebagai masyarakat yang mendukung atau menolak maupun para ahli.
“Narasi #2019gantipresiden ataupun #2019tetapJokowi itu tidak mendidik. Karena sentimennya dibawa pada orang, kita itu dibawa pada sentimen untuk mendukung orang,” ujar saat diskusi #2019gantipresiden makar atau bukan di DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (12/9/2018).
Titi menyayangkan hadirnya kedua gerakan tagar tersebut. Pasalnya, gerakan tersebut tidak meninjau lebih jauh kepada visi misi dari masing-masing paslon.
“Itu yang kami sayangkan dari dua kelompok tersebut lebih dominan menonjolkan sentimen emosional, ketimbang kenapa harus itu, mengapa harus orang itu, jadi itu yang tidak dibangun,” jelasnya.
Selain itu, Titi menyebut hadirnya gerakan kedua tagar tersebut salah satu alasannya karena adanya ambang batas pemilihan presiden sesuai dengan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017.
“Mangkanya kemudian gerakan ini adalah gerakan yang paling mudah untuk membuat pembeda anatara kelompok presiden dengan kelompok presiden yang lain. Jadi dalam pandangan kami itu mungkin kita bisa hindari ke depan jika tidak ada ambang batas pencalonan presiden,” tutupnya.
(kri)