Soal Tagar 2019 Ganti Presiden, Pengamat: Ada Agenda Tersembunyi
A
A
A
JAKARTA - Gerakan tanda pagar 2019 Ganti Presiden atau #2019GantiPresiden diindikasikan ditumpangi oleh kelompok tertentu yang memiliki agenda tertentu pula.
Menurut Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran, Bandung, Muradi, ada lima indikasi gerakan #2019GantiPresiden ditunggangi oleh penumpang gelap yang dinilainya mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Pertama, meski sebagian presidium #2019GantiPresiden adalah penggiat partai, dan partai mereka telah resmi mengusung bakal calon pasangan presiden dan wakil presiden, namun masih enggan untuk diasosiasikan dengan pasangan tersebut," tutur Muradi dalam keterangan tertulisnya, Minggu (9/9/2018).
Menurut dia, hal tersebut mengindikasikan ada agenda yang berbeda antara kader partai tersebut dengan gerakan tagar ganti presiden.
Kedua, kata dia, aksi dan #2019GantiPresiden diidentikkan sebagai gerakan agama atau setidaknya berbasis dengan agama tertentu dengan menjadikan rumah ibadah sebagai bagian dari kampanye tagar ganti presiden.
Gerakan tersebut, menurut dia, selalu mengasosiasikan pemerintah antiagama tertentu meskipun misalnya capres petahana menjadikan ulama sebagai cawapresnya.
Secara politik, kata Muradi, hal itu menunjukkan mereka bukan hanya tidak mengingingkan bakal calon yang diusung para anggota presidium tersebut, tapi juga menganggap bahwa ulama yang diusung oleh petahana sebagai figur yang tidak diinginkan.
"Karena itu esensi gerakan tagar ganti presiden tidak dalam mengusung salah satu pasangan calon dari dua pasangan calon yang ada saat ini, melainkan ada agenda politik tersendiri yang sama sekali berbeda dengan hajat politik yang tengah berlangsung saat ini," tutur Muradi.
Dia melanjutkan, indikasi Ketiga, dalam setiap aksi dan deklarasi yang dilakukan hampir tidak pernah menyebut pasangan yang ingin diusung oleh partai dari presidium tagar ganti presiden tersebut.
"Jika jeli dalam melihat sejumlah orasi yang dilakukan kerap kali memancing solidaritas keumatan dengan berbagai isu yang belum tentu teruji kebenarannya. Hal ini mengingatkan kita pada jargon yang sering digunakan oleh HTI sebelum dibubarkan dan dilarang oleh pemerintah," tandasnya.
Keempat, sambung Muradi, #2019GantiPresiden juga secara eksplisit dan terbuka mengklaim sebagai gerakan konstitusional, namun pada praktiknya itu adalah bagian yang kemudian dijadikan pijakan legal argumentatif apabila gerakan yang dilakukan ditolak atau dilarang.
Di sisi yang lain mereka juga kerap menggunakan jargon-jargon dan simbol yang digunakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Kelima, hampir pasti #2019GantiPresiden akan bermetamorfosa kembali untuk menolak penggunaan #2019PrabowoPresiden yang harusnya diusung serius oleh kader-kader yang partainya mengusung mantan Danjen Kopassus tersebut sebagai capres.
"Hal ini agak mirip saat simbolisasi 212 redup, yang kemudian menggunakan tagar ganti presiden. Artinya ada penegasan bahwa gerakan tagar ganti presiden tidak menginginkan pola formal konstitusional sebagaimana yang diatur oleh undang-undang dalam proses pergantian kepemimpinan politik nasional," tuturnya.
Menurut dia, tagar ganti presiden secara sistematis adalah gerakan yang ingin membangun sentimen ketidaksukaan pada pemerintah yang tengah berjalan karena dianggap tidak mewakili kepentingan politiknya.
Namun di sisi lain, kata dia, juga enggan untuk menyokong calon lawan dari petahana dengan berbagai pertimbangan, karena keduanya tidak mewakili dan merepresentesikan kepentingan politik mereka.
"Dari lima indikasi tersebut, dipastikan bahwa gerakan tagar ganti presiden tidak menginginkan alur proses politik kontestasi lima tahunan yang diatur dalam skema demokrasi prosedural. Dengan kata lain, ada agenda politik tersembunyi yang ingin diperjuangkan di luar skema politik yang ada, dan hal tersebut nampak dari lima indikasi tersebut," tuturnya.
Menurut Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran, Bandung, Muradi, ada lima indikasi gerakan #2019GantiPresiden ditunggangi oleh penumpang gelap yang dinilainya mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Pertama, meski sebagian presidium #2019GantiPresiden adalah penggiat partai, dan partai mereka telah resmi mengusung bakal calon pasangan presiden dan wakil presiden, namun masih enggan untuk diasosiasikan dengan pasangan tersebut," tutur Muradi dalam keterangan tertulisnya, Minggu (9/9/2018).
Menurut dia, hal tersebut mengindikasikan ada agenda yang berbeda antara kader partai tersebut dengan gerakan tagar ganti presiden.
Kedua, kata dia, aksi dan #2019GantiPresiden diidentikkan sebagai gerakan agama atau setidaknya berbasis dengan agama tertentu dengan menjadikan rumah ibadah sebagai bagian dari kampanye tagar ganti presiden.
Gerakan tersebut, menurut dia, selalu mengasosiasikan pemerintah antiagama tertentu meskipun misalnya capres petahana menjadikan ulama sebagai cawapresnya.
Secara politik, kata Muradi, hal itu menunjukkan mereka bukan hanya tidak mengingingkan bakal calon yang diusung para anggota presidium tersebut, tapi juga menganggap bahwa ulama yang diusung oleh petahana sebagai figur yang tidak diinginkan.
"Karena itu esensi gerakan tagar ganti presiden tidak dalam mengusung salah satu pasangan calon dari dua pasangan calon yang ada saat ini, melainkan ada agenda politik tersendiri yang sama sekali berbeda dengan hajat politik yang tengah berlangsung saat ini," tutur Muradi.
Dia melanjutkan, indikasi Ketiga, dalam setiap aksi dan deklarasi yang dilakukan hampir tidak pernah menyebut pasangan yang ingin diusung oleh partai dari presidium tagar ganti presiden tersebut.
"Jika jeli dalam melihat sejumlah orasi yang dilakukan kerap kali memancing solidaritas keumatan dengan berbagai isu yang belum tentu teruji kebenarannya. Hal ini mengingatkan kita pada jargon yang sering digunakan oleh HTI sebelum dibubarkan dan dilarang oleh pemerintah," tandasnya.
Keempat, sambung Muradi, #2019GantiPresiden juga secara eksplisit dan terbuka mengklaim sebagai gerakan konstitusional, namun pada praktiknya itu adalah bagian yang kemudian dijadikan pijakan legal argumentatif apabila gerakan yang dilakukan ditolak atau dilarang.
Di sisi yang lain mereka juga kerap menggunakan jargon-jargon dan simbol yang digunakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Kelima, hampir pasti #2019GantiPresiden akan bermetamorfosa kembali untuk menolak penggunaan #2019PrabowoPresiden yang harusnya diusung serius oleh kader-kader yang partainya mengusung mantan Danjen Kopassus tersebut sebagai capres.
"Hal ini agak mirip saat simbolisasi 212 redup, yang kemudian menggunakan tagar ganti presiden. Artinya ada penegasan bahwa gerakan tagar ganti presiden tidak menginginkan pola formal konstitusional sebagaimana yang diatur oleh undang-undang dalam proses pergantian kepemimpinan politik nasional," tuturnya.
Menurut dia, tagar ganti presiden secara sistematis adalah gerakan yang ingin membangun sentimen ketidaksukaan pada pemerintah yang tengah berjalan karena dianggap tidak mewakili kepentingan politiknya.
Namun di sisi lain, kata dia, juga enggan untuk menyokong calon lawan dari petahana dengan berbagai pertimbangan, karena keduanya tidak mewakili dan merepresentesikan kepentingan politik mereka.
"Dari lima indikasi tersebut, dipastikan bahwa gerakan tagar ganti presiden tidak menginginkan alur proses politik kontestasi lima tahunan yang diatur dalam skema demokrasi prosedural. Dengan kata lain, ada agenda politik tersembunyi yang ingin diperjuangkan di luar skema politik yang ada, dan hal tersebut nampak dari lima indikasi tersebut," tuturnya.
(dam)