Islam, Egalitarianisme, Haji Mabrur

Jum'at, 07 September 2018 - 08:17 WIB
Islam, Egalitarianisme, Haji Mabrur
Islam, Egalitarianisme, Haji Mabrur
A A A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Perintah Allah kepada umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah terdapat dalam Alquran Surah Ali Imran ayat 96-97: “Sesungguhnya rumah suci pertama yang dibangun untuk tempat beribadah bagi manusia adalah Baitullah yang ada di Mekkah, yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi manusia. Di situ ada tanda-tanda yang nyata tentang kebesaran Allah, di antaranya adalah makam Nabi Ibrahim. Barang siapa yang masuk ke dalam Baitullah, ia merasa aman. Allah mewajibkan kepada manusia untuk mengunjungi (berhaji) ke Baitullah itu, yaitu bagi orang-orang yang mampu melakukan perjalanan.”

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa ibadah haji itu diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail. Ibadah haji ini diteruskan dan dilestarikan sebagai syariat Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam struktur ajaran Islam, ibadah haji merupakan pilar kelima rukun Islam. Bila sudah berhaji, seorang muslim dan muslimah sudah lengkap melaksanakan lima rukun Islam.

Egalitarianisme Islam
Ibadah haji mencerminkan egalitarianisme Islam. Ia adalah ikon persaudaraan, persatuan, kesatuan, dan persamaan manusia. Jamaah haji menanggalkan atribut-atribut duniawiah mereka (seperti pangkat, gelar, kedudukan, status sosial, kekayaan, jenis kelamin, ras, etnis, kebangsaan). Mereka memakai pakaian ihram yang sama (warna serbaputih dengan pola pakaian yang sama) sehingga benar-benar melambangkan ajaran kesetaraan, kesamaan, dan persamaan manusia dalam Islam. Derajat, status, pangkat, dan kedudukan mereka adalah sama di hadapan Allah, Sang Maha Pencipta. Hanya bobot iman dan kualitas takwa sajalah yang membedakan seseorang dengan orang lain di hadapan Allah.

Jamaah haji yang berjumlah 3-4 juta orang dari seluruh pelosok dunia juga disatukan dan dipersaudarakan dengan ikatan kesatuan akidah dan jalinan ukhuwah Islamiah tanpa mempersoalkan latar belakang etnis, ras, nasionalitas, bahasa, sosio-kultural, aliran politik, dan lokalitas-geografis mereka.

Satu-satunya yang membedakan seorang anggota jamaah haji dengan anggota jamaah haji lainnya (lebih luas lagi: antarpribadi muslim) adalah bobot iman dan kualitas takwanya kepada Allah. Manusia secara pribadi bertanggung jawab atas perbuatan sendiri kepada Allah di akhirat kelak. Selain memiliki nilai egalitarianisme yang sangat kental dan total, ibadah haji juga punya makna perlawanan terhadap setanisme.

Jamaah haji melempari jamarat sebagai simbol perlawanan terhadap setan, musuh bebuyutan manusia sepanjang sejarah. Setan terus-menerus melancarkan godaan, bujukan, dan jebakan untuk menjerumuskan manusia ke jurang imoralitas, kriminalitas, kemaksiatan, kefasikan, kekafiran, dan kemungkaran. Setan, setanisme, dan setanisasi harus ditentang, dilawan, dan dikalahkan. Itulah makna simbolik dan maksud jamaah haji melakukan lempar jumrah.

Labbaik Allahumma Labbaik
Dalam melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah, jamaah datang dari berbagai belahan dunia. Mereka yang tinggal dekat dengan Kakbah cukup berjalan kaki atau naik bus. Mereka yang tinggal di negara-negara yang jauh dari Baitullah (Arab Saudi) menggunakan kapal laut atau pesawat. Berbagai kendala dan kesulitan (sejak dari kampung halaman, di tengah perjalanan hingga sesampainya di tempat tujuan) mereka hadapi dengan sabar, ikhlas, dan tawakal demi beribadah kepada Allah.

Ibadah haji memadukan religiositas, ritualitas, dan historisitas. Jamaah melakukan serangkaian ritual haji seperti ihram, tawaf, sai, wukuf di Arafah, melempar jumrah, dan tahalul sebagai satu-kesatuan rangkaian ibadah. Semua ritual ini merupakan pengalaman kerohanian yang mengungkap tapak tilas historisitas dan religiositas keimanan dan ketakwaan Nabi Ibrahim, istriya Siti Hajar, dan putranya Nabi Ismail. Horison sejarah kenabian Muhammad, dari Mekkah ke Madinah, terkuak dan terbentang di hadapan jamaah haji. Dari sinilah lahir agama besar dunia, Islam, yang pada waktu itu pengikutnya dapat dihitung dengan jari, tetapi kini telah berjumlah lebih dari satu miliar orang.

Kakbah diyakini sebagai sentrum universe dan ke arah itulah jutaan anggota jamaah haji dan seluruh umat Islam menghadap ke kiblat salat dan tunduk bersujud ke hadapan-Nya. Makam Nabi Muhammad di Masjid Nabawi, Madinah, menjadi saksi dan bukti nyata bahwa Nabi bukan tokoh yang hidup dalam dongeng-dongeng yang kuburannya tidak diketahui, tetapi merupakan realitas historis yang dapat dilihat dengan mata kepala. Kepercayaan muslim akan kenabian Muhammad dan agama Islam yang dibawanya lebih diperkuat dengan fakta-fatkta historis itu.

Dalam prosesi ibadah haji yang khusyuk, jamaah dengan suara gemuruh mengumandangkan kalimat talbiah: labbaik, allahumma labbaik, la syarika laka labbaik (aku datang menunjukkan kataatan kepada-Mu, ya Allah; tidak ada sesuatu yang menyamai kekuasaan dan keagungan-Mu). Jamaah pun berdoa agar memperoleh predikat dan derajat haji mabrur, yaitu haji yang baik, diterima dan diridai Allah, yang balasannya tak lain adalah surga.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4655 seconds (0.1#10.140)