Perihal Putusan Bawaslu dan Sengketa Norma

Rabu, 05 September 2018 - 08:45 WIB
Perihal Putusan Bawaslu dan Sengketa Norma
Perihal Putusan Bawaslu dan Sengketa Norma
A A A
Antoni Putra
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia

SUDAH 2 Putusan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang menganulir keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak meloloskan mantan terpidana korupsi menjadi calon legislatif (caleg). Jumlah tersebut masih berpotensi bertambah mengingat masih banyak sengketa serupa yang belum diputus Bawaslu di berbagai daerah.
Dalam putusannya tersebut Bawaslu beralasan bahwa tidak ada larangan bagi mantan terpidana korupsi untuk menjadi caleg di dalam UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Larangan mantan terpidana korupsi untuk maju menjadi calon legislatif hanya terdapat di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 14 14/2018 dan PKPU Nomor 20/2018 yang sejatinya hanyalah aturan turunan dari UU Pemilu.

Bawaslu menilai bahwa PKPU tersebut bertentangan dengan UU Nomor 7/2017, Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 dan Putusan MK.42/PUU-XIII/2015 yang memperbolehkan mantan narapidana korupsi menjadi caleg sepanjang tidak dihukum lebih dari lima tahun.

Permasalahan Serupa

Masalah hampir serupa sebenarnya terjadi dalam hal pembentukan Pejabat Pengelola Informasi Publik (PPID) dalam hal keterbukaan informasi publik. Bedanya, dalam hal keterbukaan informasi publik tidak ada yang mempersoalkan perbedaan konsep yang diatur UU dengan peraturan yang ada di bawahnya.

Di dalam UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada dasarnya menyatakan bahwa setiap badan publik harus memiliki PPID. Tetapi di dalam PP Nomor 61/2010, Permendagri Nomor 35/2010 dan Permendagri Nomor 52/2011, PPID hanya wajib ada satu di setiap kementerian/daerah.Sementara untuk badan publik seperti halnya satuan kerja perangkat daerah (SKPD) hanya perlu memiliki PPID pembantu yang tugasnya adalah menyediakan informasi/data untuk PPID pusat bila nantinya ada yang meminta informasi. Padahal jika merujuk pada UU Nomor 14/2008 tidak ada istilahnya PPID Pusat dan PPID Pembantu, melainkan PPID melekat pada badan publik yang tugasnya adalah mengelola informasi di badan publik terkait.
Jika merujuk pada hal tersebut, maka PP Nomor 61/2010, Permendagri Nomor 35/2010 dan Permendagri Nomor 52/2011 sejatinya dapat dinilai juga bertentangan dengan UU Nomor 14/2008. Tetapi, di dalam praktiknya yang dipedomani adalah ketiga aturan tersebut, bukan UU Nomor 14/2008. Hal ini terjadi karena tiga aturan tersebut adalah peraturan pelaksana yang mengatur secara teknis bagaimana pelaksanaan keterbukaan infoormasi publik.

Begitu juga seharusnya dalam penyelenggaraan pemilu legislatif. Di mana PKPU adalah teknis pelaksanaan yang seharusnya dijalankan dan dipatuhi oleh pihak-pihak terkait.

Kemudian, terhadap putusan Bawaslu yang menganulir keputusan KPU yang tidak meloloskan mantan terpidana korupsi menjadi caleg, sejatinya juga tidak dapat dilaksanakan, sebab KPU terikat pada PKPU yang telah diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.

KPU baru bisa menjalankan putusan Bawaslu apabila sudah ada Putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan PKPU. Jika tanpa putusan MA, maka tidak ada alasan bagi KPU untuk menerima dan menjalankan putusan Bawaslu tersebut.

Pertentangan Norma

Untuk menentukan suatu pertentangan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi haruslah melalui mekanisme yang diatur di dalam konstitusi. Jika terjadi pertentangan norma, UUD 1945 memberikan dua mekanisme untuk dilakukannya pengujian peraturan perundang-undangan, yakni pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk UU terhadap UUD dan di MA untuk peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.

Jika merujuk kepada mekanisme yang diatur konstitusi tersebut, maka di dalam perkara ini Bawaslu jelas telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah berbuat di luar kewenangannya. Bawaslu sejatinya hanya berwenang menjalankan undang-undang, bukan menilai dan memutus pertentangan aturan dengan aturan yang lebih tinggi.

Untuk memutus pertentangan PKPU dengan UU Nomor 7/2017, Bawaslu sama sekali tidak berwenang. Kewenangannya melainkan ada di MA. Artinya, sepanjang belum ada Putusan MA yang memutus bawah PKPU bertentangan dengan UU Nomor 7/2017, maka PKPU tetap berlaku dan mengikat semua pihak dalam penyelenggaraan pemilu legislatif, tak terkecuali Bawaslu.

Dalam perkara PKPU, saat ini memang tengah diuji di MA. Tetapi, pengujian PKPU tersebut juga tidak dapat dijadikan alasan bagi Bawaslu untuk meloloskan mantan terpidana korupsi menjadi bakal caleg. Pasalnya, putusan MA memuat dua kemungkinan, yakni membatalkan dan tidak membatalkan PKPU.

Apapun isi dari putusan MA nanti, putusan Bawaslu yang meniadakan PKPU sama-sama memiliki dampak negatif. Jika MA di dalam putusannya membatalkan PKPU, langkah Bawaslu tetap tidak dapat dibenarkan karena berpotensi ditiru oleh lembaga atau adrees dari pengujian undang-undang (PUU) lainnya.Bisa saja, lembaga atau adrees dari PUU tidak mematuhi suatu aturan dengan alasan ada aturan lain yang lebih menguntungkan dalam mengatur perkara yang sama. Kemudian, jika MA tidak membatalkan PKPU, maka Bawaslu jelas sudah melanggar hukum, karena meniadakan PKPU sebagai aturan yang harusnya menjadi pedoman dalam memutus sengketa caleg.
Terlepas dari hal tersebut di atas, kita tentu berharap akan adanya solusi yang bijak terkait permasalahan ini. Semua pihak, baik KPU, Bawaslu, partai politik, caleg maupun pihak lain yang berkepentingan harus saling menahan diri. Tahapan pemilu baru dimulai, masih banyak hal penting yang harus dilakukan dalam pelaksanaan pemilu serentak yang hanya menyisakan waktu kurang setahun lagi.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3160 seconds (0.1#10.140)