Masa Depan Pendidikan Politik Generasi Milenial

Senin, 27 Agustus 2018 - 08:45 WIB
Masa Depan Pendidikan Politik Generasi Milenial
Masa Depan Pendidikan Politik Generasi Milenial
A A A
Sunanto
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)

DUNIA politik dan media sosial pada era industri 4.0 tidak dapat dipisahkan begitu saja. Sebelum pemilihan calon, baik di tingkat wilayah maupun daerah, proses memperkenalkan masing-masing kandidat lebih banyak menggunakan saluran media sosial. Sasarannya adalah pemilih milenial yang memang secara literasi dalam menilai putusan politik tersadarkan melalui media sosial.
Jumlah generasi milenial ini dianggap memiliki potensi yang besar. Bahkan, menurut komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tanthowi, pemilih milenial ini sebagai penentu siapa pemimpin pada masa mendatang. Menurut data KPU, jumlah pemilih muda mencapai 70 juta–80 juta dari sekitar 193 juta pemilih. Artinya, mencapai 35–40% yang memiliki pengaruh besar terhadap hasil pemilu.

Data lain ditampilkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada 2017 berdasarkan hasil survei terdapat 143,26 juta jiwa pengguna Internet. Ada 54,68% dari seluruh penduduk di Indonesia sebagai pengguna internet. Selanjutnya APJII merinci bahwa pengguna internet untuk penduduk di perkotaan berada di angka 72,41%.Sementara penduduk pinggiran kota sebesar 49,49% dan perdesaan 48,25%. Jika ditilik dari sisi gender, pengakses internet terbesar adalah laki-laki dengan angka 51,43%.
Yang menarik dalam hasil survei itu, dalam temuannya disebutkan bahwa pengguna internet terbesar di kisaran usia 19 sampai 34 tahun, atau sebesar 49,52%. Namun, yang mengejutkan lagi presentasi pengguna terbanyak adalah usia di rentang 13 sampai 18 tahun yang mencapai 75,5%. Dengan hanya melihat foto, video, dan berita melalui mesin pencari dan bantuan sosial media mereka sudah memperoleh informasinya lewat ponsel cerdas.

Berpijak dari data di atas, sudah barang tentu partai politik (parpol) berebut pengaruh untuk mendulang suara-suara mereka. Dengan mengemas kandidat secara populer, generasi zaman now dianggap menjadi penentu seberapa jauh jangkauan informasi masing-masing kandidat dapat diterima secara pasti jati dirinya. Bagaimana rekam jejaknya, apakah pernah terlibat masalah atau tidak bermula dari informasi ini.

Fokus Perhatian
Data-data tersebut tentu saja dapat berubah sewaktu-waktu baik secara demografis maupun psikografis. Pastinya yang jauh lebih penting dari hal ini adalah fokus perhatian (focus of interest) pada pendidikan politiknya yang bermartabat. Sampai detik ini isu-isu tidak sehat (hoaks) masih bergentayangan di jagat media sosial. Hal yang merisaukan adalah ketika konten-konten yang ditampilkan memanfaatkan isu SARA yang sudah tidak dapat ditoleransi lagi.
Masih ada sebagian dari masyarakat (netizen) kita yang menilai sesuatu dari siapanya ketimbang apanya (gagasan). Awalnya masih suatu persoalan yang sederhana karena disisipi candaan dan gurauan biasa. Namun, dalam perjalanannya persoalan yang sederhana itu menjadi rumit (complicated).

Timbul perselisihan yang menyebabkan berbeda cara pandang untuk membedahnya, baik secara ideologi dan keilmuan, yang pada akhirnya muncul pertikaian yang hasilnya nihil jauh dari verifikasi. Sulit bagi masyarakat untuk mencari makna yang dapat didiskusikan bersama dengan wawasan yang sehat.

Antara fakta dan kebenaran sulit dibedakan. Padahal fakta bermakna sesuatu yang sudah dilakukan. Hasilnya itu dipersepsi oleh manusia yang memiliki kemampuan untuk mencerap informasi dalam realitas empirik. Sementara itu, kebenaran berisi tentang pernyataan-pernyataan yang dapat dibuktikan dan dicek oleh siapa pun. Dua hal ini sejatinya berisi informasi yang bermakna, tapi kenyataannya direspons dengan cara berpikir artifisial.
Kondisi semacam itu bisa dilatarbelakangi oleh keterbatasan data empiris karena wawasan empiris bersifat sementara dan terbatas. Di samping itu, persoalan yang makin menumpuk membuat fokus perhatian menjadi terpecah-pecah. Dalam kesempatan lain, hal ini disebabkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang ingin memanfaatkan kebebasan informasi untuk kepentingan politik tertentu.
Belajar dari pengalaman yang sudah terjadi, hendaknya generasi milenial mampu membedakan informasi yang akurat dan tidak. Pendidikan politik melalui media sosial bagian dari membuat batas kemampuan dalam konteks komunikasi antara bahasa sendiri dan bahasa dunia.
Jika tidak mampu mengenal ini yang terjadi bahasa sebagai bahasa fungsi informatif berubah menjadi fungsi rasa yang diekspresikan dengan bahasa bahagia, kebencian, hujatan, dan sebagainya. Kendati undang-undang telah mengeluarkan bahasa direktif dalam bentuk larangan (hukum) sampai saat ini ujaran kebencian (hate speech) masih terus berlangsung. Berpikir Dikotomik
Wawasan politik generasi milenial hari ini adalah gambaran politik pada masa depan. Pendidikan politik yang sehat adalah bagaimana mengantisipasi kejenuhan politik hari ini yang dapat merusak pendidikan politik generasi milenial. Akal budi merupakan dasar wawasan politik yang dapat menuntun generasi milenial dalam mengungkapkan ekspresi politiknya.

Sudah saatnya bahasa politik yang didasari berpikir dikotomik direvisi menjadi bahasa politik yang tandas serta objektif dengan pendekatan yang holistik. Modus berpikir dikotomik ini sebetulnya dapat dilihat dari bahasa generasi milenial yang saling berseteru di dunia online.
Modus ini sangat merugikan karena menganggapnya ada kutub yang selalu berlawanan (Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, 2007). Padahal kebenaran objektif memuat sesuatu yang jelas dan terpilah. Mirip dengan cara pandang Cartesian yang mekanistik, dengan kata lain fenomena sosial dunia online dimaknai secara deterministik.
Dampaknya efek viral media sosial yang masuk kamar politik tak lebih sebagai rencana organis untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Ada semacam pergeseran informasi dari kualitas isi menuju kuantitas yang ditargetkan. Jika hal ini terus dibiarkan, model berpikir dikotomik dapat menghegemoni kreativitas berpikir holistik yang seharusnya perlu dimiliki generasi milenial untuk membaca fenomena sosial secara kritis. Wallahu’alam.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7776 seconds (0.1#10.140)